Friday, 6 April 2018

[Cerita Pendek] Last Voice


Biarkan harapan tumbuh walaupun sesaat, bahwa kenangan tetap akan tertinggal di hati orang-orang yang tahu bahwa hidup adalah perjuangan. Tidak boleh ada kata menyerah hingga kali terakhir suara kehidupan itu didengar.

Filipina, Oktober 1944.

“Saya tentu harus memimpin korps ini, Pak!” jawab Takada Koji, lulusan terbaik Akademi Angkatan Udara Jepang tahun 1935, setelah Laksamana Ohnishi menawarinya menjadi pemimpin korps Kamikaze, sebutan untuk pasukan udara berani mati Jepang. Semburat keyakinan terlihat memenuhi matanya yang seolah berkilat.


Tidak ada alasan bagi Koji untuk menolak tugas itu. Baginya, mati demi kaisar dan negara adalah sebuah penghargaan terbesar yang bisa dicarinya dalam hidup. Terlebih, apabila ia bisa mati sekaligus memusnahkan beberapa militer sekutu yang menjadi musuh Jepang dalam peperangan. Tidak ada jaminan yang lebih membanggakan daripada itu.

Laksamana Ohnishi mengangguk sembari menarik kedua ujung bibirnya ke atas. “Arigatou gozaimasu[1],” ucap Laksamana Ohnishi sebelum akhirnya berbalik keluar ruangan diikuti sikap hormat dari Takada Koji. Diam-diam, mata Laksamana Ohnishi berkaca-kaca, ia menghormati keteguhan hati Takada Koji yang menerima tugasnya tanpa gentar sama sekali.
***

Suara deru mesin mobil terdengar memasuki pekarangan. Laksamana Ohnishi mengintip keluar dari jendela dan melihat sebuah mobil baru saja diparkir di halaman rumah rampasan yang dijadikan kamp militer Jepang di Filipina. Tanpa menyalakan lampu penerangan, mobil itu bergerak seperti belalang yang was-was disergap predator.

Laksamana Ohnishi segera menoleh begitu terdengar ketukan pintu ruangannya. Seorang prajurit memasuki ruangan dengan sikap segan. Ueda Jiro, prajurit itu, memberi hormat dan setelah Laksamana Ohnishi mengangguk, ia memberikan laporannya.

“Pesawat Takada Koji-san[2] mengalami gangguan sehingga gagal terbang dan terpaksa mendarat darurat, Pak. Kaki kanannya mengalami patah tulang,” lapor Ueda Jiro.

Laksamana Ohnishi berpikir sejenak. “Suruh dia kemari sekarang. Aku ingin bicara dengannya.”

“Siap, Pak!” Bersamaan dengan itu, Ueda Jiro memberi hormat, lalu keluar dari ruangan.
***

Koji berjalan dengan kaki terseok menuju Jiro yang duduk di atas rerumputan di depan tenda prajurit mereka. Mendengar langkah kaki yang tak biasa itu, Jiro menoleh dan buru-buru membantu Koji duduk di sampingnya. Setelah bersusah payah duduk, Koji mengembuskan napas berat. Keduanya terdiam cukup lama, tidak saling menoleh, seolah suara katak di sekitar kamp telah menunjukkan betapa ributnya perasaan mereka masing-masing saat itu.

“Apa yang dikatakan Laksamana Ohnishi padamu?” tanya Jiro setelah menimang-nimang cukup lama. Beberapa kali ia berusaha menelan kembali pertanyaan itu karena takut membuat perasaan Koji semakin tidak enak setelah gagal melakukan misi Kamikaze-nya.

Koji baru saja menyelesaikan perbincangannya dengan Laksamana Ohnishi. Rasa sakit yang terasa menyengat di sekujur kaki kanan, bahkan tubuhnya, tidak lebih sakit dari perasaannya yang kini tercabik. Ia ingin menjawab pertanyaan Jiro, sahabat yang sejak awal masuk akademi militer, selalu bersamanya. Namun, mulutnya seolah terkunci. Ia merasa malu walau hanya sekedar menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Yang ia bisa berikan saat ini hanya pandangan nanar yang entah ia arahkan ke mana.

Mereka biasa menghabiskan malam ditemani lampu minyak yang diletakkan di dekat tenda, seperti malam itu. Suasana remang-remang itu bertujuan menghindari terlihatnya kamp oleh pesawat Amerika dan sekutunya yang lalu lalang di langit. Mereka bisa melihat gerak-gerik para teknisi yang sibuk memperbaiki mesin pesawat tempur Zero yang akan digunakan untuk serangan Kamikaze berikutnya pada esok hari.

Koji menunduk, jelas sekali raut wajah penyesalan hadir di sana. Tanpa jawaban pun Jiro sudah bisa menduga hasil perbincangan itu. Tiba-tiba, Jiro mengayunkan tangannya ke belakang kepala Koji dengan cukup keras.

Argh!” pekik Koji sambil memegang bagian kepalanya yang baru saja dipukul Jiro. “Apa yang kau lakukan?”

“Bersemangatlah sedikit! Kau tidak terlihat seperti Koji yang kukenal selama ini. Koji itu sahabatku yang pantang menyerah, tidak mudah mengeluh, apalagi menampakkan wajah murung begitu!” ungkap Jiro dengan wajah serius yang dibuat-buat. “Kau ingat tidak? Saat kita berusaha menyusup keluar akademi hanya untuk melihat gadis-gadis cantik di pasar. Aku sampai dilempari sayuran karena dikira laki-laki hidung belang. Setelah itu, kita malah dihukum berlari keliling lapangan 500 kali karena ketahuan menyusup keluar. Kakiku serasa mau patah saat itu. Lalu, semalaman kita bergantian memijit kaki satu sama lain. Apakah sakit di kakimu sekarang ini sama seperti waktu itu? Atau jangan-jangan pijitan tanganku saat itu terasa lebih sakit?”

Mendengar itu, Koji tidak jadi marah. Ia tersenyum, kenangan lama beringsut memenuhi memorinya. Bagaimana ia bisa lupa? Tindakan-tindakan jahil yang dilakukannya bersama Jiro selama menjalani pelatihan di akademi tidak pernah bisa ia lupakan. Ketiadaan keluarga di sisinya membuat ia menjadikan Jiro satu-satunya orang yang dianggap keluarganya di akademi militer. Beberapa detik kemudian suara tawa Koji terdengar. Jiro hanya manggut-manggut melihat sahabatnya kembali ceria.

“Kau tahu, Koji?” suara Jiro itu menghentikan tawa Koji. “Menurutku, kau sangat pemberani. Sejak di akademi, kau selalu berhasil membuatku kagum dengan kemampuanmu mengendalikan pesawat. Kau selalu menjadi nomor satu.” Mata Jiro menerawang ke depan. “Sekeras apapun aku mencoba, aku tak pernah bisa menjadi sepertimu, mengapa? Kini aku menyadarinya.” Mata Jiro beralih menatap Koji. Kedua manik mata mereka bertemu pandang. “Aku sadar, alasan mengapa aku tak pernah bisa menjadi sepertimu adalah karena aku pengecut.”

Koji menelisik mata Jiro yang tempias karena genangan air mata. “Jiro, apa yang coba kau katakan?“

“Mungkin itulah alasan mengapa ayah selalu memarahiku. Nyatanya, aku tak pernah memiliki keberanian yang sama dengannya, ataupun kau, murid kebanggaannya.” Jiro menarik bibirnya ke dalam, mencoba mengingat kembali kedisiplinan yang selalu diterapkan ayahnya. Baik di rumah, di akademi, maupun di sini, di medan perang yang bisa merenggut nyawanya sewaktu-waktu ini, ayahnya tetap keras terhadapnya.

“Kau juga tahu Jiro?” Kini ganti Jiro yang menoleh ke arah Koji. “Ah, kau pasti tak tahu. Kau tidak tahu betapa ayahmu selalu memuji kerja kerasmu.” Koji menggosok-gosokkan kedua tangannya. Angin malam, mau tidak mau membuat jemarinya kaku. Apalagi, insiden jatuhnya pesawat yang dikendarai Koji masih membekas.
Rintik gerimis tiba-tiba turun. Mencoba mengganggu percakapan keduanya. Namun,  rerintik itu tidak cukup mampu membuat keduanya bergeming saat itu. Mereka tetap diam, ketika prajurit lain sibuk menyelamatkan barang-barangnya dari air yang tercurah dari langit.

“Mungkin yang kau lihat adalah betapa kerasnya ia padamu dan seringnya ia memujiku di depanmu. Namun sebenarnya saat kau tidak ada, ia justru sering memuji betapa kau selalu bekerja keras. Mungkin, kau memang tak sepemberani aku—kau yang mengatakannya barusan—tapi kegigihanmu itu membuatku, bahkan ayahmu sendiri, terkesan. Ia hanya berusaha tampak keras padamu agar kau tak tahu betapa ia sangat menyayangimu.” Jiro mengerjapkan mata beberapa kali. Meyakinkan diri bahwa yang baru saja didengarnya dari Koji bukanlah mimpi.

Mata Jiro beralih ke rerumputan di depan mereka. Ia mengusap air hujan melekat di sana. Otaknya sibuk berpikir, apakah yang barusan dikatakan oleh Koji adalah sebuah semangat atau sebuah kenyataan? Ayahnya, bahkan tak pernah memperlakukannya secara spesial di manapun Jiro berada. Di rumah, ia selalu dimarahi karena tidak becus membantu ibunya. Dan di sini, di kamp militer ini, ia juga selalu dimarahi karena tidak mahir mengendalikan pesawat.

Ah, ibu. Hati Jiro kembali teriris ketika mengingat mendiang ibunya. Yang ia punya saat ini hanya ayah yang selalu keras padanya dan Koji, sahabat yang selalu bersaing dengannya. Meski ia tak pernah sekalipun menang melawan Koji.

Ia masih ingat ketika usianya sepuluh tahun, ibunya meninggal karena sakit. Sampai sekarang pun ia tidak tahu nama penyakit yang menyerang ibunya. Sejak itu, ayahnya mendidiknya di kamp militer pasukan udara, sampai berita tentang Jepang yang menghancurkan Pearl Harbor di Amerika, tersebar hingga ke telinganya. Mau tidak mau, suka tidak suka, ia tahu kematiannya sudah dekat. Perang benar-benar bergejolak, merampas ribuan, bahkan jutaan nyawa yang mati entah dengan rasa bangga atau tersiksa.

Beberapa teman satu angkatan militernya telah gugur dalam tugas. Amerika dan sekutu sedang di atas angin. Akhir-akhir ini, begitu banyak berita tentang kekalahan Jepang yang diterimanya. Dan baru-baru ini, ayahnya menemukan strategi baru sebagai usaha menghancurkan pasukan militer Amerika dan sekutu. Sebuah taktik perang yang brutal dengan cara menabrakkan pesawat yang membawa 250 kg bom ke kapal-kapal perang Amerika dan sekutu. Ya, bersama sang pilot. Hanya tinggal menunggu giliran baginya untuk dipanggil menjalankan misi itu. Sekali roda pesawat berpisah dari landasan, maka tempat pulang tiada lain adalah kematian.

“Hei, kau tidak percaya?” Koji melambaikan telapak tangannya ke arah pandangan Jiro yang menerawang. Jiro terkesiap. Ia mencabut dirinya dari imajinasi yang sempat membawanya tak lagi berpijak.

Jiro memandang Koji yang terlihat cemas. Ia tidak bisa menahan tangannya yang sudah melayang lagi ke belakang kepala Koji.

“Aw! Kenapa kau malah memukulku lagi! Sekali-sekali, kau harus mencoba memukul kepalamu sendiri! Kau ini hanya ahli memukul belakang kepalaku saja, tahu!” Koji mengusap belakang kepalanya yang berdenyut. Beberapa saat kemudian, mereka tergelak lagi.

“Apa ...,” Jiro terlihat ragu-ragu. “Apa yang kau katakan tadi sungguhan? Maksudku, soal ayahku yang sering memujiku di depanmu, apakah itu benar? Kau tidak sedang mengerjaiku, kan? Kau tahu, kau selalu mengerjaiku karena kau lebih pintar dan cerdas dariku. Jadi, kalau kau tadi hanya membual, aku tidak akan memaafkanmu,” cerocos Jiro. Ia sedikit merasa malu mendengar ayahnya memujinya. Seumur-umur, ia tak pernah mendengar sebuah pujian terlontar dari bibir ayahnya, untuknya.

“Ya, untuk apa aku berbohong padamu.” Koji mengedikkan bahu. Ia tahu, sahabatnya itu akan sangat senang mendengar hal itu. Jiro tersenyum, terlihat malu. Melihat itu, Koji sudah memutuskan dalam hati.

Sudah sampai sini, ia tak mungkin mundur begitu saja. Menjadi bagian dari akademi militer Jepang adalah impiannya sejak kecil karena ia suka melihat pesawat, apalagi menerbangkannya. Ia selalu berjuang agar bisa menjadi yang terbaik. Menghafalkan ribuan istilah dan ratusan kasus penerbangan, serta cara mengatasinya. Tidak, ia bukannya menerbangkan pesawat untuk membawa nyawa ratusan orang di belakangnya. Tidak, ia tidak menginginkan itu.

Koji selalu berpikir, ia hanya manusia biasa dan tidak pernah berharap menjadi orang suci atau bajingan, pahlawan atau orang bodoh. Ia hanya ingin menjadi manusia biasa. Sebagai seseorang yang menghabiskan hidupnya dalam pengharapan dan pencarian. Ia hanya ingin mati dengan harapan, kehidupannya akan menjadi sebuah dokumen manusia bernama sejarah.

Ia telah meninggalkan keluarga, ia tidak pernah menemukan cinta, atau bahkan merasakannya. Sekalipun, ia belum pernah. Dalam benaknya, selalu dan selalu hanya ada pesawat dan penerbangan. Bukan ia tega meninggalkan keluarganya. Toh, cepat atau lambat, ia akan dipanggil untuk bergabung bersama militer juga untuk berperang. Namun, ia tidak ingin menjadi orang yang melakukannya dengan terpaksa. Ia ingin melakukannya karena rasa pengabdian yang dalam kepada negara, kaisar, dan hidup orang-orang Jepang yang sedang coba ia pertahankan, sekalipun hanya sehari lebih lama.

“Jiro, terima kasih. Aku sudah memutuskan,” ucap Koji setelah berpikir sejenak. “Perang ini harus segera berakhir. Tak ada kebaikan yang didapat dari peperangan. Kita sendiri menyaksikan jiwa-jiwa tersiksa yang setiap hari kita temui. Mungkin teman, mungkin keluarga dari surat-surat yang mereka kirimkan. Tak ada peperangan yang berakhir dengan kebahagiaan. Tidak seorang pun. Sebenarnya, aku tahu bahwa kau juga tahu, peperangan hanya soal mempertahankan ambisi dan harga diri. Kita terluka, mereka juga terluka. Kita dilukai, kita juga melukai.

Di selatan pulau ini, apa namanya? Indonesia? Di sana, aku dengar bangsa kita melakukan penjarahan besar-besaran demi memenuhi kebutuhan perang. Terlalu banyak yang telah dan akan kita korbankan untuk peperangan.” Jiro sedikit terkejut mendengar perkataan heroik Koji yang tiba-tiba. Jiro terkekeh. Sahabatnya memang seperti ini, tapi inilah dia. Kepercayaan dirinya sepertinya telah kembali setelah melanglang buana entah ke mana. Jiro mengangguk, memahami perkataan sahabatnya itu. Ia juga merasakan hal yang sama. “Namun meskipun begitu, kita harus tetap berjuang demi negara dan kaisar. Tidak ada kata menyerah untuk Jepang, tidak selama kita masih hidup dan masih bisa berjuang.”

Usai mengatakannya, Koji bergerak menuju kediaman Laksamana Ohnishi dengan terseok-seok. Ia juga menolak bantuan Jiro yang berniat membopongnya. Ia ingin melakukannya sendiri. Jika berjalan sendiri saja tidak bisa, bagaimana ia akan memimpin serangan Korps Kamikaze? Ia memantapkan hati. Malam ini, ia akan meminta Laksamana Ohnishi agar mengizinkannya ikut dalam korps serangan besok. Ia ingin berjuang sampai akhir demi pengabdian pada negara dan kaisar, juga keluarganya yang mungkin saat ini tidak dapat tidur dengan nyenyak. Jika sampai Filipina ini berhasil direbut oleh pasukan tentara Amerika dan sekutu, tidak ada jaminan lagi bahwa Jepang akan selamat dari serangan-serangan mereka yang berikutnya.
***

Esoknya, Koji pergi bersama korps dengan senyuman di wajah. Ketika hari-hari berikutnya ia tak kembali, Jiro sudah mengerti bahwa sahabatnya telah tiada. Sebuah laporan keberhasilan serangan itu pun sampai di telinganya. Sahabatnya, dengan gagah berani, sekalipun dengan satu kaki, tetap berjuang dengan semangat menggebu melawan kapal-kapal perang musuh dengan pesawatnya. Dengan harapan yang membunga di dada.

Jiro tahu serangan ini adalah yang paling efektif, tapi bukan berarti kesempatan Jepang untuk menang terbuka lebar. Ia sendiri sangat mengerti bahwa ini adalah bentuk perjuangan untuk tidak begitu saja menyerah kalah. Ia juga harus melakukannya, entah dia pengecut atau bodoh, ia hanya ingin melakukannya sebagai prajurit pembela negara. Ia tidak bisa menunggu lebih lama untuk dipanggil menjadi bagian dari korps serangan.

Jiro bergegas menulis sebuah surat. Surat terakhir yang ia tujukan untuk ayahnya.
***
 “Izinkan saya menjadi bagian dari korps serangan besok, Pak!” pinta Jiro tegas. Ia sudah membulatkan tekad. Laksamana Ohnishi terlihat ragu-ragu dengan permintaannya. Melihat itu, Jiro menambahkan, “Saya memang bukan prajurit terbaik, Pak, tapi itu bukan alasan untuk tidak berjuang sampai akhir demi negara kita dan kaisar,” desak Jiro.

Hening menyeruak beberapa saat, sampai akhirnya Laksamana Ohnishi mengangguk setelah melihat kebulatan tekad yang terpancar dari mata Jiro.
***

Ketika semua pasukan Korps Kamikaze hari itu telah berangkat, Laksamana Ohnishi kembali ke ruangannya. Kepalanya berkedut. Terjadi insiden penyerangan oleh pesawat tempur milik Amerika sesaat sebelum pasukan Kamikaze berangkat pagi itu. Akibatnya, beberapa pesawat mengalami kerusakan, beruntung masih ada lima pesawat yang selamat dari serangan mendadak dari Amerika itu. Beberapa saat setelah pesawat tempur Amerika tak lagi terlihat, Jiro yang pesawatnya termasuk dalam lima pesawat yang selamat, pergi dengan senyuman terkembang seolah bersiap menyusul Koji yang entah di mana arwahnya saat itu.

Laksamana Ohnishi menegakkan punggung saat pintu ruangannya diketuk. Setelah ia mengizinkan masuk, seorang teknisi pesawat tempur membuka pintu.

“Maaf, Pak, ada titipan surat dari Ueda Jiro-san untuk Anda.” Teknisi itu memasuki ruangan, lalu menyerahkan sebuah amplop yang lusuh.

Laksamana Ohnishi menerima surat itu dengan bingung. Ketika pergi, Jiro tak mengatakan apapun padanya. Dan dengan sedikit berat hati, Laksamana Ohnishi melepas kepergian anaknya itu. Sebenarnya, banyak hal yang ingin dikatakannya pada Jiro. Terlalu banyak, sampai-sampai ia tidak tahu mana dulu yang ingin dikatakannya. Ia tidak pernah memuji Jiro, salah satu penyesalannya saat ini. Ia juga merasa tidak pernah mendidik Jiro dengan benar selama ini. Sejak kepergian istrinya, jiwanya menjadi begitu dingin, bahkan pada anaknya sendiri. Namun, setelah melihat roda pesawat Jiro yang meninggalkan lapangan, ada bagian dari hatinya yang ikut terbang bersama Jiro.

Setelah menatap amplop itu selama beberapa saat, Laksamana Ohnishi segera membuka amplop yang berisi selembar kertas begitu teknisi itu pergi. Perlahan, Laksamana Ohnishi membaca surat singkat dari Jiro.

Chichiue[3], akhirnya aku bisa memanggilmu seperti ini walaupun hanya lewat surat. Terima kasih karena kau telah mengizinkanku menjadi bagian dari korps. Aku tahu kau akan mengizinkannya karena kau sangat mencintai negaramu. Negara kita. Aku minta maaf karena tak pernah benar-benar bisa membuatmu bangga—aku hampir selalu gagal dalam segala hal.

Aku akan selalu berpikiran negatif tentangmu jika saja Koji tak pernah mengatakan bahwa sebenarnya kau selalu memujiku di depannya. Terima kasih, meskipun aku tak pernah mendengar pujian itu secara langsung dari mulutmu. Terima kasih untuk selalu mendidikku selama ini.

Penyesalan terbesarku dalam hidup ini adalah kegagalan memanggilmu ‘chichiue’. Aku menyesal tak dapat menunjukkan rasa hormatku yang sebenarnya terhadapmu. Dalam penerjunan terakhir, walau kau tak dapat mendengarnya, aku akan mengucapkan ‘chichiue’ untuk pertama dan terakhir kali untukmu dan memikirkan apa yang telah kau lakukan untukku selama ini. Terima kasih, Chichiue.”
***

Jiro menerbangkan pesawat tempur Zero yang sudah terisi 250 kg bom. Ia segera menemukan sasarannya, sebuah kapal induk Amerika yang berlayar tak jauh dari Teluk Leyte. Ia memusatkan perhatian. Ia tak boleh gagal dalam misi terakhirnya. Begitu ia mengunci sasaran, ia menukikkan pesawatnya.

Chichiue, terima kasih. Maaf aku tak pernah bisa memanggilmu—“
***
Yogyakarta, 18 Desember 2017






[1] Terima kasih
[2] Panggilan hormat untuk menyebut nama orang lain
[3] Ayah yang terhormat

No comments:

Post a Comment

Postingan Terbaru

2+5=7

Bel, mungkin di hari ini tepat 25 tahun lalu, langit sedang cerah, hujan batal turun, dan awan enggan bergumul. Sebab, hari itu ada suara ta...

Postingan Populer