Kami belajar untuk hidup, tapi yang kusadari
adalah aku hidup untuk mensyukuri kehidupan itu sendiri
Setiap waktu, sejak kami menghirup udara pada
fotosintesis pertama, yang selalu kami pelajari hanyalah cara agar dapat tumbuh
dengan baik, memuja matahari dengan pengharapan yang benar bahwa esok hari
cahayanya masih akan datang dan memberi penghidupan.
Satu hal yang kumaknai adalah bahwa tidak
akan ada kesalahan yang termaafkan. Bahwa kami harus hidup tanpa kesalahan, sebab
umur kami hanya terhitung tiga musim atau kurang? Satu kesalahan saja, gugurlah
kami ke tanah yang jaraknya tak kurang tiga meter dari puncak Induk Kayu kami. Sebegitu
singkatnya dibandingkan makhluk-makhluk berkaki yang saban hari berseliweran di
sekitar kami.
Ketika membuka klorofil untuk pertama kali,
aku berpikir makhluk apa mereka? Mengapa mereka tak diam menempel di Induk Kayu?
Mengapa mereka bisa bebas bergerak ke sana ke mari, sedangkan kami bertahan
mati-matian menghalau hujan dan angin tanpa perlindungan?
Apa yang mereka buat? Tanah keras yang
disusun menjulang, bahkan tingginya melebihi Induk Kayu kami. Seolah, mereka
bisa menjangkau langit yang luar biasa tinggi itu. Tak jarang Induk Kayu pun
dipotong tanpa belas kasih demi membuat benda-benda kubus yang menyesaki tanah.
Mereka bahkan tak acuh pada tangisan makhluk sepertiku yang dirontokkan dan
diinjak-injak. Mereka tak tahu betapa menyakitkannya itu.
Ah, sudahlah. Pusing memikirkan
makhluk-berkaki-yang-egois itu. Aku harus fokus pada pelajaran hari ini. Induk
kayu terus mengajarkan tentang kematian kami yang tinggal beberapa hari lagi.
Makhluk-berkaki-yang-egois itu menyebutnya Musim Gugur.
“Sebentar lagi waktunya kalian mengeluarkan beta-karoten
dan mempercepat pengurangan klorofil agar berubah warna menjadi oranye,
kemudian sintesis antosianin akan menghambat kalian beberapa waktu agar kalian
tidak cepat jatuh,” kata Induk Kayu.
“Induk Kayu, mengapa kita harus mati?” Daun
dengan tulang daun menjari sempurna di ujung yang berseberangan denganku
bertanya lantang.
“Hmm ... itu pertanyaan yang bagus. Mengapa
kita harus mati? Karena kita hidup. Segala yang hidup suatu saat pasti akan
mati. Kalian lihat makhluk bernama manusia itu, mereka juga suatu saat pasti
akan mati.”
“Kalau pada akhirnya mati, mengapa kita
hidup?” tanya daun lain.
“Karena ...,” Induk Kayu tampak berpikir
sejenak, “Tuhan menginginkan demikian. Tidakkah kalian bersyukur pernah hidup
walau hanya sebentar? Menyaksikan langit yang biru, burung nakal dengan
anak-anak yang lucu, menyaksikan alam semesta ini? Lalu, yang paling penting
adalah pernah mencintai?”
“Huuuu ....” suara dedaunan bergemerisik.
Angin seolah ikut menguping dan mengembuskan kami karena malu.
“Apakah Induk Kayu pernah merasakan cinta?”
“Hmm ... kurasa ya.”
“Huuuu ....” lagi-lagi kami kompak
bergemerisik.
“Pada siapa?” Kami bertanya bersamaan.
“Pada kehidupan ini.”
Kelas kami berakhir dengan berisik tersebab
pernyataan Induk Kayu yang manis itu. Aku terdiam lama. Aku belum menemukan apa
yang kucintai.
***
Aku tidak bisa berkonsentrasi selama kelas
berhari-hari kemudian. Aku sibuk memikirkan siapa yang harus kucintai sebelum
aku mati. Musim Gugur dimulai besok dan aku masih belum menemukan apapun untuk
dicintai. Tunggu dulu. Bagaimana rasanya jatuh cinta itu?
“Kalian tahu apa itu Equinox? Itu adalah
fenomena yang datang dua kali dalam setahun. Equinox punya dua nama, yang satu
disebut Vernal Equinox yang terjadi pada tanggal 21 Maret, yaitu ketika Musim
Semi saat kalian lahir dan yang kedua adalah Autumnal Equinox yang terjadi 23
September besok ketika Musim Gugur, waktu kalian mati.”
Aku mengatupkan klorofil. Aku belum siap mati
besok. Aku belum mencintai apapun. Bahkan, belum benar-benar merasa hidup. Apa
saja yang telah kulakukan selama ini? Haruskan secepat ini hidupku berakhir?
Autumnal Equinox, jangan datang!
“Aku tidak ingin mati!” Tanpa sadar, aku
sudah berteriak. Dedaunan lain menoleh padaku. Terkejut. Begitu juga Induk
Kayu. Aku mengatupkan klorofil lagi, mencoba menepuk kesadaran.
Suasana hening beberapa saat. Angin seolah
berkonspirasi dengan perasaanku, ia tidak mengayunkan kami selama beberapa
saat. Setelah itu, beberapa daun terdengar saling berbisik.
“Mungkin,...” Suara Induk Kayu memecah
bisikan itu, “semua makhluk tidak ada yang ingin mati, Nak. Kau tahu aku pun
tidak. Aku sudah pernah berkata aku begitu mencintai kehidupan ini, tapi tak
ada satu pun makhluk di dunia ini yang akan hidup selamanya. Segala hal telah
digariskan, siap atau tidak, waktu takkan pernah keliru memutuskan rantai
kehidupan setiap makhluk. Kau tahu kita hanya harus selalu berusaha. Hidup
benar dan sebaik-baiknya—”
“Tapi aku belum mencintai apapun!” selaku.
Mulai terisak.
Induk Kayu memandangku lebih dalam. Ia
alirkan lebih banyak air dari dalam tanah untukku.
“Kau sedang jatuh cinta,” perkataan Induk
Kayu berhasil membuatku tercenung.
“Apa?” Aku berhenti terisak. “Aku?”
“Ya, kau menangis karena tak ingin
meninggalkan kehidupan ini. Bukankah itu berarti kau mencintai kehidupan?”
Aku terdiam. Lama.
“Mencintai itu penerimaan. Bahwa apapun yang
terjadi, kau akan tetap mencintai. Mencintai kehidupan bukan berarti menolak
kematian, tapi cara kita untuk mensyukuri tiap hal yang kita lalui selama
hidup.” Induk Kayu tersenyum. Menenangkan.
Aku masih tak mampu mengucapkan apapun.
Namun, tanpa sadar kubiarkan beta-karoten tinggal lebih lama di tubuhku
dibandingkan klorofil. Aku berubah warna menjadi oranye. Benar. Aku telah hidup
dan itu sudah cukup. Bukan masalah seberapa lama aku hidup, tapi sebanyak apa
aku bersyukur dalam hidup.
Perlahan, seberkas cahaya matahari muncul
dari ujung cakrawala. Autumnal Equinox. Angin bertiup dan sebelum matahari
benar-benar mengintip, angin membawaku lepas dari Induk Kayu. Terombang-ambing
beberapa saat di udara yang terasa sejuk.
***
Yogyakarta, 30 Oktober 2017
Cerpen ini aku ikutkan lomba di Penerbit Harasi dan alhamdulillah menjadi juara 1. Yeay! Piala pertama yang kudapatkan setelah bertahun-tahun mengikuti lomba kepenulisan di Facebook! Yah, biasanya hanya dapat sertifikat, tapi tidak apa-apa karena usaha takkan mengkhianati. Lagi pula aku ikut lomba karena ingin berkompetisi :D
Oya, dalam buku kumpulan cerpen berjudul "Autumnal Equinox" juga ada karya-karya dari para penulis lain lho! Bagi yang penasaran, bisa hubungi aku, atau search aja Facebook Penerbit Harasi :)
Oya, dalam buku kumpulan cerpen berjudul "Autumnal Equinox" juga ada karya-karya dari para penulis lain lho! Bagi yang penasaran, bisa hubungi aku, atau search aja Facebook Penerbit Harasi :)
No comments:
Post a Comment