Saturday, 19 May 2018

[Cerita Pendek] Jalan Surgaku


“Siapa namamu?” Akhirnya aku berhasil mengatakan satu kalimat itu padanya, setelah sekian lama kupendam dan menyiksaku dengan terus berkutat dalam benak. Satu kalimat tanya, sederhana sebenarnya, tapi begitu mengusik bermalam-malam sejak kami menjadi Regu Perwira dari kampus untuk membagikan zakat dan makanan sahur ke pelosok kota.

Aku menanti dengan dungu, ia tak juga membalas pertanyaanku. Ia terus sibuk mendata beberapa zakat untuk disalurkan ke desa selanjutnya. Lalu lalang orang di sekeliling semakin membuatku terlihat bodoh karena berdiri di tengah jalan. Hening. Tetap tak ada jawaban.


Aku tahu aku hanya terdengar “murahan” dengan menanyakan nama seorang pria yang bahkan belum lama kulihat. Kami memang hanya berada dalam satu regu. Titik. Tidak lebih, tidak kurang. Tidak saling kenal, meski berasal dari kampus yang sama. Dia menoleh ke kanan dan kiri, sepertinya menghitung jumlah zakat, dan nampak sangat kaget ketika melihatku yang berdiri di sampingnya.

Aku tersenyum kikuk. Jadi dari tadi dia tak menyadari kehadiranku? Dan pertanyaan ajaibku? Pertanyaan yang dengan susah payah kukeluarkan paksa dari mulut?

“Apa kau mau mengangkut zakat ini?” Ia mengangkat dua kantong beras zakat dan menyerahkan padaku tanpa persetujuan, lalu sibuk mendata kembali. Yang benar saja!
***

Malam ini kami menginap di desa keempat, tepat di malam Ramadhan ke 29. Regu Perwira mungkin akan segera dibubarkan setelah ini, jadi apa yang harus kulakukan? Aku hanya berdiri kikuk di samping tiang salah satu rumah warga, melihatnya bermain dengan anak-anak kecil dari desa ini.

Ehem!” Aku tersentak dan mendapati Rizka, teman satu fakultasku, tengah tersenyum jail. “Dari tadi mandangin dia terus!” lanjutnya. Aku mendengus manja dan tanpa dikomando, Rizka menghentikan salah seorang dari regu kami yang kebetulan lewat. “Kau tahu siapa dia?” tanya Rizka terus terang.

Aku mengerutkan kening, tak habis pikir. Baru saja ingin kuhentikan tindakannya, tapi urung karena aku juga ingin tahu.

Gadis yang ditanya mengikuti telunjuk Rizka, “Oh, si Dimas? Dia dari jurusan pendidikan anak sekolah luar biasa…,” lalu menatap ke arahku dan Rizka, “kenapa?”

“Ah, nggak… nanya doang, kelihatannya baik, ya?” Rizka mengeluarkan jurus sok akrab dan mulai memperagakan nada menggosip.

“Heem…” gadis berjilbab biru yang ternyata lumayan manis itu mengangguk, mulai terpancing dengan Rizka. “Tapi sayang… dia tuna rungu,” lanjutnya dengan suara yang lirih, cukup untuk membuatku tertegun. Rizka melirikku sambil mnggigit bibir.

Mataku terpaku. Tak sempat berpaling dari lelaki yang kini tengah membawa anak-anak itu ke dalam sebuah surau sederhana. Dia tuna rungu? Lelaki sebaik itu? Yang mampu menggerakkan hatiku yang tak pernah tergugah untuk siapapun sebelumnya, dengan sikap kepedulian dan kedewasaannya, ternyata tuna rungu? Alasan dia tak mendengar pertanyaanku kemarin karena dia tuna rungu?

“Na?” Aku tidak tahu berapa lama ia memanggil hingga sanggup membuatku berpijak lagi di bumi. Gadis berjilbab biru tadi rupanya sudah pergi. Aku memandang Rizka sejenak, kemudian pergi tanpa mengatakan apapun.
***

Aku terbangun oleh suara merdu seseorang yang sedang bertadarus. Kutoleh Rizka yang masih lelap usai memasak bersama penduduk desa. Sebenarnya, hari ini cukup melelahkan, tapi suara merdu itu terus menarikku hingga aku berada di luar rumah saat ini. Lengkap dengan jilbab merah kesukaanku. Siapa pemilik suara merdu itu? Pemuda desa atau seseorang dari Regu Perwira kampus?

Langkahku terhenti di depan surau, tertegun menatapnya sekali lagi. Mengapa ia selalu berada dimanapun aku mengalihkan netra? Ia melantunkan ayat-ayat Al Quran dengan takzimnya, membuat sesuatu dalam dada berdebar, tubuhku bergetar. Ya Allah, dia tuna rungu, tapi suaranya begitu merdu membaca ayat suci-Mu. Tanpa sadar, air mataku mengalir.

Rupanya ia menyadari kedatanganku, membuatnya menghentikan tadarus. Beberapa pemuda desa dan laki-laki dari Regu Perwira yang mengelilinginya, menoleh, mengikuti arah pandang Dimas. Mereka saling berpandangan sejenak, tetap tak membuatku beranjak dari tempatku berdiri. Dimas berdiri dan menghampiriku. Kupandang Dimas seolah dia malaikat yang baru saja turun dari langit, begitu menenangkan ketika memandang dan mendengar tartil Qurannya.

“Kamu …”

“Menikahlah denganku,” Aku tidak tahu kemana hilangnya akal sehat di kepala. Dimas menoleh ke kelompok tadarus, seorang lelaki dari Regu Perwira yang tampak terkejut, memberikan isyarat padanya. Dimas tersentak, menjaring pandangku lagi dengan wajah tak percaya.

Biar, biar ia yang menyempurnakan separuh agamaku. Bukan lelaki lain yang kuminta, bukan yang lebih sempurna darinya. Aku menginginkannya menjadi calon imamku, yang memenuhi rumah dengan lantunan merdu ayat suci-Nya. Dia yang kuinginkan menjadi ladang surga, jalanku menjamah taat kepada-Nya lebih dekat, lebih lekat. Tak berarti ia harus mendengar suaraku untuk bisa mencintainya. Aku hanya mencintainya.

Ia mengerutkan kening, aku tahu seberapa gila ucapanku barusan, tapi aku benar-benar serius. Air mata masih terus membanjiri wajah, “Cintaku tak berarti kau harus mendengar tiap kata yang kuucap dari bibir, cukup dengarkan dari hatimu,” lirihku. ***


Sebenarnya, ini adalah cerpen yang sudah lamaaaa sekali. Mungkin sudah tiga tahun yang lalu ya? Waktu itu, cerpen ini mendapat juara pertama dalam lomba menulis cerpen di bulan Ramadhan. Tapi, aku lupa apakah aku mendapatkan sertifikatnya atau tidak. Hehe.
Lomba ini diselenggarakan oleh Penerbit Indie bernama Indis Digital Publisher kalau aku tidak salah ingat. Dulu, saat masih SMA aku suka sekali mengikuti lomba-lomba untuk mendapatkan sertifikat keikutsertaan, lebih-lebih sertifikat juara. Namun, sekarang aku ingin berdalih bahwa aku sudah disibukkan dengan dunia perkuliahan yang tidak bisa dikatakan selo~
Waktu itu, aku masih menggunakan nama pena Den Raana. Haha. Nama penaku suka berganti-ganti. Awalnya, Yoira Nala, kemudian Den Raana. Itu saja sih dua nama pena yang dulu pernah atau sering kugunakan dalam berbagai event lomba menulis <3 Mau sok-sok an gitu ceritanya ^^

No comments:

Post a Comment

Postingan Terbaru

2+5=7

Bel, mungkin di hari ini tepat 25 tahun lalu, langit sedang cerah, hujan batal turun, dan awan enggan bergumul. Sebab, hari itu ada suara ta...

Postingan Populer