“Siapa
namamu?” Akhirnya aku berhasil mengatakan satu kalimat itu padanya, setelah
sekian lama kupendam dan menyiksaku dengan terus berkutat dalam benak. Satu
kalimat tanya, sederhana sebenarnya, tapi begitu mengusik bermalam-malam sejak
kami menjadi Regu Perwira dari kampus untuk membagikan zakat dan makanan sahur
ke pelosok kota.
Aku
menanti dengan dungu, ia tak juga membalas pertanyaanku. Ia terus sibuk mendata
beberapa zakat untuk disalurkan ke desa selanjutnya. Lalu lalang orang di
sekeliling semakin membuatku terlihat bodoh karena berdiri di tengah jalan. Hening.
Tetap tak ada jawaban.
Aku
tahu aku hanya terdengar “murahan” dengan menanyakan nama seorang pria yang
bahkan belum lama kulihat. Kami memang hanya berada dalam satu regu. Titik.
Tidak lebih, tidak kurang. Tidak saling kenal, meski berasal dari kampus yang
sama. Dia menoleh ke kanan dan kiri, sepertinya menghitung jumlah zakat, dan
nampak sangat kaget ketika melihatku yang berdiri di sampingnya.
Aku
tersenyum kikuk. Jadi dari tadi dia tak menyadari kehadiranku? Dan pertanyaan
ajaibku? Pertanyaan yang dengan susah payah kukeluarkan paksa dari mulut?
“Apa
kau mau mengangkut zakat ini?” Ia mengangkat dua kantong beras zakat dan
menyerahkan padaku tanpa persetujuan, lalu sibuk mendata kembali. Yang benar
saja!
***
Malam
ini kami menginap di desa keempat, tepat di malam Ramadhan ke 29. Regu Perwira
mungkin akan segera dibubarkan setelah ini, jadi apa yang harus kulakukan? Aku
hanya berdiri kikuk di samping tiang salah satu rumah warga, melihatnya bermain
dengan anak-anak kecil dari desa ini.
“Ehem!” Aku tersentak dan mendapati
Rizka, teman satu fakultasku, tengah tersenyum jail. “Dari tadi mandangin dia terus!” lanjutnya. Aku
mendengus manja dan tanpa dikomando, Rizka menghentikan salah seorang dari regu
kami yang kebetulan lewat. “Kau tahu siapa dia?” tanya Rizka terus terang.
Aku
mengerutkan kening, tak habis pikir. Baru saja ingin kuhentikan tindakannya,
tapi urung karena aku juga ingin tahu.
Gadis
yang ditanya mengikuti telunjuk Rizka, “Oh, si Dimas? Dia dari jurusan
pendidikan anak sekolah luar biasa…,” lalu menatap ke arahku dan Rizka,
“kenapa?”
“Ah,
nggak… nanya doang, kelihatannya
baik, ya?” Rizka mengeluarkan jurus sok akrab dan mulai memperagakan nada
menggosip.
“Heem…”
gadis berjilbab biru yang ternyata lumayan manis itu mengangguk, mulai
terpancing dengan Rizka. “Tapi sayang… dia tuna rungu,” lanjutnya dengan suara
yang lirih, cukup untuk membuatku tertegun. Rizka melirikku sambil mnggigit
bibir.
Mataku
terpaku. Tak sempat berpaling dari lelaki yang kini tengah membawa anak-anak
itu ke dalam sebuah surau sederhana. Dia tuna rungu? Lelaki sebaik itu? Yang
mampu menggerakkan hatiku yang tak pernah tergugah untuk siapapun sebelumnya,
dengan sikap kepedulian dan kedewasaannya, ternyata tuna rungu? Alasan dia tak
mendengar pertanyaanku kemarin karena dia tuna rungu?
“Na?”
Aku tidak tahu berapa lama ia memanggil hingga sanggup membuatku berpijak lagi
di bumi. Gadis berjilbab biru tadi rupanya sudah pergi. Aku memandang Rizka sejenak,
kemudian pergi tanpa mengatakan apapun.
***
Aku
terbangun oleh suara merdu seseorang yang sedang bertadarus. Kutoleh Rizka yang
masih lelap usai memasak bersama penduduk desa. Sebenarnya, hari ini cukup
melelahkan, tapi suara merdu itu terus menarikku hingga aku berada di luar
rumah saat ini. Lengkap dengan jilbab merah kesukaanku. Siapa pemilik suara
merdu itu? Pemuda desa atau seseorang dari Regu Perwira kampus?
Langkahku
terhenti di depan surau, tertegun menatapnya sekali lagi. Mengapa ia selalu
berada dimanapun aku mengalihkan netra? Ia melantunkan ayat-ayat Al Quran
dengan takzimnya, membuat sesuatu dalam dada berdebar, tubuhku bergetar. Ya
Allah, dia tuna rungu, tapi suaranya begitu merdu membaca ayat suci-Mu. Tanpa
sadar, air mataku mengalir.
Rupanya
ia menyadari kedatanganku, membuatnya menghentikan tadarus. Beberapa pemuda
desa dan laki-laki dari Regu Perwira yang mengelilinginya, menoleh, mengikuti
arah pandang Dimas. Mereka saling berpandangan sejenak, tetap tak membuatku
beranjak dari tempatku berdiri. Dimas berdiri dan menghampiriku. Kupandang
Dimas seolah dia malaikat yang baru saja turun dari langit, begitu menenangkan
ketika memandang dan mendengar tartil Qurannya.
“Kamu …”
“Menikahlah
denganku,” Aku tidak tahu kemana hilangnya akal sehat di kepala. Dimas menoleh
ke kelompok tadarus, seorang lelaki dari Regu Perwira yang tampak terkejut,
memberikan isyarat padanya. Dimas tersentak, menjaring pandangku lagi dengan
wajah tak percaya.
Biar,
biar ia yang menyempurnakan separuh agamaku. Bukan lelaki lain yang kuminta,
bukan yang lebih sempurna darinya. Aku menginginkannya menjadi calon imamku,
yang memenuhi rumah dengan lantunan merdu ayat suci-Nya. Dia yang kuinginkan
menjadi ladang surga, jalanku menjamah taat kepada-Nya lebih dekat, lebih
lekat. Tak berarti ia harus mendengar suaraku untuk bisa mencintainya. Aku
hanya mencintainya.
Ia
mengerutkan kening, aku tahu seberapa gila ucapanku barusan, tapi aku
benar-benar serius. Air mata masih terus membanjiri wajah, “Cintaku tak berarti
kau harus mendengar tiap kata yang kuucap dari bibir, cukup dengarkan dari
hatimu,” lirihku. ***
Sebenarnya, ini adalah cerpen yang sudah lamaaaa sekali. Mungkin sudah tiga tahun yang lalu ya? Waktu itu, cerpen ini mendapat juara pertama dalam lomba menulis cerpen di bulan Ramadhan. Tapi, aku lupa apakah aku mendapatkan sertifikatnya atau tidak. Hehe.
Lomba ini diselenggarakan oleh Penerbit Indie bernama Indis Digital Publisher kalau aku tidak salah ingat. Dulu, saat masih SMA aku suka sekali mengikuti lomba-lomba untuk mendapatkan sertifikat keikutsertaan, lebih-lebih sertifikat juara. Namun, sekarang aku ingin berdalih bahwa aku sudah disibukkan dengan dunia perkuliahan yang tidak bisa dikatakan selo~
Waktu itu, aku masih menggunakan nama pena Den Raana. Haha. Nama penaku suka berganti-ganti. Awalnya, Yoira Nala, kemudian Den Raana. Itu saja sih dua nama pena yang dulu pernah atau sering kugunakan dalam berbagai event lomba menulis <3 Mau sok-sok an gitu ceritanya ^^
No comments:
Post a Comment