Saturday, 25 August 2018

#BookReview - Kehidupan Penjahat yang Tak Selalu Hitam dalam Novel Pulang



Judul              : Pulang
Penulis            : Tere Liye
Penerbit          : Republika
Tebal              : 400 hlm.
Cetakan          : II, Oktober 2015
ISBN               : 978-602-0822-12-9

Aku tahu sekarang, lebih banyak luka di hati bapakku disbanding di tubuhnya. Juga mamakku, lebih banyak tangis di hati Mamak disbanding di matanya. 
Sebuah kisah tentang perjalanan pulang melalui pertarungan demi pertarungan, untuk memeluk erat semua kebencian dan rasa sakit. 
Pulang, apa definisi yang paling tepat untuk kata itu? Lupakan KBBI, sebab definisi pulang untuk setiap orang berbeda. 
Namun, akan selalu ada satu tempat yang sama di mana kita akan bermuara. Satu tempat yang tidak bisa tidak kita singgahi untuk “pulang”.

Tuesday, 21 August 2018

[Puisi] Di Labuhan Hari Ini


Untuk rindu yang masih menyetiakan diri di labuhan sepi, 
tunggu sebentar lagi 
kapal kenangan akan segera menepi. 

[Puisi] Arah Lensa


Klik!
Dari reribu manusia berjejal sarat,
lensaku membidik tepat
ia menyabotase jemari untuk telak berkhianat
Mengapa gatramu begitu menjerat?

[Puisi] Bekas Tinggalmu



Biarkan aku bercerita padamu perihal mimpi-mimpi
Angan `tuk bisa menyentuh bayang-bayang seujung jari
Jangan bilang rindu tak pernah datang permisi
Seringkali ia duduk bercengkrama di teras memori

Monday, 20 August 2018

[Untold Story] Ada Rindu yang Tertinggal di Tanah KKN

[Pemandangan di Desa Bawang, Tempuran, Magelang]
Foto: Roy Marthen

Bukankah rerumpun rindu telah tumbuh terlalu lebat malam ini dan malam-malam sebelum penantian?
Bukankah ilalang waktu sudah memasung begitu tinggi di pekarangan kenangan?

Rindu masih menjadi hal yang tak pernah tertinggal dan tak pernah mau ketinggalan menyertai setiap langkah. Ketika hari-hari menjelang KKN merangkak semakin dekat dan sangat merisaukan, hanya kepasrahan demi memenuhi mata kuliah wajib sebagai syarat kelulusanlah yang senantiasa berhasil menenangkan diri. Hanya seminggu usai merayakan hari Idul Fitri, kaki melangkah ke tempat plotting KKN dengan berat. Agaknya, konsep mengabdikan diri pada masyarakat belumlah tertanam terlalu dalam di hati sebagian besar kami.

Wednesday, 1 August 2018

[Esai] Bahasa Jawa dalam Momongan Masyarakat Desa



Bahasa merupakan alat komunikasi yang kita gunakan sehari-hari untuk berhubungan sosial dengan orang lain.  Dengan bahasa, seseorang bisa melampaui batasan paling krusial dalam memahami sekelompok masyarakat, selain budayanya. Dilansir dari Portalsatu.com pada sebuah artikel berjudul “Terpetakan! Jumlah Bahasa di Seluruh Dunia, Di mana Posisi Indonesia?” yang diterbitkan pada 2016 lalu, saat ini terdapat kurang lebih 7000 bahasa yang digunakan oleh sekitar 7 milyar manusia di dunia. Asia dan Afrika tercatat menjadi rumah bagi sebagian besar keragaman linguistik tersebut.


Menurut penelitian, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan bahasa terbanyak di dunia, yaitu 742 bahasa. Jika ditilik berdasarkan jumlah penuturnya, bahasa daerah di Indonesia yang paling banyak digunakan adalah bahasa Jawa. Tidak mengherankan apabila Pulau Jawa sebagai pemegang rekor pulau dengan jumlah penduduk terpadat di Indonesia ini menjadi rumah terbesar bagi bahasa Jawa.

Saturday, 19 May 2018

[Prosa Pendek] Berharap


Dan biarkan "berharap" itu menjadi ucapan paling akhir dalam pengusahaan. Sebab, kadang ia menjadi kata yang tak pernah toleran membabibutakan, menjadi kata paling naif yang meluluhlantakkan. Pada sesiapa menyimpan, menganakpinakkan "berharap" pada yang selain Keesaan, maka binasalah dalam keniscayaan. Tapi, enyahlah pula penyamaan "berharap" dan "harapan", tersebab kedua itu saling bersisian. Bukan, bukan saling menggantikan, tapi memang berbeda jalan.

[Puisi] Kepadamu (Lagi)


Ratna Juwita

Sejujur hujan yang menetes di pelataran pipi
Dan padamu, rinduku jatuh lagi
dengan suara hempasan paling lebam
Karena tiap kutilik bayang, yang kutemu hanya ketiadaanmu

[Puisi] Aroma Kematian dalam Hujan


Aku hidup dengan harapan bisa merengkuh hujan
Satu per satu menikmati bulirnya dalam pengasingan
Orang bilang, reminisensi menggedor pulang
di tiap-tiap butir bening yang turun menggelinjang

[Puisi] Rasa yang Haram


Ratna Juwita

Parasmu maih begitu tempias
Dalam kenangan menggenang bias
Sepertinya telah usai batin berseteru peluh
Dengan segala harap pun gairah memburu rengkuh

[Cerita Pendek] Permainan Dunia Maya


Pada satu kepercayaan yang kudapat entah darimana, aku duduk. Setengah gelisah. Memutar otak sekeras mungkin untuk membuat banyak rencana. Setelah aku bertemu dengannya, apa yang harus kukatakan? Topik apa yang pas untuk memulai percakapan antara aku dan dia? Kemana kami harus pergi setelah ini? Kebun Binatang? Ah, itu mungkin terlalu norak mengingat hewan-hewan di sana sama sekali tidak senang ditonton. Entah perlakuan seperti apa yang mereka terima dari petugas kebun binatang. Duh, mengapa aku jadi memikirkan hal ini?

Pantai? Aku rasa itu tempat paling romantis yang bisa terpikirkan oleh sepasang kekasih. Eh? Kekasih? Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Aku tidak percaya mengatakan hal sejenis “sepasang kekasih” dengan orang yang bahkan belum pernah kutemui sebelumnya. Meskipun begitu, dia telah setuju untuk menjalin hubungan denganku, jika kini aku menganggapnya adalah kekasihku boleh kan?

[Cerita Pendek] Tiga Permintaan


Aku bersikukuh, berputar-putar di dalam Pasar Loak. Pengab tak kuhiraukan, sedang keringat terus bercucuran membasahi pakaian. Mataku tajam melirik kesana-kemari, bertanya pada semua penjual yang kutemui. Kebanyakan dari mereka yang mendengar barang yang kucari, mengerutkan kening, sebagian lainnya tak menggubris. Aneh memang. Barang yang kucari bukan barang yang umum, tapi juga tidak langka. Meski begitu, sulit sekali menemukannya.

“Maaf, Pak? Ada teko yang berbentuk seperti ini?” Aku mengangangkat kertas lecek dan kotor yang seharian ini berada di genggaman. Menemaniku menjelajahi pasar-pasar di kota ini.

[Cerita Pendek] Tak Bersyarat


Baru kali ini aku merasa menunggunya membuat dadaku terasa sesak, paru-paru tersumbat, dan dimanapun aku berpijak dunia seakan sepi dari oksigen. Kepalaku pusing, bahkan hanya membayangkan mengatakan hal itu padanya. Aku ingin lari, membawanya pergi, tapi kutahu aku tak mampu.

Kuhempaskan diri di atas ayunan, mengayun gelisah. Dua ayunan ini yang selalu mewarnai candaku dan tawanya. Kira, gadis bermata arang, aku mencintainya. Aku lupa sejak kapan kami saling memendam cinta, yang kusadari aku sudah jatuh cinta padanya. Aku tak ingin mengungkit bagaimana aku bisa mencintainya, aku hanya ingin katakan aku sangat mencintainya.

[Cerita Pendek] Tokyo Magnitude


Jepang, 11 Maret 2011

Aku mengumpat adikku dalam hati. Mendengus kesal. Ia benar-benar menyebalkan, selalu meminta mengantarnya ke sana ke mari, padahal  ia tahu ibu dan ayah yang sibuk bekerja takkan pernah mungkin bisa mengantarkannya, pada akhirnya selalu aku. Aku berdiri di tepian sungai Sumida, mengetik semua emosi yang bertikai dalam batin, ke dalam handphone.


“Kemana Yuki?” Aku menggeram, menghentakkan kaki. Lama sekali ia masuk ke Akasaka, pusat perbelanjaan di Kota Tokyo, untuk membeli sebuah kado ulang tahun ibu. Selama lima belas tahun hidupku, tak terbesit sedikit pun memberi ibu sebuah kado.

[Cerita Pendek] Reinkarnasi


Reinkarnasi? Bisakah sebuah cerita dongeng seperti reinkarnasi dipercaya? Bahwa setiap orang akan dilahirkan kembali dalam wujud yang berbeda setelah kematiannya? Bisakah?

“Radit,… jika, hanya jika… kau dihidupkan kembali, kau ingin menjadi seperti apa?” Erza menatapku dengan mata berbinar, seulas senyum berebut memenuhi bibirnya. Deg. Senyum yang biasanya selalu berhasil memorak-porandakan perasaanku itu, mendadak membuat kalut.

“Maksudmu?” Kulemparkan kembali sebuah tanya. Ia tergelak, entah karena ekspresiku yang mungkin terlihat bodoh atau justru memakiku dalam tawa.

[Cerita Pendek] Doa Terakhir Seekor Capung


“Delapan bulan,” kata Rina suatu hari di depan rumah. Ia mengelus perutnya yang sudah membuncit. Aku tersenyum, bersyukur sampai saat ini dia baik-baik saja.

Dalam setiap getaran, aku berdzikir pada-Nya untuk Rina. Tak menggubris panjang waktu yang kulalui untuk mendoakannya. Aku merasa berhutang budi pada wanita manis berkerudung itu, hutang seumur hidup. Hutang yang bagaimanapun juga harus kutangkup dengan umur yang tak panjang. Berdoa dalam setiap getar, meninggalkan lelap, merinci tasbih pada-Nya, dan menyelipkan nama Rina. Tak pernah luput.

[Cerita Pendek] Pengagum Rahasia


            “Terima kasih.” Ia tersenyum untuk pertama kalinya padaku. Aku tercenung sesaat. Melewatkan sentuhan yang tak sempat bersapa karena ia langsung mengambil ID Card-nya dari tanganku, turun dari bus, dan melenggang hilang dari netra.

Aku berusaha memungut sisa-sisa bayangan, namun ia telah menghilang di balik pintu kantornya. Bus bergerak kembali, menanggalkan segala harapan untuk bisa lebih banyak mengecap wajahnya hanya dari mata.

[Cerita Pendek] Bias Cahaya Phoenix


Srak!

Aku tertegun. Baru saja aku melihat sesuatu melintas dengan cepat dari pantulan kaca. Sinar matahari berhasil membiaskan pandangan, tak mengizinkanku menelaahnya baik-baik.

Kucoba mengais sisa-sisa pergerakannya, tapi nihil. Burung? Aku menyangsikannya. Benda itu jauh lebih besar dari seekor burung. Aku mencoba menyerah terhadap segala dugaan, tapi netra tak bisa lepas dari posisi lenyapnya. Ketika tersadar, kutemukan diri mematung di depan sebuah ruangan di ujung lorong, ruangan terakhir untuk menemukan ‘burung’ itu.

“Murid pindahan?”

[Cerita Pendek] Bagian dari Keajaiban


Aku tenggelam dalam sebuah lukisan yang menakjubkan bagiku. Sebuah lukisan sederhana yang hanya terdiri dari tiga warna: biru, hitam, dan putih.

Ada suatu perasaan yang tak dapat kuabaikan. Lukisan itu menggambarkan seorang penyelam yang berada di dalam lingkaran ikan-ikan yang berenang mengelilinginya. Sudut pandang lukisannya di ambil dari bawah, hanya menyisakan siluet ikan-ikan, penyelam, serta seberkas cahaya matahari. Aku merasa seperti benar-benar berada di bawah mereka, menyaksikannya dalam keluguan antara keinginan menerobos kerumunan ikan atau menggapai cahaya surya. Seolah dalam keterbatasan pandangan itu, aku masih ingin melihat lebih banyak.

[Cerita Pendek] Angkasa di Telaga Sarangan

Biar kugeluti naskah-naskah rindu
Rindu yang buntu

“Rindu yang buntu?”


Bahu Canisa terangkat, kaget. Cepat-cepat ditutupnya buku catatan kecil yang selalu dibawa kemanapun ia menjejakkan langkah. Canisa melirik Adit sekilas. Adit tergelak, ia tahu Canisa paling tidak suka jika buku catatannya dibaca oleh siapapun, apalagi dirinya yang baru mengenal Canisa tiga bulan belakangan.

Adit mengulurkan satu botol minuman dingin pada Canisa yang sedang duduk menikmati Telaga Sarangan. Sengaja ia menyerahkannya dalam posisi berdiri, iseng agar Canisa mendongak ke atas—ke arahnya—meskipun ia sendiri tahu Canisa takkan pernah mendongak. Canisa berdiri setelah sebelumnya mengembuskan napas kesal atas keisengan Adit.

[Cerita Pendek] Handphone dari Masa Depan


Aku tertegun. Menatap lekat benda yang kini singgah dalam genggaman. Sebuah telepon genggam. Bukan, ini bukan zaman purba yang asing pada handphone, atau daerah tak mengenal teknologi seperti Suku Baduy. Saat ini, tepat mengoleskan angka tahun 2020, teknologi bukan lagi hal yang asing, tapi handphone yang lebarnya pas digenggam remaja berusia 16 tahun sepertiku ini bahkan baru direncanakan untuk dibuat.

Aku mengedarkan pandang. Hanya ada laut, lain tidak. Suara debur ombak yang menghantam karang sibuk menyusup ke telinga. Aku terperanjat ketika handphone itu berbunyi, gelagapan kutatap layar handphone.

[Cerita Pendek] Kertas-Kertas Daffodil


Till death do us part,” gadis itu mengatakannya dengan fasih, seakan ia telah mengucapkannya setiap hari. “Ibu yang memberitahuku setiap waktu.” Lanjutnya. Aku tertegun menatap mata teh itu, ada kemarahan dan keputusasaan yang menelurkan butir bening dari sana.

“Siapa namamu?” hanya itu yang sempat melewati tenggorokanku. Terucap tanpa permisi, bingung tanggapi tangisnya.

[Cerita Pendek] Selekas Gerimis Setiba Hujan


“Minggir, Anak cacat! Kursi rodamu menghalangi jalan!”

Aku terkesiap. Bukan karena ia menyeruku dengan panggilan ‘anak cacat’, tapi karena rintik gerimis sempat membawa bayangku mengawang. Kutepikan kursi rodaku sedikit, tak acuh ketika gerimis hujan menyemai basah pada seragam putih abu-abuku. Arya melengos begitu mata kami sempat bertautan, ia melangkah cepat diikuti dua sahabat kental yang selalu mengikutinya kemana saja.

[Cerita Pendek] Jalan Surgaku


“Siapa namamu?” Akhirnya aku berhasil mengatakan satu kalimat itu padanya, setelah sekian lama kupendam dan menyiksaku dengan terus berkutat dalam benak. Satu kalimat tanya, sederhana sebenarnya, tapi begitu mengusik bermalam-malam sejak kami menjadi Regu Perwira dari kampus untuk membagikan zakat dan makanan sahur ke pelosok kota.

Aku menanti dengan dungu, ia tak juga membalas pertanyaanku. Ia terus sibuk mendata beberapa zakat untuk disalurkan ke desa selanjutnya. Lalu lalang orang di sekeliling semakin membuatku terlihat bodoh karena berdiri di tengah jalan. Hening. Tetap tak ada jawaban.

Friday, 18 May 2018

[Cerita Pendek Bahasa Jepang] (日本語で) - 悲しみをやさしさに


ラトナ・ジュウィタ


 「あなたが若い女の人と不倫していることを知っている!あなたを信じていたなんて私のバカ!」

 彼女は叫んで、周りにあるものを彼に投げた。

 「ちょっと待ってよ!僕が悪かった、ごめん!」

 彼は飛んできたいろいろなものを避けようとした。

 「嘘ばかり付いてる!もう、信じたくない!別れたほうがいい!」

Friday, 6 April 2018

[Cerita Pendek] Reformasi Gadget


Aku sedang capai, biarkan aku istirahat dulu!” Gadget mengeluh. Merasa bahwa hampir seharian itu dia dipaksa melakukan banyak hal dalam rentang waktu yang lama. Majikannya telihat takut-takut di hadapannya seperti tidak rela memenuhi permintaan Gadget untuk istirahat. “Kalau aku ngambek, aku tidak akan mau kaugunakan lagi!” kali ini ancaman Gadget manjur. Majikannya beringsut meletakkan tubuh kotaknya ke atas meja. Pelan.

“Berapa lama kamu istirahat? Aku sedang butuh untuk menghubungi teman-temanku!” kata majikannya yang seorang anak laki-laki dengan seragam putih biru masih melekat di badannya.

[Cerita Pendek] Autumnal Equinox



Kami belajar untuk hidup, tapi yang kusadari adalah aku hidup untuk mensyukuri kehidupan itu sendiri

Setiap waktu, sejak kami menghirup udara pada fotosintesis pertama, yang selalu kami pelajari hanyalah cara agar dapat tumbuh dengan baik, memuja matahari dengan pengharapan yang benar bahwa esok hari cahayanya masih akan datang dan memberi penghidupan.

Satu hal yang kumaknai adalah bahwa tidak akan ada kesalahan yang termaafkan. Bahwa kami harus hidup tanpa kesalahan, sebab umur kami hanya terhitung tiga musim atau kurang? Satu kesalahan saja, gugurlah kami ke tanah yang jaraknya tak kurang tiga meter dari puncak Induk Kayu kami. Sebegitu singkatnya dibandingkan makhluk-makhluk berkaki yang saban hari berseliweran di sekitar kami.

[Prosa Pendek] Surat Kasih dari Musim Gugur


Kau dan aku masih berjarak panas dan salju. Jangankan terbayang menyentuhmu, menemuimu pun semu.
Mengapa spasi ini tak bisa dipangkas paksa meski? Bukan kilometer, apalagi hasta, tapi waktu yang tak bisa dilangkahi.

[Cerita Pendek] Last Voice


Biarkan harapan tumbuh walaupun sesaat, bahwa kenangan tetap akan tertinggal di hati orang-orang yang tahu bahwa hidup adalah perjuangan. Tidak boleh ada kata menyerah hingga kali terakhir suara kehidupan itu didengar.

Filipina, Oktober 1944.

“Saya tentu harus memimpin korps ini, Pak!” jawab Takada Koji, lulusan terbaik Akademi Angkatan Udara Jepang tahun 1935, setelah Laksamana Ohnishi menawarinya menjadi pemimpin korps Kamikaze, sebutan untuk pasukan udara berani mati Jepang. Semburat keyakinan terlihat memenuhi matanya yang seolah berkilat.

Postingan Terbaru

2+5=7

Bel, mungkin di hari ini tepat 25 tahun lalu, langit sedang cerah, hujan batal turun, dan awan enggan bergumul. Sebab, hari itu ada suara ta...

Postingan Populer