Monday 20 August 2018

[Untold Story] Ada Rindu yang Tertinggal di Tanah KKN

[Pemandangan di Desa Bawang, Tempuran, Magelang]
Foto: Roy Marthen

Bukankah rerumpun rindu telah tumbuh terlalu lebat malam ini dan malam-malam sebelum penantian?
Bukankah ilalang waktu sudah memasung begitu tinggi di pekarangan kenangan?

Rindu masih menjadi hal yang tak pernah tertinggal dan tak pernah mau ketinggalan menyertai setiap langkah. Ketika hari-hari menjelang KKN merangkak semakin dekat dan sangat merisaukan, hanya kepasrahan demi memenuhi mata kuliah wajib sebagai syarat kelulusanlah yang senantiasa berhasil menenangkan diri. Hanya seminggu usai merayakan hari Idul Fitri, kaki melangkah ke tempat plotting KKN dengan berat. Agaknya, konsep mengabdikan diri pada masyarakat belumlah tertanam terlalu dalam di hati sebagian besar kami.



Ah, membayangkan diri yang separuh asosial ini melebur bersama mahasiswa-mahasiswi se-kampus yang bahkan belum pernah ditemui, sangatlah menjengkelkan. Mengimajinasikan program kerja yang bisa dilakukan di desa, bersosialisasi dengan banyak warga demi sebuah “citra baik kampus” pun menjadi beban tambahan di hari keberangkatan. Namun, rupanya pepatah memang selalu benar; kita tidak akan pernah tahu sebelum mencoba.

Aku tak pernah ingin lupa. Hari pertama, mungkin adalah duka. Hari kedua, mungkin adalah luka. Hari ketiga, mungkin adalah lelah. Hari keempat, mungkin adalah jengah. Hari kelima, mungkin adalah pasrah. Hari keenam, mungkin adalah tabah. Hari ketujuh, mungkin adalah kita. Kita, orang-orang yang baru dipertemukan di kelompok unit yang asing. Kita, mahasiswa-mahasiswi yang masih berusaha sekuat tenaga menunjukkan seberapa bermanfaatnya ilmu ini untuk rakyat bangsa sendiri. Waktu berlalu tanpa peduli rasa, datang tanpa pernah menunda, serta tawa tak juga bisa terlewat begitu saja.

Seringkali kami berujung pada kegelisahan: mau diapakan desa ini? Apa yang bisa kami perbuat untuk desa ini? Apakah kami akan benar-benar bisa sedikit saja membantu pembangunan desa? Apakah kami bisa? Jawabannya, baru dapat kami temukan beberapa hari kemudian. Ya, kami bisa!

Kami memang berjalan bukan dengan keyakinan, melainkan keraguan yang terus beranak pinak. Ya, kami takut, kami malu ketika tutur bahasa kami belum bisa sebaik yang kami atau penduduk desa harapkan. Ya, kami takut, kami malu ketika perilaku kami ada yang tidak berkenan di hati para penduduk desa. Mungkin, harapan mereka begitu besar akan kedatangan kami. Mungkin, harapan mereka tumbuh terlalu tinggi untuk kami karena beberapa belas tahun yang lalu, mahasiswa yang memakai almamater sama dengan kami, berhasil menemukan dan membangun sumber air untuk warga. Betapa hebatnya!

Beban apa yang tengah kami bawa saat ini? Berharap kesuksesan kami bisa mnegikuti jejak para pendahulu yang telah “menyelamatkan” Desa Bawang, Kecamatan Tempuran, Magelang ini dengan jerih payah dan perjuangan. Bisa apa kami? Jangan-jangan kami malah merusak citra baik yang selama ini sudah mendiami benak sebagian besar penduduk desa dengan kedatangan kami? Jangan-jangan …

Apa yang kami harapkan? Ya, tentu kami berharap kami bisa melakukan lebih! Kami berharap, kami mampu memberikan yang terbaik, mengusahakan yang sebenar-benarnya perjuangan, tapi mungkin kenyataan tidak seindah pemikiran naif kami.

Penduduk desa selalu mengeluhkan kurangnya ketersediaan air bersih, mengeluhkan pula tanaman-tanaman yang seringkali tidak laku dipasaran, dan sebagainya. Kami carikan bersama solusinya. Kami buatkan prototype “Penangkap Embun” di Dusun Bulusari agar nantinya apabila alat tersebut telah berhasil, selanjutnya warga dapat membuat benda serupa untuk membantu mengatasi kesulitan air di Desa Bawang.

Kami bantu mengelola pos kamling Dusun Pujan yang terbengkalai dengan memperbaiki, membersihkan, mengecat ulang, serta menambahkan rak buku beserta isinya agar anak-anak Desa Bawang memiliki minat dan ketertarikan lebih terhadap ilmu, sehingga memiliki kemauan untuk melanjutkan studi. Yang warga desa keluhkan, kebanyakan warga mereka belum sepenuhnya sadar akan pentingnya pendidikan. Semoga taman baca hasil “menyulap” pos kamling terbengkalai tersebut bisa bermanfaat bagi warga desa terkait keluhannya selama ini.

Kami undang pula pembicara untuk seminar keilmuan bertajuk “Pengelolaan Limbah Sampah serta Cara Memanfaatkannya untuk Mendulang Rupiah” oleh Dinas Lingkungan Hidup Magelang. Tidak lupa juga kami berikan arahan pada warga desa terkait cara pemasaran hasil olahan produk yang dihasilkan di tanah Desa Bawang agar nantinya warga dapat memanfaatkan teknologi demi mengais pundi-pundi rupiah.

Tiga program tersebut merupakan contoh dari pengusahaan kami, KKN-PPM UGM 2018 Unit Desa Bawang, agar bisa turut membantu warga hengkang dari balutan tingkat ekonomi yang tergolong sangat rendah. Mungkin, kami masih belum bisa menemukan sumber air lain demi memenuhi kebutuhan para warga. Mungkin, kami belumlah cukup membantu warga untuk menggiatkan potensi wisata Desa Bawang. Namun, semua yang telah kami lakukan dan laksanakan sebagai program-program kami adalah murni bentuk pengabdian.

Terlalu banyak kekurangan kami apabila ditanyakan. Tentu. Sangat kurang malah. Meskipun begitu, dalam jangka waktu satu setengah bulan yang berharga bagi benih-benih pengalaman kami dalam bermasyarakat, jujur terlalu banyak yang kami dapatkan. Kami belajar beramah-tamah dan selalu mengembangkan senyuman pada siapapun yang kami temui. Bahkan, hal-hal kecil seperti berjabat tangan ternyata merupakan hal yang sangat krusial dalam hidup bermasyakarat. Kami juga belajar menerima dan menyuguhi tamu dengan makanan dan minuman terbaik yang kami miliki. Kami belajar sangat banyak.

Satu hal yang tidak pernah terhapus kala mengingat Desa Bawang adalah dengung rebananya yang menggaung dari toa masjid. Begitu syahdu dan menggugah nurani. Suasana minim penerangan di sepanjang jalan naik dan berkelok yang kami temui di tengah belantara, begitu meninabobokan kenangan. Suara sapaan warga desa, lengkung senyum mereka saat melihat kami, sungguh takkan mungkin kami lupakan seumur hidup.

Apabila kami mengeluh rindu keluarga ketika berada di sana, kami kembali mengutuk diri ketika telah berada di rumah, tapi hati kami masih tersangkut di rumah-rumah warga. Ada rindu yang selalu menyusupi pandangan ketika melihat sederetan pohon di pinggir jalan, mengingatkan kembali pada deretan pepohonan di Desa Bawang. Ada rindu yang terselip di antara suara adzan, ketika kemudian ingatan melanglang buana di pekarangan pondokan.

Ada. Ada rindu yang terbakar ketika tawa anggota keluarga, menggemakan memori kami yang menangis dan tertawa dalam perjuangan bernama KKN-PPM UGM 2018. Ada. Ada rindu yang tertinggal di tanah KKN.***
Malang, 18 Agustus 2018

No comments:

Post a Comment

Postingan Terbaru

2+5=7

Bel, mungkin di hari ini tepat 25 tahun lalu, langit sedang cerah, hujan batal turun, dan awan enggan bergumul. Sebab, hari itu ada suara ta...

Postingan Populer