Baru
kali ini aku merasa menunggunya membuat dadaku terasa sesak, paru-paru
tersumbat, dan dimanapun aku berpijak dunia seakan sepi dari oksigen. Kepalaku
pusing, bahkan hanya membayangkan mengatakan hal itu padanya. Aku ingin lari,
membawanya pergi, tapi kutahu aku tak mampu.
Kuhempaskan
diri di atas ayunan, mengayun gelisah. Dua ayunan ini yang selalu mewarnai
candaku dan tawanya. Kira, gadis bermata arang, aku mencintainya. Aku lupa
sejak kapan kami saling memendam cinta, yang kusadari aku sudah jatuh cinta
padanya. Aku tak ingin mengungkit bagaimana aku bisa mencintainya, aku hanya
ingin katakan aku sangat mencintainya.
Oh,
Tuhan. Hukuman apa yang Kau berikan pada kami? Kesalahan apa yang kuperbuat
pada-Mu hingga Kau putuskan seperti inilah jalan takdir kami? Mengapa tak Kau
goreskan di Lauhul Mahfudz, aku hidup bahagia bersamanya? Mengapa?
Aku
mengacak rambut. Sudah kuputuskan hari ini aku akan menemui Kira. Seharusnya
dalam keadaan normal, aku akan memeluknya, menghabiskan seharian bersamanya.
Melepas rindu yang selama tiga bulan terbengkalai karena jarak, namun masih
terkecap manis walau tanpa jumpa.
“Dio!” Aku terlonjak, berdiri dengan gugup, kucoba menatap matanya yang bersinar, tapi
tak mampu. “Di, aku kangen banget!” Kira melompat, memagut mataku pada
netranya. Ia berniat memelukku, tapi kutepis tangan tanpa memandangnya.
Kulirik
Kira sekilas, berdiri kikuk. Ia mengerutkan kening, mungkin menyadari ada yang
aneh dariku.
“Kenapa,
Di?” aku tak langsung menjawab. Kami terdiam cukup lama, membangun pilar-pilar
keheningan bersama. Tak ada gerakan, tak ada ungkapan, hanya sesekali terdengar
teriakan anak-anak yang berlarian di taman ini.
Aku
bergulat dalam pikiran, bertanya sekali lagi pada diriku, apakah aku akan
mengatakannya? Kuremas benda melingkar yang sedari tadi kusembunyikan di saku
jaket, menguatkan diri.
“Kita...
putus saja,” ucapku akhirnya, masih tak memandangnya. Hening selama beberapa
saat.
“A-apa?
Kau bercanda? Kau tidak sungguh-sungguh, kan? Apa aku terlalu lama
meninggalkanmu? Aku hanya...,” Kira menatapku dalam, mungkin mencoba mencari
kebohongan dari mataku. Degup jantungku memburu, membuat dada seakan lebam
karena debarnya. “Aku hanya pergi tiga bulan dan kau...?”
Ingin
sekali kuteriakkan padanya bahwa aku mencintainya, tak sekalipun inginkan untuk
berpisah darinya, tak pernah sedetik pun. Aku ingin tertawa saat ini, mematri
wajah lugu dan mengatakan aku sedang bercanda. Namun, aku tak bisa. Terpaksa
kukubur dalam-dalam harapan untuk bisa menyambut kepulangannya dengan senyuman.
Banyak hal yang tak diketahuinya selama ia pergi dan harus kukokohkan
benteng-benteng tegarku selama dua setengah bulan hanya untuk memikirkan apa
yang sedang terjadi.
***
“Ma,
kenalkan, ini Om Adi... papanya Kira,” Mama yang baru saja muncul dari dalam
rumah, mengikuti arah pandangku dengan senyuman yang masih tersungging di
wajahnya.
Langsung
kusadari senyum lebar Mama menguap perlahan seiring lamanya ia bertukar pandang
dengan Om Adi. Menguap dan tak pernah kembali lagi untuk mengembun. Beberapa
saat kemudian, kurasakan ketegangan yang tak berangsur menipis, malah menebal
antara Mama dan Om Adi. Aku terus bertanya-tanya alasannya, tapi tak coba buka
mulut.
Keheningan
yang memuakkan itu berlangsung beberapa menit, tak sempat kupastikan waktu. Aku
meyakininya terasa sangat lama. Tanpa bicara, tanpa isyarat, Mama dan Om Adi
hanya mempermainkan kata-katanya lewat perasaan.
“Dio,
putuskan Kira,” Mama berkata sambil tetap memandang Om Adi. Aku menatap Mama
dengan alis berpagut, menatap Om Adi setelahnya.
“Maksud
Mama?”
“Sudahlah,
Di, turuti apa kata Mama!” Mama berbalik, masuk ke dalam rumah, menarikku
serta.
“Mika!”
Om Adi tiba-tiba bergerak masuk sebelum Mama sempat menutup pintunya,
menghalangi dengan tangan. Mama melotot. Memandang tajam pada Om Adi.
“Ma,
ada apa sih, Ma? Jawab Dio!” kusentakkan tangan dari rengkuhan Mama. Mama tetap
tak bergeming, seolah suaraku hanya serupa suara kecoak yang tak sempat mampir
ke gendang telinganya. Menguap di udara.
“Mika,
maafkan aku! Ini bukan salah mereka! Aku akui aku pernah meninggalkanmu untuk
perempuan lain, tapi...,” Mama sudah hampir mengamuk, baru kali ini kulihat
Mama berbuat begini. Sosok Mama yang biasanya lembut dan penuh senyuman,
mendadak terasa seperti fatamorgana.
Mama
berusaha untuk membanting pintunya dan Om Adi tetap bersikeras menahan. Suara
benturan berulangkali terdengar dari gesekan pintu dan tangan Om Adi. Mereka
terlihat seperti anak kecil yang menggelikan, menyisakan aku yang seperti bayi
prematur, diam mematung.
“Cukup,
Ma, Om Adi! Kalian ini kenapa, sih? Kira baru saja berangkat ke London untuk
Olimpiade Sains Internasional, kalian malah ...”
“Kau
tak boleh berpacaran dengan saudara kandungmu sendiri, Dio!”
***
Berita
yang menyesakkan itu berhasil membuatku terjaga dari tidur selama beberapa hari
atau minggu. Membuatku kalang kabut diseret godaan untuk menelepon Kira,
memintanya pulang, mengajaknya lari, percuma. Aku tidak peduli seandainya ini
keegoisan Mama atau Om Adi, sayangnya ini kuasa Tuhan yang benar-benar tak
sanggup kulangkahi. Tepatnya, tak berani. Aku merasa terlalu kecil untuk bisa
melawan Tuhan. Terlampau kecil.
Kugerakkan
jemari tangan kiri, diam-diam memakai benda kecil yang sedari tadi
kusembunyikan di saku jaket. Benda kecil berharga yang kudapatkan dari hasil
kerja paruh waktu yang kulakukan setengah hati.
“A-aku
sudah bertunangan dengan wanita lain...,” kuangkat tangan kiri, menunjukkan
sebuah cincin yang melingkar di jari manis. Kira terbelalak, menatapku nanar.
Ia terlihat megap-megap, ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada sepatah kata
yang berhasil membebaskan diri dari pita suaranya. Kupaksakan tersenyum meski
tak kutahu seperti apa bentuknya. “Maafkan aku, selama tiga bulan kepergianmu,
ada wanita lain yang menggantikan sosokmu, mengisi kehampaanku. Aku hanya tidak
bisa menolak. Kau tahu? Kau bisa mendapatkan seratus lelaki yang jauh lebih
baik dariku, aku yakin! Jadi,”
PLAAKK!!!
Aku
mengernyit. Menahan rasa sakit yang bergerak seperti ratusan jarum yang
berusaha melubangi pipi. Kutelan ludah yang pertama kali terasa seperti pasir.
Kasar dan menyakitkan. Ada yang menganga, tepat di tengah ulu hati. Menganga
lebar dan tak mampu kutambal lagi. Sebagian lainnya hancur menjadi butiran
pasir yang terinjak ketika kunyatakan cinta pada Kira di taman ini, dengan
lembayung sebagai latarnya.
Uh,
rasa sakit darimana yang tiba-tiba menyergap masuk ini? Mengobrak-abrik
perasaan yang tak sanggup terbentuk lagi.
“Kau,...”
butiran bening keluar dari mata Kira. Aku menggigit bibir, menahan keinginan
untuk bisa memeluknya. Sakit, sungguh melihatnya menangis adalah hal terakhir
yang ingin kusaksikan. “Kau,... bodoh!” Kira berlari, menawariku punggung untuk
melihatnya hilang dari pandangan.
Terduduk,
saraf kakiku seakan tak menerima impuls dari otak lagi. Memilin derita yang tak
pernah terbayangkan sakitnya. Kira. Air mataku meleleh, menjebol benteng yang
selama ini kubangun dengan tertatih. Kulepas cincin palsu yang terasa
mencabik-cabik jemari, melemparnya sejauh yang kubisa.
Kira.
Nama yang membuat hidupku jadi lebih berwarna. Nama dari seorang gadis lugu berkuncir
kuda yang amat kucintai, lalu kulepas pergi. Menyakitinya. Aku telah
menghancurkan hatinya. Aku lebih dari memahami betapa bodohnya aku, Kira. Jadi,
kumohon maafkan aku.
Ingin
kutarik turun lembayung yang mematung seolah tertawa menyaksikanku hancur.
Menyaksikanku merasa begitu berdosa karena telah menyakiti Kira, gadis yang
paling ingin kubahagiakan selama napas masih bernaung di paru-paru.
Kira, cintaku tak
bersyarat padamu. Tak berarti kau harus selamanya berada di sisiku, tak berarti
kau harus menjadi orang lain untukku karena nyatanya kau saudara kandungku. Aku
mencintaimu karena aku merasa bahagia hanya dengan itu, meski tak bisa
memilikimu. Kuharap maaf yang tak tersampaikan ini mampu menembus hatimu, maaf
yang selalu menggandeng beribu cinta untukmu. Lalu, biar kutitipkan cinta tak
bersyarat ini pada Tuhanku.
***
Ceritanya klise ya? Iya! Iya banget! Tapi herannya kok bisa masuk kontributor buku kumpulan cerpen hehe. Mungkin saat itu aku sudah kehabisan ide mau menulis apa. Kalau tidak salah sih cerpen ini kutulis di tahun 2014 atau 2015. Intinya, saat aku masih duduk di bangku SMA gitu.
Jangan diketawain ya? Jangan, kalau dihujat boleh *eh.
No comments:
Post a Comment