Jepang, 11 Maret 2011
Aku mengumpat adikku dalam hati. Mendengus kesal. Ia benar-benar menyebalkan, selalu meminta mengantarnya ke sana ke mari, padahal ia tahu ibu dan ayah yang sibuk bekerja takkan pernah mungkin bisa mengantarkannya, pada akhirnya selalu aku. Aku berdiri di tepian sungai Sumida, mengetik semua emosi yang bertikai dalam batin, ke dalam handphone.
“Kemana Yuki?” Aku
menggeram, menghentakkan kaki. Lama sekali ia masuk ke Akasaka, pusat
perbelanjaan di Kota Tokyo, untuk membeli sebuah kado ulang tahun ibu. Selama
lima belas tahun hidupku, tak terbesit sedikit pun memberi ibu sebuah kado.
Aku bahkan tak ingat. Aku
tak pernah berusaha mengingatnya. Menyayangi mereka pun tidak. Orang tuaku
selalu sibuk bekerja, ketika berada di rumah, mereka malah sibuk bertengkar.
Adikku? Ia sama menyebalkannya dengan mereka. Sangat merepotkan.
Aku menekan tuts-tuts handphone-ku dengan marah, kuketikkan
tanpa sadar, “Aku berharap dunia ini hancur.” Baru saja selesai kuketikkan satu
kalimat terakhir itu, tiba-tiba tanah yang kupijak bergoyang, aku terhempas,
buru-buru kuraih pagar pengaman di depanku. Orang-orang panik dan saling
berteriak, dadaku berdebar hebat.
“Gempa! Gempa!” Mereka
saling berteriak, berlari untuk menyelamatkan diri, tubuhku bergetar lagi.
Aku menatap jembatan
Rainbow dari kejauhan, jembatan yang menjadi pusat Kota Tokyo, jembatan itu
patah, mobil-mobil berjatuhan ke Sungai Sumida. Aku menangis tanpa sadar,
tanganku erat menggenggam pagar itu. Kusaksikan pula pasangan yang semenit yang
lalu sedang bermesraan tak jauh dariku, mereka panik, jalanan mulai retak, si
perempuan terjungkal.
“Saki!” Si lelaki
meraihnya, mereka jatuh di antara jalan yang seolah terbelah menjadi dua. Mulutku
menganga. Darah muncrat, mereka menghilang. Kucoba berdiri, tapi terjatuh lagi.
Jalan itu terbelah ke arahku. Aku terengah, tak mampu menopang kelemahanku
sendiri, ketakutan. Bibirku bergetar menahan teriakan, guncangan itu tak mau
berhenti. Gedung Akasaka mulai kehilangan pondasi, satu persatu beton
berjatuhan, menimpa orang-orang yang lalu lalang di bawahnya. Aku tercekat,
menyipitkan mata. Bergidik. Guncangan itu semakin menjadi, handphone yang sedari tadi kugenggam, terlempar. Masih sempat
terbaca kalimat dengan huruf
Hiragana-Kanji, yang semenit lalu kuketikkan. Menyesalinya.
Aku menutup mata sekali
lagi ketika jalan di depanku membelah ke arahku, aku tak sanggup berdiri,
lemas, suara beton-beton yang berjatuhan dan teriakan orang-orang membuat
telinga seakan tuli. Tak sanggup bergerak, hanya memegang erat pagar, berdoa
agar pagar yang telah rapuh ini tak menyeretku jatuh. Tuhan, selamatkan aku!
***
Aku membuka mata, tidak
ada guncangan. Aku terengah. Gempa berhenti! Kulihat jalan di depanku berhenti
terbelah tepat di depanku, aku bergidik ngeri. Segera kuberdiri walau lutut
masih terasa lemas. Memandang berkeliling. Air mataku mengalir lagi,
mayat-mayat bergelimpangan di depanku, meski beberapa orang tampak terseok, bertahan
hidup.
Apakah ini semua salahku?
Kakiku bergetar, melangkah ke arah gedung Akasaka yang hampir kehilangan
seperempat betonnya. Yuki. Hanya nama itu yang ada di kepalaku. Dimana dia?
Selamatkah dia? Butir bening ini semakin deras.
Orang-orang yang tadi
berada di dalam gedung, mulai berhamburan keluar. Penjaga gedung yang selamat
berusaha menuntun pengunjung agar keluar dari gedung. Sebagian besar dari
mereka bersedekap, terlihat trauma, bahkan beberapa terluka. Aku menebar
pandang. Dimana Yuki? Aku melawan arus sambil terus mencari.
“Ap-apakah Anda melihat
anak kecil berumur tujuh tahun, mengenakan kaos kuning, dan celana biru? Ia-ia
segini...” Aku memutuskan bertanya pada salah satu wanita yang baru keluar.
Jantungku berdetak kencang. Ia menggeleng.
“Tidak,” jawabnya. Aku
membungkuk, mengucapkan terima kasih. Melanjutkan ke dalam gedung. Detak
jantungku terus memburu, membuat dada terasa sesak.
“Hei, Nak! Kau mau ke
mana?” penjaga gedung itu berteriak. Aku menoleh. “Di dalam bahaya, jangan
masuk!” Seketika itu pula tanah bergetar lagi. Aku menangkupkan kedua tangan di
atas kepala. Takut.
“Awas!” Aku tidak tahu
apa yang terjadi, tubuhku terhempas, nyeri, disusul bunyi beton jatuh. Sekali
lagi terdengar teriakan. Aku membuka mata ketika tanah berhenti bergoyang.
Kusadari tubuh hanya berjarak beberapa sentimeter dari beton itu.
“Kau tidak apa-apa?”
Seorang wanita yang tak kukenal berkata dari belakang. Ia menyelamatkanku. Aku
mengangguk, bibir bergetar. Nyawaku seperti sedang diburu.
***
“Yuki! Yuki!” Terseok
bersama wanita yang tadi menyelamatkanku, masih, kucari Yuki. Wanita itu
bernama Sera, ia terlihat berumur tiga puluhan. Rambutnya dikuncir kuda dengan
topi bergambar jasa pengantar barang bertengger di kepalanya.
“Dimana terakhir kali kau
lihat dia?” Ia menatapku. Aku terdiam.
“Tidakkah Anda juga
mencari keluarga Anda? Kenapa Anda membantu saya?” Aku memandangnya tak
mengerti. Ia tampak terkejut, lalu terseyum.
“Ya, aku juga
mengkhawatirkan anak dan ibuku di Kota Sendai, kuharap mereka baik-baik saja,
tapi aku tak bisa meninggalkan seorang anak kecil mencari adiknya sendirian.”
Ia menatapku, seolah meminta jawaban dari pertanyaannya sebelumnya.
Aku termenung, ketika
kemudian kutangkap sebuah suara dari toko penjual makanan. Aku mendongak,
matanya menyiratkan bahwa ia juga mendengarnya. Kami bergegas menuju ke dalam
toko. Berantakan, aku memandang berkeliling, tempat penyimpan makanan dan
minuman berjatuhan, semua berserakan.
Duk! Duk!
“Tolong!” Sera-san bergegas ke salah satu lemari
makanan di ujung toko. Aku mengikutinya, Sera-san melongok ke dalam ruang
sempit antara lemari yang jatuh dengan lemari kecil yang menopangnya.
“Aku akan segera
mengeluarkan Anda!” kata Sera-san
yakin, lalu menatapku, meminta bantuan. Kami berusaha mengangkat lemari itu
dengan susah payah, meski awalnya aku berpikir bahwa ini tidak mungkin, kami
berhasil.
Aku tercekat melihat
seorang anak kecil dalam rengkuhan pegawai toko wanita itu. “Yuki!” Aku
menghambur ke arahnya.
“Neechan!” Ia memelukku balik, tergugu dalam tangis. Aku
menciuminya, dalam hati bersyukur ia tidak apa-apa, bersyukur masih bisa
menemuinya dalam kondisi hidup.
***
“Syukurlah kau baik-baik
saja, Yuki!” Aku menyusut air mata, membiarkan Yuki berjalan di depan. Aku
melihat Sera-san dan pegawai toko itu saling melempar pandang, mereka membuang
muka dari tatapku. Aku mengerutkan kening, tapi coba tak kuhiraukan.
“Ya, Kira-neechan, aku senang masih bisa bertemu neechan, aku harap kita bisa kembali ke
rumah! Sudah kubelikan kado untuk ibu, jepit rambut yang bagus!” Kami berjalan
ke luar gedung Akasaka, beberapa kali terasa beberapa getaran kecil, Sera-san mengatakan itu hanya gempa susulan.
“Gempa tadi diprediksikan delapan koma sembilan skala richter,” pegawai toko itu baru saja menutup handphone-nya. Sera-san mengangguk, kemudian menatapku iba.
“Kita harus segera pulang
dengan kapal bantuan, Kira... kau tinggal dimana?”
“Kota Sendai, sama dengan
Anda,” jawabku. Aku mengerutkan kening, bertanya-tanya mengapa Sera-san mengatakan
‘kau’ dan bukan ‘kalian’. Aku tak peduli.
Aku menatap Yuki yang
berlarian di depanku, air mata menggenang lagi, aku bersyukur Tuhan masih mempertemukanku
dengannya. Aku ingin kesempatan untuk hal yang dulu terlewatkan, bersamanya,
bersama ibu dan ayah, aku tidak ingin lagi berharap agar dunia ini hancur.
Tidak jika itu harus memisahkanku dari keluarga.
***
Kami
berpisah dari pegawai toko itu ketika menaiki perahu, kami berbeda kota. Aku
sangat berterima kasih padanya sebelum kami berpisah karena telah menyelamatkan
Yuki. Ia membalas dengan senyuman, air mata penuhi wajahnya.
Sera-san tak mau beranjak dari sisiku, tak coba menengok anak atau
ibunya meski kekhawatiran sarat di wajah. Ia seperti menggendong sesuatu yang tak
kutahu. Kami berjalan ke rumahku, Yuki tampak girang, ia berlarian di
sekelilingku.
“Neechan, kita akan sampai, aku berjanji untuk mengantarmu sampai di
rumah, kan?” Aku memandang senyum polosnya. Mengapa dulu tak pernah kusadari bahwa
ia begitu manis? Aku mengangguk sebagai jawaban. Sepanjang perjalanan, ia terus
mengatakan akan mengantarku sampai ke rumah.
“Kira? Kira?” Aku
tersentak mendengar suara ibu, tiba-tiba ia memelukku, menciumiku. “Kau
baik-baik saja?” Aku terdiam, tak menyadari kami telah sampai di rumah. Aku
menangis. Aku sudah takut takkan bisa bertemu ibu, ia memelukku seakan tak
ingin lagi dilepaskan. “Dimana Yuki?” Ibu menatapku, kuedar pandang. Bingung.
Ia baru saja di sini sesaat yang lalu. Pandanganku tertumpu pada Ibu yang
memandang Sera-san. Aku menoleh, tersentak ketika kulihat Yuki berada dalam
gendongan Sera-san.
“Yuki? Sesaat yang lalu
Yuki masih berlarian—“ tenggorokanku mengering. Kepalaku pening. Memori
berjalan cepat layaknya video yang dipaksa berputar mengingat semuanya.
Ekspresi Sera-san, air mata pegawai
toko, Ibu... tidak! “Yuki!” teriakku. Aku menghambur, kugoncangkan tubuh Yuki.
Tak ada reaksi.
Air mata seolah tak
pernah kering di mataku. Tawa polos Yuki, suaranya, semua terasa begitu nyata.
Imajinasi? Semua imajinasi? Harapan ‘tuk bisa bermain bersamanya, membayar
kekasaranku selama ini? Yuki! Tidak, Yuki! Yuki masih hidup, tidak! Sera-san menangis bersama ibu. Anganku buyar.
Seperti kutelan pil pahit beberapa kali. Aku terduduk, menatap kosong tubuh
kaku Yuki. Ia sudah meninggal sejak awal.
Kutenggelamkan wajah pada
lutut. Yuki. Yuki. Kumaki kebodohan atas harapan yang sempat kuketik dalam handphone. Jika kutahu begini, tak akan
pernah aku berharap seperti itu. Ibu memelukku. Kembalikan Yuki padaku. Aku
berteriak dalam hati, tak sepatah katapun berhasil menyusup dari tenggorokan.
Yuki, maafkan aku.***
Malang, 18 April 2015
Cerpen lain yang kutulis di tahun 2015! Hari ini pokoknya serba menguak aib! Haha. Cerpen ini tentu saja kuikutkan lomba dan dibukukan, hanya saja seperti biasa, aku lupa nama penerbit dan nama bukunya, saking banyaknya lomba yang dulu kuikuti secara membabi-buta. Cerpen ini kutulis karena terinspirasi setelah menonton anime "Tokyo Magnitude 7.0".
Yah, agak maksa memang karena saat itu jumlah halaman dibatasi maksimal hanya sekitar 5 halaman saja. Mau tidak mau, akhirnya aku berusaha memadatkan ceritanya walaupun terkesan jelek. hehe.
No comments:
Post a Comment