Saturday, 19 May 2018

[Cerita Pendek] Tokyo Magnitude


Jepang, 11 Maret 2011

Aku mengumpat adikku dalam hati. Mendengus kesal. Ia benar-benar menyebalkan, selalu meminta mengantarnya ke sana ke mari, padahal  ia tahu ibu dan ayah yang sibuk bekerja takkan pernah mungkin bisa mengantarkannya, pada akhirnya selalu aku. Aku berdiri di tepian sungai Sumida, mengetik semua emosi yang bertikai dalam batin, ke dalam handphone.


“Kemana Yuki?” Aku menggeram, menghentakkan kaki. Lama sekali ia masuk ke Akasaka, pusat perbelanjaan di Kota Tokyo, untuk membeli sebuah kado ulang tahun ibu. Selama lima belas tahun hidupku, tak terbesit sedikit pun memberi ibu sebuah kado.


Aku bahkan tak ingat. Aku tak pernah berusaha mengingatnya. Menyayangi mereka pun tidak. Orang tuaku selalu sibuk bekerja, ketika berada di rumah, mereka malah sibuk bertengkar. Adikku? Ia sama menyebalkannya dengan mereka. Sangat merepotkan.

Aku menekan tuts-tuts handphone-ku dengan marah, kuketikkan tanpa sadar, “Aku berharap dunia ini hancur.” Baru saja selesai kuketikkan satu kalimat terakhir itu, tiba-tiba tanah yang kupijak bergoyang, aku terhempas, buru-buru kuraih pagar pengaman di depanku. Orang-orang panik dan saling berteriak, dadaku berdebar hebat.

“Gempa! Gempa!” Mereka saling berteriak, berlari untuk menyelamatkan diri, tubuhku bergetar lagi.

Aku menatap jembatan Rainbow dari kejauhan, jembatan yang menjadi pusat Kota Tokyo, jembatan itu patah, mobil-mobil berjatuhan ke Sungai Sumida. Aku menangis tanpa sadar, tanganku erat menggenggam pagar itu. Kusaksikan pula pasangan yang semenit yang lalu sedang bermesraan tak jauh dariku, mereka panik, jalanan mulai retak, si perempuan terjungkal.

“Saki!” Si lelaki meraihnya, mereka jatuh di antara jalan yang seolah terbelah menjadi dua. Mulutku menganga. Darah muncrat, mereka menghilang. Kucoba berdiri, tapi terjatuh lagi. Jalan itu terbelah ke arahku. Aku terengah, tak mampu menopang kelemahanku sendiri, ketakutan. Bibirku bergetar menahan teriakan, guncangan itu tak mau berhenti. Gedung Akasaka mulai kehilangan pondasi, satu persatu beton berjatuhan, menimpa orang-orang yang lalu lalang di bawahnya. Aku tercekat, menyipitkan mata. Bergidik. Guncangan itu semakin menjadi, handphone yang sedari tadi kugenggam, terlempar. Masih sempat terbaca  kalimat dengan huruf Hiragana-Kanji, yang semenit lalu kuketikkan. Menyesalinya.

Aku menutup mata sekali lagi ketika jalan di depanku membelah ke arahku, aku tak sanggup berdiri, lemas, suara beton-beton yang berjatuhan dan teriakan orang-orang membuat telinga seakan tuli. Tak sanggup bergerak, hanya memegang erat pagar, berdoa agar pagar yang telah rapuh ini tak menyeretku jatuh. Tuhan, selamatkan aku!
***

Aku membuka mata, tidak ada guncangan. Aku terengah. Gempa berhenti! Kulihat jalan di depanku berhenti terbelah tepat di depanku, aku bergidik ngeri. Segera kuberdiri walau lutut masih terasa lemas. Memandang berkeliling. Air mataku mengalir lagi, mayat-mayat bergelimpangan di depanku, meski beberapa orang tampak terseok, bertahan hidup.

Apakah ini semua salahku? Kakiku bergetar, melangkah ke arah gedung Akasaka yang hampir kehilangan seperempat betonnya. Yuki. Hanya nama itu yang ada di kepalaku. Dimana dia? Selamatkah dia? Butir bening ini semakin deras.

Orang-orang yang tadi berada di dalam gedung, mulai berhamburan keluar. Penjaga gedung yang selamat berusaha menuntun pengunjung agar keluar dari gedung. Sebagian besar dari mereka bersedekap, terlihat trauma, bahkan beberapa terluka. Aku menebar pandang. Dimana Yuki? Aku melawan arus sambil terus mencari.

“Ap-apakah Anda melihat anak kecil berumur tujuh tahun, mengenakan kaos kuning, dan celana biru? Ia-ia segini...” Aku memutuskan bertanya pada salah satu wanita yang baru keluar. Jantungku berdetak kencang. Ia menggeleng.

“Tidak,” jawabnya. Aku membungkuk, mengucapkan terima kasih. Melanjutkan ke dalam gedung. Detak jantungku terus memburu, membuat dada terasa sesak.

“Hei, Nak! Kau mau ke mana?” penjaga gedung itu berteriak. Aku menoleh. “Di dalam bahaya, jangan masuk!” Seketika itu pula tanah bergetar lagi. Aku menangkupkan kedua tangan di atas kepala. Takut.

“Awas!” Aku tidak tahu apa yang terjadi, tubuhku terhempas, nyeri, disusul bunyi beton jatuh. Sekali lagi terdengar teriakan. Aku membuka mata ketika tanah berhenti bergoyang. Kusadari tubuh hanya berjarak beberapa sentimeter dari beton itu.

“Kau tidak apa-apa?” Seorang wanita yang tak kukenal berkata dari belakang. Ia menyelamatkanku. Aku mengangguk, bibir bergetar. Nyawaku seperti sedang diburu.
***

“Yuki! Yuki!” Terseok bersama wanita yang tadi menyelamatkanku, masih, kucari Yuki. Wanita itu bernama Sera, ia terlihat berumur tiga puluhan. Rambutnya dikuncir kuda dengan topi bergambar jasa pengantar barang bertengger di kepalanya.

“Dimana terakhir kali kau lihat dia?” Ia menatapku. Aku terdiam.

“Tidakkah Anda juga mencari keluarga Anda? Kenapa Anda membantu saya?” Aku memandangnya tak mengerti. Ia tampak terkejut, lalu terseyum.

“Ya, aku juga mengkhawatirkan anak dan ibuku di Kota Sendai, kuharap mereka baik-baik saja, tapi aku tak bisa meninggalkan seorang anak kecil mencari adiknya sendirian.” Ia menatapku, seolah meminta jawaban dari pertanyaannya sebelumnya.

Aku termenung, ketika kemudian kutangkap sebuah suara dari toko penjual makanan. Aku mendongak, matanya menyiratkan bahwa ia juga mendengarnya. Kami bergegas menuju ke dalam toko. Berantakan, aku memandang berkeliling, tempat penyimpan makanan dan minuman berjatuhan, semua berserakan.

Duk! Duk!

“Tolong!” Sera-san bergegas ke salah satu lemari makanan di ujung toko. Aku mengikutinya, Sera-san melongok ke dalam ruang sempit antara lemari yang jatuh dengan lemari kecil yang menopangnya.

“Aku akan segera mengeluarkan Anda!” kata Sera-san yakin, lalu menatapku, meminta bantuan. Kami berusaha mengangkat lemari itu dengan susah payah, meski awalnya aku berpikir bahwa ini tidak mungkin, kami berhasil.

Aku tercekat melihat seorang anak kecil dalam rengkuhan pegawai toko wanita itu. “Yuki!” Aku menghambur ke arahnya.

Neechan!” Ia memelukku balik, tergugu dalam tangis. Aku menciuminya, dalam hati bersyukur ia tidak apa-apa, bersyukur masih bisa menemuinya dalam kondisi hidup.
***

“Syukurlah kau baik-baik saja, Yuki!” Aku menyusut air mata, membiarkan Yuki berjalan di depan. Aku melihat Sera-san dan pegawai toko itu saling melempar pandang, mereka membuang muka dari tatapku. Aku mengerutkan kening, tapi coba tak kuhiraukan.

“Ya, Kira-neechan, aku senang masih bisa bertemu neechan, aku harap kita bisa kembali ke rumah! Sudah kubelikan kado untuk ibu, jepit rambut yang bagus!” Kami berjalan ke luar gedung Akasaka, beberapa kali terasa beberapa getaran kecil, Sera-san mengatakan itu hanya gempa susulan.

 “Gempa tadi diprediksikan delapan koma sembilan skala richter,” pegawai toko itu baru saja menutup handphone-nya. Sera-san mengangguk, kemudian menatapku iba.


“Kita harus segera pulang dengan kapal bantuan, Kira... kau tinggal dimana?”

“Kota Sendai, sama dengan Anda,” jawabku. Aku mengerutkan kening, bertanya-tanya mengapa Sera-san mengatakan ‘kau’ dan bukan ‘kalian’. Aku tak peduli.

Aku menatap Yuki yang berlarian di depanku, air mata menggenang lagi, aku  bersyukur Tuhan masih mempertemukanku dengannya. Aku ingin kesempatan untuk hal yang dulu terlewatkan, bersamanya, bersama ibu dan ayah, aku tidak ingin lagi berharap agar dunia ini hancur. Tidak jika itu harus memisahkanku dari keluarga.
***

            Kami berpisah dari pegawai toko itu ketika menaiki perahu, kami berbeda kota. Aku sangat berterima kasih padanya sebelum kami berpisah karena telah menyelamatkan Yuki. Ia membalas dengan senyuman, air mata penuhi wajahnya.

Sera-san tak mau beranjak dari sisiku, tak coba menengok anak atau ibunya meski kekhawatiran sarat di wajah. Ia seperti menggendong sesuatu yang tak kutahu. Kami berjalan ke rumahku, Yuki tampak girang, ia berlarian di sekelilingku.

Neechan, kita akan sampai, aku berjanji untuk mengantarmu sampai di rumah, kan?” Aku memandang senyum polosnya. Mengapa dulu tak pernah kusadari bahwa ia begitu manis? Aku mengangguk sebagai jawaban. Sepanjang perjalanan, ia terus mengatakan akan mengantarku sampai ke rumah.

“Kira? Kira?” Aku tersentak mendengar suara ibu, tiba-tiba ia memelukku, menciumiku. “Kau baik-baik saja?” Aku terdiam, tak menyadari kami telah sampai di rumah. Aku menangis. Aku sudah takut takkan bisa bertemu ibu, ia memelukku seakan tak ingin lagi dilepaskan. “Dimana Yuki?” Ibu menatapku, kuedar pandang. Bingung. Ia baru saja di sini sesaat yang lalu. Pandanganku tertumpu pada Ibu yang memandang Sera-san. Aku menoleh, tersentak ketika kulihat Yuki berada dalam gendongan Sera-san.

“Yuki? Sesaat yang lalu Yuki masih berlarian—“ tenggorokanku mengering. Kepalaku pening. Memori berjalan cepat layaknya video yang dipaksa berputar mengingat semuanya. Ekspresi Sera-san, air mata pegawai toko, Ibu... tidak! “Yuki!” teriakku. Aku menghambur, kugoncangkan tubuh Yuki. Tak ada reaksi.

Air mata seolah tak pernah kering di mataku. Tawa polos Yuki, suaranya, semua terasa begitu nyata. Imajinasi? Semua imajinasi? Harapan ‘tuk bisa bermain bersamanya, membayar kekasaranku selama ini? Yuki! Tidak, Yuki! Yuki masih hidup, tidak! Sera-san menangis bersama ibu. Anganku buyar. Seperti kutelan pil pahit beberapa kali. Aku terduduk, menatap kosong tubuh kaku Yuki. Ia sudah meninggal sejak awal.

Kutenggelamkan wajah pada lutut. Yuki. Yuki. Kumaki kebodohan atas harapan yang sempat kuketik dalam handphone. Jika kutahu begini, tak akan pernah aku berharap seperti itu. Ibu memelukku. Kembalikan Yuki padaku. Aku berteriak dalam hati, tak sepatah katapun berhasil menyusup dari tenggorokan. Yuki, maafkan aku.***
Malang, 18 April 2015

Cerpen lain yang kutulis di tahun 2015! Hari ini pokoknya serba menguak aib! Haha. Cerpen ini tentu saja kuikutkan lomba dan dibukukan, hanya saja seperti biasa, aku lupa nama penerbit dan nama bukunya, saking banyaknya lomba yang dulu kuikuti secara membabi-buta. Cerpen ini kutulis karena terinspirasi setelah menonton anime "Tokyo Magnitude 7.0".
Yah, agak maksa memang karena saat itu jumlah halaman dibatasi maksimal hanya sekitar 5 halaman saja. Mau tidak mau, akhirnya aku berusaha memadatkan ceritanya walaupun terkesan jelek. hehe.



No comments:

Post a Comment

Postingan Terbaru

2+5=7

Bel, mungkin di hari ini tepat 25 tahun lalu, langit sedang cerah, hujan batal turun, dan awan enggan bergumul. Sebab, hari itu ada suara ta...

Postingan Populer