Biarkan harapan
tumbuh walaupun sesaat, bahwa kenangan tetap akan tertinggal di hati
orang-orang yang tahu bahwa hidup adalah perjuangan. Tidak boleh ada kata
menyerah hingga kali terakhir suara kehidupan itu didengar.
Filipina, Oktober 1944.
“Saya tentu
harus memimpin korps ini, Pak!” jawab Takada Koji, lulusan terbaik Akademi
Angkatan Udara Jepang tahun 1935, setelah Laksamana Ohnishi menawarinya menjadi
pemimpin korps Kamikaze, sebutan untuk pasukan udara berani mati Jepang. Semburat
keyakinan terlihat memenuhi matanya yang seolah berkilat.
Tidak ada
alasan bagi Koji untuk menolak tugas itu. Baginya, mati demi kaisar dan negara
adalah sebuah penghargaan terbesar yang bisa dicarinya dalam hidup. Terlebih,
apabila ia bisa mati sekaligus memusnahkan beberapa militer sekutu yang menjadi
musuh Jepang dalam peperangan. Tidak ada jaminan yang lebih membanggakan
daripada itu.
Laksamana
Ohnishi mengangguk sembari menarik kedua ujung bibirnya ke atas. “Arigatou gozaimasu[1],”
ucap Laksamana Ohnishi sebelum akhirnya berbalik keluar ruangan diikuti sikap
hormat dari Takada Koji. Diam-diam, mata Laksamana Ohnishi berkaca-kaca, ia
menghormati keteguhan hati Takada Koji yang menerima tugasnya tanpa gentar sama
sekali.
***
Suara deru
mesin mobil terdengar memasuki pekarangan. Laksamana Ohnishi mengintip keluar dari
jendela dan melihat sebuah mobil baru saja diparkir di halaman rumah rampasan
yang dijadikan kamp militer Jepang di Filipina. Tanpa menyalakan lampu
penerangan, mobil itu bergerak seperti belalang yang was-was disergap predator.
Laksamana
Ohnishi segera menoleh begitu terdengar ketukan pintu ruangannya. Seorang
prajurit memasuki ruangan dengan sikap segan. Ueda Jiro, prajurit itu, memberi
hormat dan setelah Laksamana Ohnishi mengangguk, ia memberikan laporannya.
“Pesawat
Takada Koji-san[2]
mengalami gangguan sehingga gagal terbang dan terpaksa mendarat darurat, Pak.
Kaki kanannya mengalami patah tulang,” lapor Ueda Jiro.
Laksamana Ohnishi
berpikir sejenak. “Suruh dia kemari sekarang. Aku ingin bicara dengannya.”
“Siap, Pak!”
Bersamaan dengan itu, Ueda Jiro memberi hormat, lalu keluar dari ruangan.
***
Koji berjalan
dengan kaki terseok menuju Jiro yang duduk di atas rerumputan di depan tenda
prajurit mereka. Mendengar langkah kaki yang tak biasa itu, Jiro menoleh dan
buru-buru membantu Koji duduk di sampingnya. Setelah bersusah payah duduk, Koji
mengembuskan napas berat. Keduanya terdiam cukup lama, tidak saling menoleh,
seolah suara katak di sekitar kamp telah menunjukkan betapa ributnya perasaan
mereka masing-masing saat itu.
“Apa yang
dikatakan Laksamana Ohnishi padamu?” tanya Jiro setelah menimang-nimang cukup
lama. Beberapa kali ia berusaha menelan kembali pertanyaan itu karena takut
membuat perasaan Koji semakin tidak enak setelah gagal melakukan misi Kamikaze-nya.
Koji baru
saja menyelesaikan perbincangannya dengan Laksamana Ohnishi. Rasa sakit yang
terasa menyengat di sekujur kaki kanan, bahkan tubuhnya, tidak lebih sakit dari
perasaannya yang kini tercabik. Ia ingin menjawab pertanyaan Jiro, sahabat yang
sejak awal masuk akademi militer, selalu bersamanya. Namun, mulutnya seolah
terkunci. Ia merasa malu walau hanya sekedar menjawab pertanyaan sahabatnya
itu. Yang ia bisa berikan saat ini hanya pandangan nanar yang entah ia arahkan
ke mana.
Mereka biasa
menghabiskan malam ditemani lampu minyak yang diletakkan di dekat tenda,
seperti malam itu. Suasana remang-remang itu bertujuan menghindari terlihatnya kamp
oleh pesawat Amerika dan sekutunya yang lalu lalang di langit. Mereka bisa melihat
gerak-gerik para teknisi yang sibuk memperbaiki mesin pesawat tempur Zero yang akan digunakan untuk serangan Kamikaze berikutnya pada esok hari.
Koji
menunduk, jelas sekali raut wajah penyesalan hadir di sana. Tanpa jawaban pun
Jiro sudah bisa menduga hasil perbincangan itu. Tiba-tiba, Jiro mengayunkan
tangannya ke belakang kepala Koji dengan cukup keras.
“Argh!” pekik Koji sambil memegang bagian
kepalanya yang baru saja dipukul Jiro. “Apa yang kau lakukan?”
“Bersemangatlah
sedikit! Kau tidak terlihat seperti Koji yang kukenal selama ini. Koji itu
sahabatku yang pantang menyerah, tidak mudah mengeluh, apalagi menampakkan
wajah murung begitu!” ungkap Jiro dengan wajah serius yang dibuat-buat. “Kau
ingat tidak? Saat kita berusaha menyusup keluar akademi hanya untuk melihat
gadis-gadis cantik di pasar. Aku sampai dilempari sayuran karena dikira
laki-laki hidung belang. Setelah itu, kita malah dihukum berlari keliling
lapangan 500 kali karena ketahuan menyusup keluar. Kakiku serasa mau patah saat
itu. Lalu, semalaman kita bergantian memijit kaki satu sama lain. Apakah sakit
di kakimu sekarang ini sama seperti waktu itu? Atau jangan-jangan pijitan
tanganku saat itu terasa lebih sakit?”
Mendengar
itu, Koji tidak jadi marah. Ia tersenyum, kenangan lama beringsut memenuhi
memorinya. Bagaimana ia bisa lupa? Tindakan-tindakan jahil yang dilakukannya
bersama Jiro selama menjalani pelatihan di akademi tidak pernah bisa ia
lupakan. Ketiadaan keluarga di sisinya membuat ia menjadikan Jiro satu-satunya
orang yang dianggap keluarganya di akademi militer. Beberapa detik kemudian
suara tawa Koji terdengar. Jiro hanya manggut-manggut melihat sahabatnya
kembali ceria.
“Kau tahu,
Koji?” suara Jiro itu menghentikan tawa Koji. “Menurutku, kau sangat pemberani.
Sejak di akademi, kau selalu berhasil membuatku kagum dengan kemampuanmu
mengendalikan pesawat. Kau selalu menjadi nomor satu.” Mata Jiro menerawang ke
depan. “Sekeras apapun aku mencoba, aku tak pernah bisa menjadi sepertimu,
mengapa? Kini aku menyadarinya.” Mata Jiro beralih menatap Koji. Kedua manik
mata mereka bertemu pandang. “Aku sadar, alasan mengapa aku tak pernah bisa
menjadi sepertimu adalah karena aku pengecut.”
Koji
menelisik mata Jiro yang tempias karena genangan air mata. “Jiro, apa yang coba
kau katakan?“
“Mungkin
itulah alasan mengapa ayah selalu memarahiku. Nyatanya, aku tak pernah memiliki
keberanian yang sama dengannya, ataupun kau, murid kebanggaannya.” Jiro menarik
bibirnya ke dalam, mencoba mengingat kembali kedisiplinan yang selalu
diterapkan ayahnya. Baik di rumah, di akademi, maupun di sini, di medan perang
yang bisa merenggut nyawanya sewaktu-waktu ini, ayahnya tetap keras
terhadapnya.
“Kau juga
tahu Jiro?” Kini ganti Jiro yang menoleh ke arah Koji. “Ah, kau pasti tak tahu.
Kau tidak tahu betapa ayahmu selalu memuji kerja kerasmu.” Koji
menggosok-gosokkan kedua tangannya. Angin malam, mau tidak mau membuat
jemarinya kaku. Apalagi, insiden jatuhnya pesawat yang dikendarai Koji masih
membekas.
Rintik
gerimis tiba-tiba turun. Mencoba mengganggu percakapan keduanya. Namun, rerintik itu tidak cukup mampu membuat
keduanya bergeming saat itu. Mereka tetap diam, ketika prajurit lain sibuk
menyelamatkan barang-barangnya dari air yang tercurah dari langit.
“Mungkin yang
kau lihat adalah betapa kerasnya ia padamu dan seringnya ia memujiku di
depanmu. Namun sebenarnya saat kau tidak ada, ia justru sering memuji betapa
kau selalu bekerja keras. Mungkin, kau memang tak sepemberani aku—kau yang
mengatakannya barusan—tapi kegigihanmu itu membuatku, bahkan ayahmu sendiri,
terkesan. Ia hanya berusaha tampak keras padamu agar kau tak tahu betapa ia
sangat menyayangimu.” Jiro mengerjapkan mata beberapa kali. Meyakinkan diri
bahwa yang baru saja didengarnya dari Koji bukanlah mimpi.
Mata Jiro
beralih ke rerumputan di depan mereka. Ia mengusap air hujan melekat di sana.
Otaknya sibuk berpikir, apakah yang barusan dikatakan oleh Koji adalah sebuah
semangat atau sebuah kenyataan? Ayahnya, bahkan tak pernah memperlakukannya
secara spesial di manapun Jiro berada. Di rumah, ia selalu dimarahi karena
tidak becus membantu ibunya. Dan di sini, di kamp militer ini, ia juga selalu
dimarahi karena tidak mahir mengendalikan pesawat.
Ah, ibu. Hati
Jiro kembali teriris ketika mengingat mendiang ibunya. Yang ia punya saat ini
hanya ayah yang selalu keras padanya dan Koji, sahabat yang selalu bersaing
dengannya. Meski ia tak pernah sekalipun menang melawan Koji.
Ia masih
ingat ketika usianya sepuluh tahun, ibunya meninggal karena sakit. Sampai
sekarang pun ia tidak tahu nama penyakit yang menyerang ibunya. Sejak itu,
ayahnya mendidiknya di kamp militer pasukan udara, sampai berita tentang Jepang
yang menghancurkan Pearl Harbor di Amerika, tersebar hingga ke telinganya. Mau
tidak mau, suka tidak suka, ia tahu kematiannya sudah dekat. Perang benar-benar
bergejolak, merampas ribuan, bahkan jutaan nyawa yang mati entah dengan rasa
bangga atau tersiksa.
Beberapa
teman satu angkatan militernya telah gugur dalam tugas. Amerika dan sekutu sedang
di atas angin. Akhir-akhir ini, begitu banyak berita tentang kekalahan Jepang
yang diterimanya. Dan baru-baru ini, ayahnya menemukan strategi baru sebagai
usaha menghancurkan pasukan militer Amerika dan sekutu. Sebuah taktik perang
yang brutal dengan cara menabrakkan pesawat yang membawa 250 kg bom ke
kapal-kapal perang Amerika dan sekutu. Ya, bersama sang pilot. Hanya tinggal
menunggu giliran baginya untuk dipanggil menjalankan misi itu. Sekali roda
pesawat berpisah dari landasan, maka tempat pulang tiada lain adalah kematian.
“Hei, kau
tidak percaya?” Koji melambaikan telapak tangannya ke arah pandangan Jiro yang
menerawang. Jiro terkesiap. Ia mencabut dirinya dari imajinasi yang sempat
membawanya tak lagi berpijak.
Jiro
memandang Koji yang terlihat cemas. Ia tidak bisa menahan tangannya yang sudah
melayang lagi ke belakang kepala Koji.
“Aw! Kenapa
kau malah memukulku lagi! Sekali-sekali, kau harus mencoba memukul kepalamu
sendiri! Kau ini hanya ahli memukul belakang kepalaku saja, tahu!” Koji
mengusap belakang kepalanya yang berdenyut. Beberapa saat kemudian, mereka
tergelak lagi.
“Apa ...,”
Jiro terlihat ragu-ragu. “Apa yang kau katakan tadi sungguhan? Maksudku, soal
ayahku yang sering memujiku di depanmu, apakah itu benar? Kau tidak sedang
mengerjaiku, kan? Kau tahu, kau selalu mengerjaiku karena kau lebih pintar dan
cerdas dariku. Jadi, kalau kau tadi hanya membual, aku tidak akan memaafkanmu,”
cerocos Jiro. Ia sedikit merasa malu mendengar ayahnya memujinya. Seumur-umur,
ia tak pernah mendengar sebuah pujian terlontar dari bibir ayahnya, untuknya.
“Ya, untuk
apa aku berbohong padamu.” Koji mengedikkan bahu. Ia tahu, sahabatnya itu akan
sangat senang mendengar hal itu. Jiro tersenyum, terlihat malu. Melihat itu,
Koji sudah memutuskan dalam hati.
Sudah sampai
sini, ia tak mungkin mundur begitu saja. Menjadi bagian dari akademi militer
Jepang adalah impiannya sejak kecil karena ia suka melihat pesawat, apalagi
menerbangkannya. Ia selalu berjuang agar bisa menjadi yang terbaik. Menghafalkan
ribuan istilah dan ratusan kasus penerbangan, serta cara mengatasinya. Tidak,
ia bukannya menerbangkan pesawat untuk membawa nyawa ratusan orang di
belakangnya. Tidak, ia tidak menginginkan itu.
Koji selalu
berpikir, ia hanya manusia biasa dan tidak pernah berharap menjadi orang suci
atau bajingan, pahlawan atau orang bodoh. Ia hanya ingin menjadi manusia biasa.
Sebagai seseorang yang menghabiskan hidupnya dalam pengharapan dan pencarian.
Ia hanya ingin mati dengan harapan, kehidupannya akan menjadi sebuah dokumen
manusia bernama sejarah.
Ia telah
meninggalkan keluarga, ia tidak pernah menemukan cinta, atau bahkan
merasakannya. Sekalipun, ia belum pernah. Dalam benaknya, selalu dan selalu
hanya ada pesawat dan penerbangan. Bukan ia tega meninggalkan keluarganya. Toh, cepat atau lambat, ia akan
dipanggil untuk bergabung bersama militer juga untuk berperang. Namun, ia tidak
ingin menjadi orang yang melakukannya dengan terpaksa. Ia ingin melakukannya
karena rasa pengabdian yang dalam kepada negara, kaisar, dan hidup orang-orang
Jepang yang sedang coba ia pertahankan, sekalipun hanya sehari lebih lama.
“Jiro, terima
kasih. Aku sudah memutuskan,” ucap Koji setelah berpikir sejenak. “Perang ini
harus segera berakhir. Tak ada kebaikan yang didapat dari peperangan. Kita
sendiri menyaksikan jiwa-jiwa tersiksa yang setiap hari kita temui. Mungkin
teman, mungkin keluarga dari surat-surat yang mereka kirimkan. Tak ada
peperangan yang berakhir dengan kebahagiaan. Tidak seorang pun. Sebenarnya, aku
tahu bahwa kau juga tahu, peperangan hanya soal mempertahankan ambisi dan harga
diri. Kita terluka, mereka juga terluka. Kita dilukai, kita juga melukai.
Di selatan
pulau ini, apa namanya? Indonesia? Di sana, aku dengar bangsa kita melakukan
penjarahan besar-besaran demi memenuhi kebutuhan perang. Terlalu banyak yang
telah dan akan kita korbankan untuk peperangan.” Jiro sedikit terkejut
mendengar perkataan heroik Koji yang tiba-tiba. Jiro terkekeh. Sahabatnya
memang seperti ini, tapi inilah dia. Kepercayaan dirinya sepertinya telah
kembali setelah melanglang buana entah ke mana. Jiro mengangguk, memahami
perkataan sahabatnya itu. Ia juga merasakan hal yang sama. “Namun meskipun
begitu, kita harus tetap berjuang demi negara dan kaisar. Tidak ada kata
menyerah untuk Jepang, tidak selama kita masih hidup dan masih bisa berjuang.”
Usai
mengatakannya, Koji bergerak menuju kediaman Laksamana Ohnishi dengan
terseok-seok. Ia juga menolak bantuan Jiro yang berniat membopongnya. Ia ingin
melakukannya sendiri. Jika berjalan sendiri saja tidak bisa, bagaimana ia akan
memimpin serangan Korps Kamikaze? Ia
memantapkan hati. Malam ini, ia akan meminta Laksamana Ohnishi agar
mengizinkannya ikut dalam korps serangan besok. Ia ingin berjuang sampai akhir
demi pengabdian pada negara dan kaisar, juga keluarganya yang mungkin saat ini
tidak dapat tidur dengan nyenyak. Jika sampai Filipina ini berhasil direbut
oleh pasukan tentara Amerika dan sekutu, tidak ada jaminan lagi bahwa Jepang
akan selamat dari serangan-serangan mereka yang berikutnya.
***
Esoknya, Koji
pergi bersama korps dengan senyuman di wajah. Ketika hari-hari berikutnya ia
tak kembali, Jiro sudah mengerti bahwa sahabatnya telah tiada. Sebuah laporan
keberhasilan serangan itu pun sampai di telinganya. Sahabatnya, dengan gagah
berani, sekalipun dengan satu kaki, tetap berjuang dengan semangat menggebu
melawan kapal-kapal perang musuh dengan pesawatnya. Dengan harapan yang
membunga di dada.
Jiro tahu
serangan ini adalah yang paling efektif, tapi bukan berarti kesempatan Jepang
untuk menang terbuka lebar. Ia sendiri sangat mengerti bahwa ini adalah bentuk
perjuangan untuk tidak begitu saja menyerah kalah. Ia juga harus melakukannya,
entah dia pengecut atau bodoh, ia hanya ingin melakukannya sebagai prajurit
pembela negara. Ia tidak bisa menunggu lebih lama untuk dipanggil menjadi
bagian dari korps serangan.
Jiro bergegas
menulis sebuah surat. Surat terakhir yang ia tujukan untuk ayahnya.
***
“Izinkan saya menjadi bagian dari korps
serangan besok, Pak!” pinta Jiro tegas. Ia sudah membulatkan tekad. Laksamana
Ohnishi terlihat ragu-ragu dengan permintaannya. Melihat itu, Jiro menambahkan,
“Saya memang bukan prajurit terbaik, Pak, tapi itu bukan alasan untuk tidak
berjuang sampai akhir demi negara kita dan kaisar,” desak Jiro.
Hening
menyeruak beberapa saat, sampai akhirnya Laksamana Ohnishi mengangguk setelah
melihat kebulatan tekad yang terpancar dari mata Jiro.
***
Ketika semua
pasukan Korps Kamikaze hari itu telah
berangkat, Laksamana Ohnishi kembali ke ruangannya. Kepalanya berkedut. Terjadi
insiden penyerangan oleh pesawat tempur milik Amerika sesaat sebelum pasukan Kamikaze berangkat pagi itu. Akibatnya,
beberapa pesawat mengalami kerusakan, beruntung masih ada lima pesawat yang
selamat dari serangan mendadak dari Amerika itu. Beberapa saat setelah pesawat
tempur Amerika tak lagi terlihat, Jiro yang pesawatnya termasuk dalam lima
pesawat yang selamat, pergi dengan senyuman terkembang seolah bersiap menyusul
Koji yang entah di mana arwahnya saat itu.
Laksamana
Ohnishi menegakkan punggung saat pintu ruangannya diketuk. Setelah ia
mengizinkan masuk, seorang teknisi pesawat tempur membuka pintu.
“Maaf, Pak,
ada titipan surat dari Ueda Jiro-san
untuk Anda.” Teknisi itu memasuki ruangan, lalu menyerahkan sebuah amplop yang
lusuh.
Laksamana
Ohnishi menerima surat itu dengan bingung. Ketika pergi, Jiro tak mengatakan
apapun padanya. Dan dengan sedikit berat hati, Laksamana Ohnishi melepas
kepergian anaknya itu. Sebenarnya, banyak hal yang ingin dikatakannya pada
Jiro. Terlalu banyak, sampai-sampai ia tidak tahu mana dulu yang ingin
dikatakannya. Ia tidak pernah memuji Jiro, salah satu penyesalannya saat ini.
Ia juga merasa tidak pernah mendidik Jiro dengan benar selama ini. Sejak
kepergian istrinya, jiwanya menjadi begitu dingin, bahkan pada anaknya sendiri.
Namun, setelah melihat roda pesawat Jiro yang meninggalkan lapangan, ada bagian
dari hatinya yang ikut terbang bersama Jiro.
Setelah
menatap amplop itu selama beberapa saat, Laksamana Ohnishi segera membuka
amplop yang berisi selembar kertas begitu teknisi itu pergi. Perlahan,
Laksamana Ohnishi membaca surat singkat dari Jiro.
“Chichiue[3], akhirnya aku bisa memanggilmu seperti ini
walaupun hanya lewat surat. Terima kasih karena kau telah mengizinkanku menjadi
bagian dari korps. Aku tahu kau akan mengizinkannya karena kau sangat mencintai
negaramu. Negara kita. Aku minta maaf karena tak pernah benar-benar bisa membuatmu
bangga—aku hampir selalu gagal dalam segala hal.
Aku akan selalu berpikiran negatif tentangmu
jika saja Koji tak pernah mengatakan bahwa sebenarnya kau selalu memujiku di
depannya. Terima kasih, meskipun aku tak pernah mendengar pujian itu secara
langsung dari mulutmu. Terima kasih untuk selalu mendidikku selama ini.
Penyesalan terbesarku dalam hidup ini adalah
kegagalan memanggilmu ‘chichiue’. Aku menyesal tak dapat menunjukkan rasa
hormatku yang sebenarnya terhadapmu. Dalam penerjunan terakhir, walau kau tak
dapat mendengarnya, aku akan mengucapkan ‘chichiue’ untuk pertama dan terakhir
kali untukmu dan memikirkan apa yang telah kau lakukan untukku selama ini. Terima
kasih, Chichiue.”
***
Jiro
menerbangkan pesawat tempur Zero yang
sudah terisi 250 kg bom. Ia segera menemukan sasarannya, sebuah kapal induk
Amerika yang berlayar tak jauh dari Teluk Leyte. Ia memusatkan perhatian. Ia tak
boleh gagal dalam misi terakhirnya. Begitu ia mengunci sasaran, ia menukikkan
pesawatnya.
“Chichiue, terima kasih. Maaf aku tak
pernah bisa memanggilmu—“
***
Yogyakarta, 18 Desember 2017
No comments:
Post a Comment