Aku tenggelam dalam sebuah lukisan yang menakjubkan
bagiku. Sebuah lukisan sederhana yang hanya terdiri dari tiga warna: biru,
hitam, dan putih.
Ada suatu perasaan yang tak dapat kuabaikan. Lukisan itu
menggambarkan seorang penyelam yang berada di dalam lingkaran ikan-ikan yang
berenang mengelilinginya. Sudut pandang lukisannya di ambil dari bawah, hanya
menyisakan siluet ikan-ikan, penyelam, serta seberkas cahaya matahari. Aku
merasa seperti benar-benar berada di bawah mereka, menyaksikannya dalam
keluguan antara keinginan menerobos kerumunan ikan atau menggapai cahaya surya.
Seolah dalam keterbatasan pandangan itu, aku masih ingin melihat lebih banyak.
“Kau menyukainya?”
Aku menoleh ke sumber suara, terkejut. “Y-ya,” hanya kata
itu yang mampu keluar dari mulutku saat ini. Pertanyaannya terlalu tiba-tiba.
Laki-laki asing yang berdiri di sampingku tersenyum. Ia
memasukkan tangan ke dalam celana. “Ini juga salah satu lukisan favorit yang
pernah kubuat.”
Aku ternganga. Mencoba menajamkan kembali pendengaran,
dia yang melukisnya?
***
Sudah sebulan sejak pertemuan kami di pameran galeri
milik pria yang baru-baru ini kuketahui bernama Tomy. Sebagian besar lukisannya
adalah tentang laut dan ia tak henti-hentinya membuat orang awam sepertiku,
kagum pada setiap lukisannya.
“Bagaimana caramu melukis semua ini? Apakah kau suka
menyelam?” Aku mengamati tiap lukisan, entah sejak kapan tepatnya aku mulai
dekat dengan Tomy. Ia juga mengizinkanku datang ke rumahnya kapanpun untuk
menikmati hasil karyanya.
Tomy tergelak mendengar pertanyaanku. “Mungkin begitu,”
jawabnya singkat. “Kau selalu menanyakan banyak hal padaku, sekarang biarkan
aku ganti bertanya.” Aku mengangguk tanpa menoleh, sibuk menelanjangi karya
lukisnya. “Mengapa namamu Bintang Laut?”
Aku terhenti dari eksplorasi yang kulakukan terhadap
lukisan. Terdiam. Pertanyaan yang sudah kudengar ribuan kali hingga membuatku
jenuh. Mengapa namaku Bintang Laut? Aku juga tak mempunyai jawaban atas
pertanyaan itu.
“Aku tidak tahu.” Aku berbalik, menghadapnya yang
bersandar pada meja. “Aku hanya yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan.
Titik. Hanya itu.” Aku menghela napas berat. “Aku juga tidak tahu siapa orang
tuaku, masih hidupkah mereka, dan mengapa mereka meninggalkanku di panti asuhan
dengan secarik kertas yang bertuliskan namaku, Bintang Laut.”
Tomy mengerjapkan mata, mengalihkan pandangan, kemudian
menatapku lagi. “Mungkin karena orang tuamu ingin kau menjadi bintang yang bisa
diraih.” Aku mengerutkan kening, tak memahami maksud ucapannya. “Bintang-bintang
di langit sulit diraih, kau tahu itu. Berbeda dengan Bintang Laut, ia menjadi
satu-satunya bintang di muka bumi yang dapat diraih. Menjadikanmu salah satu harapan
bahwa tanpa berada di langit pun, seseorang mampu menggenggam bintang.”
Sekian detik aku mematung, lalu tertawa. Apakah ia memang
selalu filosofis seperti ini?
“Entahlah, bahkan aku tak tahu apakah aku diinginkan oleh
orang tuaku atau tidak. Tidak pula Tuhan, aku juga tidak berpikir Ia
menginginkanku.” Aku melihat Tomy menelengkan kepala. “Aku merasa Tuhan tidak
adil.”
“Aku tidak tahu
bagaimana kau hidup dan bagaimana perasaanmu, tapi ‘Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?’[1]”
Sekali lagi, aku dibuat terkejut oleh perkataannya. Aku
memang bukan orang alim, tapi aku sering mendengar ayat itu dibacakan. Kata-katanya
membuatku bungkam, menyadarkanku bahwa aku selalu kalah berdebat dengannya.
“Berapa umurmu? Menurutku, kau cukup bijaksana.” Aku tidak
tahu kekuatan darimana yang menuntun lidahku untuk menanyakannya.
Tomy tampak berpikir sejenak. “Tiga puluh empat tahun,
sepuluh bulan, dua puluh tujuh hari.” Ia mengucapkannya dengan fasih. “Kau?”
“Dua puluh enam tahun.”
***
Kali ini aku terpaku pada lukisan ikan Nemora yang sedang
berhadapan dengan Ubur-ubur. Mereka tak terlihat hendak bertarung, tapi tampak
seperti mencoba mengutarakan sesuatu yang tak terungkapkan. Mereka seolah
bertemu pandang dalam diam dan bayangan keindahan laut, terlihat dari tubuh
Ubur-ubur yang transparan. Bagaimana Tomy bisa melukis seindah ini?
“Lukisan itu bukan apa-apa jika dibandingkan ‘Penciptaan Adam’ karya Michaelangelo
atau ‘Monalisa’-nya Leonardo Da
Vinci.” Tomy berkata seperti bisa membaca pikiranku.
Aku menoleh, begitu juga dia. Sejenak mata kami
bertautan, sempat kuselami mata hitamnya yang ternyata juga mampu
menenggelamkanku. Dia tak terlihat seperti pria yang berusia tiga puluh empat
tahun, nyatanya ia belum menikah sampai sekarang. Aku tak melihat ada keinginan
lain di matanya selain obsesi terhadap laut.
Pemikiran bodoh terlintas di benakku, bagaimana jika aku
menjadi istrinya? Ah, pikiran apa ini? Aku hanya seorang yatim piatu yang tumbuh
di panti asuhan. Bahkan, aku tidak memiliki seorang ayah atau paman untuk
menjadi wali dalam pernikahan. Dan lagi, aku hanya seorang pegawai toko biasa.
Tidak ada hal luar biasa yang bisa menjadikanku pantas bersanding dengannya.
Aku mengalihkan pandangan sebelum Tomy menyadari air
mataku yang menggenang. Jadi, sejak kapan aku menyukainya, hingga sekarang aku
berpikir dapat menjadi pendamping hidupnya? Lagi-lagi hanya sebuah pengharapan
bodoh dari orang yang secara kebetulan diizinkan melihat lukisannya.
“Apa kau percaya pada keajaiban?” Pertanyaan Tomy
berhasil membawaku kembali.
“Aku tak pernah mengalaminya, jadi aku tidak percaya,”
jawabku lugu.
Tomy tersenyum, “Bagaimana jika aku adalah bagian dari
keajaiban itu?”
Aku menenggelamkan diri dalam matanya, mencoba mengais
arti dari kata-katanya. “Ya, mungkin kau bagian dari keajaiban yang tak mampu
kumiliki.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut. Aku tercekat.
Mengumpat kebodohanku sendiri.
“Keajaiban itu ada dan kau akan temukan keajaibanmu
sendiri. Kau harus selalu percaya pada Tuhan.”
***
Setelah kejadian itu, aku tak lagi bisa memberanikan diri
untuk bertemu dengannya. Aku menghindar, tak coba untuk datang ke rumahnya
lagi. Nyatanya, semua ini sungguh menyiksa. Aku merindui lukisan-lukisannya dan
yang paling penting aku merindukannya. Aku menahan diri selama seminggu untuk
tidak melangkahkan kaki ke rumahnya. Aku memaki diri dalam hati.
Aku merasa bahwa kata-katanya saat itu adalah penolakan.
Ia mengatakan bahwa aku akan menemukan keajaibanku sendiri, itu artinya bukan
dia. Aku menghempaskan diri di tempat tidur, diam-diam meneteskan air mata. Aku
bahkan belum mengatakan, aku mencintainya.
Apakah aku akan melarikan diri seperti ini? Hatiku terasa
sakit. Pun air mata tak pernah surut dari mata. Benarkah aku sakit karena
penolakannya? Aku menatap langit-langit kamar. Atau aku sakit karena
merindukannya? Aku bangkit, bagaimanapun juga aku ingin bertemu, setidaknya aku
ingin dengan jelas mengatakan bahwa aku mencintainya.
***
Aku datang ke rumahnya, tapi rumahnya terlihat lengang.
Sepi. Sudah kucoba telusuri tiap jengkal lantai dan ruangannya, tapi tak
kutemu. Dimana Tomy? Untuk hari itu aku menyerah. Harapanku sirna ketika di
hari-hari berikutnya pun ia seolah raib. Aku mulai panik, dimana dia? Dan
hari-hari penuh sesak itu berlanjut sampai seminggu lamanya.
Esok hari, aku tetap mendatangi rumahnya. Tetap nihil.
Rasa sesak membalut diriku setiap hari sejak ia menghilang. Aku hampir putus
asa hingga aku menemukan sebuah lukisan yang tak pernah kulihat, di dalam ruang
lukisnya. Bibirku terkatup rapat melihat lukisan itu. Air mata membanjir keluar
mewakili pelabuhan rasa yang karam dalam kerinduan.
Itu lukisan Bintang Laut. Seketika itu pula aku merasa
harus mencari tahu sesuatu.
***
“Notomyotida,
dalam nama itu ada unsur huruf ‘tomy’. Apakah aku salah?”
Tomy masih berdiri membelakangiku. Antara bahagia dan
bingung, aku benar-benar menemukannya di pinggiran pantai terdekat dari
rumahnya. Kami bernaung dalam kecanggungan yang semakin menyesakkan dada.
“Kau hebat, Bintang.” Aku terkesiap, untuk pertama kalinya
ia memanggil namaku. “Aku sudah bilang padamu, kan? ‘Bagaimana jika aku adalah bagian dari keajaiban itu?’” Ia mengulang
kembali pertanyaan yang sempat dilontarkan padaku. Aku bisa mendengar desahan
napasnya. “Kau tahu? Bintang Laut atau nama latinnya, Notomyotida, hanya dapat hidup sampai usia tiga puluh lima tahun
saja.”
Aku menelan ludah yang terasa berduri. Air mataku
menggenang, tidak ingin mendengar kelanjutan dari ucapannya.
“Lukisan penyelam yang dikelilingi oleh ikan itu, aku
benar-benar melihatnya dari dasar laut. Membuatku selalu berdoa agar suatu saat
aku bisa berada di permukaan, melihat lebih banyak. Tuhan mengabulkannya. Itu
adalah keajaibanku dari-Nya. Dan sekarang, ketika usiaku sudah tiga puluh lima,
selayaknya Bintang Laut, aku tetaplah—“
“Hentikan!” Aku membentaknya. Tubuhku bergetar. Air
mataku merajai wajah, sudah tak dapat dibendung lagi. “Aku... aku mencintaimu!”
Perasaanku membuncah, sakit. Sakit sekali.
Tomy tersenyum, “Pejamkan matamu dan ketika kau membuka
mata, anggap aku adalah mimpimu maka kau takkan merasa sakit.” Aku tak
memandangnya. “Aku juga mencintaimu.”
Aku tersedu ketika membuka mata, ia sudah tak ada di
hadapanku. Dia berbohong, rasanya sakit. Tetap sakit. Aku tersungkur. Menikmati
rasa sakit yang menggerogoti tiap jengkal tubuhku. Aku menggigil, berdekap
dalam keputusasaan yang tak bisa sirna dalam hati.
“Keajaiban itu ada dan kau akan temukan keajaibanmu
sendiri. Kau harus selalu percaya pada Tuhan.” Aku mendongak dalam
kelinglungan, tak percaya pada mataku sendiri. Tomy tengah berdiri di hadapanku.
“Tuhan memberikan keajaiban-Nya padamu, Ia ingin aku menemanimu lebih lama.” ***
Yogyakarta,
11 Maret 2016
Katakanlah, butuh keberanian besar untukku memposting cerpen-cerpen dari masa lalu ini. Haha. Asli menye-menye banget isinya! Tapi semoga saja para pembaca menyukainya ya! Kalau ada kritik aran boleh banget komen di bawah ^^ atau kunjungi langsung akun instagramku di @ra.juwita.
Masih seputar cerpen yang pernah kulombakan kok! Tapi tidak menang sih, hanya masuk penulis terpilih yang dibukukan. Jangan tanyakan penerbit apa dan apa judul bukunya please! Benar-benar lupa. Hanya saja setiap cerpen yang kuikutkan lomba ada tanda tersendiri di folderku, makanya aku tahu hehe.
Terus kok aku pede banget bilang cerpennya dibukukan? Karena dulu sering banget cerpen-cerpenku yang dibukukan, ada lebih dari 60 tanpa bermaksud sombong, ya! Dan hanya bermodalkan EYD yang agak benarlah aku bisa masuk deretan kontributornya walaupun ceritanya sebenarnya tidak terlalu bagus juga hehe.
No comments:
Post a Comment