Saturday 19 May 2018

[Cerita Pendek] Permainan Dunia Maya


Pada satu kepercayaan yang kudapat entah darimana, aku duduk. Setengah gelisah. Memutar otak sekeras mungkin untuk membuat banyak rencana. Setelah aku bertemu dengannya, apa yang harus kukatakan? Topik apa yang pas untuk memulai percakapan antara aku dan dia? Kemana kami harus pergi setelah ini? Kebun Binatang? Ah, itu mungkin terlalu norak mengingat hewan-hewan di sana sama sekali tidak senang ditonton. Entah perlakuan seperti apa yang mereka terima dari petugas kebun binatang. Duh, mengapa aku jadi memikirkan hal ini?

Pantai? Aku rasa itu tempat paling romantis yang bisa terpikirkan oleh sepasang kekasih. Eh? Kekasih? Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Aku tidak percaya mengatakan hal sejenis “sepasang kekasih” dengan orang yang bahkan belum pernah kutemui sebelumnya. Meskipun begitu, dia telah setuju untuk menjalin hubungan denganku, jika kini aku menganggapnya adalah kekasihku boleh kan?


Dia? Ya, dia. Namanya Ninis Menjemput Jingga, setidaknya itulah nama yang terpampang pada akun media sosialnya. Geli? Awalnya aku pun merasa begitu, tapi tak bisa kupungkiri setelah sekian lama melajang, dialah satu-satunya wanita yang berhasil merebut hatiku. Setelah hampir tujuh tahun terakhir, aku benar-benar menjauh dari yang namanya cinta. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa meluluhkanku. Dari sekian banyak wanita cantik di kantor yang mengejarku, kenapa dia yang belum pernah tersapa netra?

“Kediri! Kediri! Ayo, Bu, Pak, masih ada kursi!” Suara kondektur bus sejenak mengibaskan lamunanku.

Aku memperhatikan sekeliling, masih menunggu. Mungkin aku dungu karena datang dua jam lebih cepat dari waktu perjanjian kami. Kulirik jam tangan hitam yang sengaja kubeli kemarin agar terlihat keren di depannya. Pukul dua siang. Rencananya, dia akan sampai di terminal ini jam empat sore. Dia yang memaksa untuk datang ke kota kelahiranku ini, jika dia tidak memohon-mohon seperti yang dia lakukan seminggu lalu lewat telepon, tentu aku yang bergegas pergi ke kotanya, Lamongan.

Aku menggoyangkan kaki kananku, kebiasaan ketika aku merasa gugup. Ini memang bukan pertama kalinya untukku, tapi tetap saja setelah tujuh tahun lamanya aku tak berhubungan dengan wanita—termasuk wanita-wanita ganjen di kantor yang selalu mengganggu—, aku merasa gugup. Bahkan, aku tidak bisa tidur semalaman karena terus memikirkannya dan pertemuan kami hari ini.

“Apa kau yakin akan pergi?” Aku menoleh ke arah sumber suara. Seorang lelaki dengan seragam putih abu-abu, sedang berusaha menahan tangan seorang gadis yang juga memakai seragam yang sama dengannya.

“Ya, aku harus. Kau tahu sendiri kalau tidak, Kakak akan terus menerus memarahiku.”

“Tapi—“

“Dicky, dengarkan aku. Aku tak akan pernah melupakanmu. Percayalah. Jika sudah waktunya, aku akan kembali ke sini dan menemuimu dan bersama denganmu lagi. Oke?”

Laki-laki berambut cepak dengan kacamata coklat terbingkai di matanya bernama Dicky itu menangguk, meski kerutan tak terusir dari dahinya. Gadis cantik yang berambut panjang bergelombang itu tersenyum, mungkin merasa telah berhasil meyakinkan lelakinya.

“Kau bukan ke Bali untuk menemuinya, kan?” Setelah terdiam beberapa detik, laki-laki itu akhirnya bersuara lagi.

“Siapa yang kau maksud?”

“Tentu saja laki-laki itu. Yang selalu chat denganmu.” Kerutan di dahi Dicky bertambah, begitu juga dengan kerutan di dahi gadis berkulit putih di depannya.

“Eh? Siapa? Lanang? Tentu saja ... tidak.” Gadis itu tersenyum canggung. Mungkin ia berusaha menetralkan wajahnya, namun malah terlihat bahwa ia sudah berbohong.

Aku mengembuskan napas. Bukan maksudku menguping pembicaraan mereka, tapi mereka berdialog tepat di depanku, tidak mungkin aku tak mendengarkannya. Dalam hati, jujur aku geli dengan kisah cinta mereka. Mereka masih remaja, uang masih minta kepada orang tua, aku yakin, tapi mereka sudah menjalani kisah cinta seperti ini. Aku seperti sedang menonton drama picisan di salah satu televisi swasta yang sering ditonton adik perempuanku. Mengapa remaja zaman sekarang suka sekali drama remeh semacam itu? Aku kurang paham dengan pemikiran mereka.

“Kau tidak bohong, kan?” Dicky menatap gadis itu lekat.

Bah! Masa dia percaya dengan kata-kata gadis itu? Sudah jelas gadis itu berbohong. Aku tak menghiraukan lalu-lalang di sekitar kami karena padatnya terminal, begitu juga mereka. Seolah-olah, di terminal ini hanya ada mereka berdua. Aku pun tak bisa untuk berpura-pura tidak memperhatikan mereka.

Gadis itu melirik ke segela arah. Nah, sudah jelas dia sedang berbohong kan? Kulihat, keringat mulai menetes dari dahinya yang mulus. Ia tersenyum lagi. Terlihat canggung sekali.

“Tentu saja, aku mencintaimu dan kau pun juga begitu, kan? Busku akan segera berangkat. Aku pergi dulu, ya?” Gadis itu menangkupkan kedua telapak tangannya pada wajah Dicky. Mata Dicky terpejam, mungkin meresapi dekapan itu. Ah, aku mengalihkan pandangan.

“Baiklah, jaga dirimu baik-baik.” Setelah Dicky mengatakan itu, gadisnya berbalik, melangkah masuk ke dalam sebuah bus yang akan berangkat. Sebelum menghilang, gadis itu melambai pada Dicky.

“Aku mencintaimu, Dicky!”

“Aku juga! Hati-hati!”

Aku menelan ludah. Apa-apaan mereka pamer kemesraan di depan umum. Namun, diam-diam aku ingin juga seperti itu. Mengucapkan kata cinta pada seseorang dengan lantang. Apakah ketika Ninis turun dari busnya, aku sebaiknya melakukan hal itu juga? Meneriakkan padanya bahwa aku mencintainya dan ingin segera menikahinya?

Dicky masih berdiri tak jauh di depanku, memandangi bus yang membawa gadisnya hingga hilang dari belokan terminal. Ia baru benar-benar berbalik beberapa menit kemudian. Tanpa kusangka, Dicky mengalihkan pandangan ke arahku. Aku terkesiap dan buru-buru membuang pandangan kemana pun asal tidak pada manik matanya. Eh? Mengapa aku takut? Apa aku sedang ditelanjangi karena ketahuan memperhatikannya dari tadi?

Dicky berjalan ke arahku dan tanpa permisi langsung menghempaskan pantatnya di sebelahku.

“Anda sedang menunggu seseorang?” Aku terdiam. Masih mengais pemandangan lain yang bisa kuraih dari jaring pandangku. Aku baru menoleh ketika dia berdeham.

“Kau bicara padaku?” aku balik bertanya padanya.

“Tentu.” Dia melepaskan kaca mata dan mengusapnya dengan sapu tangan putih bergaris biru. Aku terdiam beberapa saat, mencoba mencerna kembali pertanyaannya yang kukira dilontarkan untuk orang lain.

“Ah, ya,” jawabku canggung.

“Baguslah, aku juga sedang menunggu seseorang.” Ia berucap sambil membingkaikan kembali kaca matanya. Aku mengangguk.

“Menunggu siapa? Saudaramu?” Aku memutuskan untuk melontarkan topik obrolan sebagai pria dewasa. Aku sedikit melonggarkan dasi yang membuatku gerah.

Dicky tidak langsung menjawab. Aku meliriknya yang seperti sedang menimang-nimang sesuatu. Pandangan kami berpagut singkat saat akhirnya ia berkata, “Ya, pacarku.”

Aku terbatuk. Kalau saat ini aku sedang meminum sesuatu, aku pasti sudah menghamburkannya ke wajah Dicky. Aku berdeham, mencoba mengembalikan kembali wibawaku. Dicky merogoh ke dalam tasnya dan mengulurkan air minum. aku mengangkat tangan dan menggeleng sebagai jawaban bahwa aku baik-baik saja.

“Tapi, barusan-“

“Ya, aku yakin Anda memperhatikan kami dari tadi. Dia juga pacarku, namanya Rini dan yang sedang kutunggu juga pacarku, namanya Zahra.”

“Maksudmu-“

Dia tertawa, menyela ucapanku. “Anda tidak perlu mengerutkan kening seperti itu. Kami sama-sama tahu kami masih “anak-anak”?” Dia membuat tanda kutip di udara. Ia mengambil sapu tangan biru putih dari saku celana abu-abunya dan mengusap dahinya yang berkeringat.

Aku bingung. Aku tidak mengerti jalan pikiran anak-anak ini. Bagaimana mereka menjalin hubungan yang mereka sendiri tahu bahwa hubungan itu hanya sebatas cinta monyet dan ... abal-abal?

“Seperti yang Anda dengar—jika Anda memang mendengarkan—aku ragu bahwa Rini akan setia padaku. Setiap kali kami bersama, aku selalu memergokinya sedang chatting dengan seseorang lelaki bernama Lanang. Dan aku seratus persen yakin dia kebali untuk bertemu dengan lelaki bodoh itu.” Dicky mengucapkannya dengan santai sambil memasukkan kembali sapu tangannya ke dalam celana.

Bus jurusan Kota Kediri yang tadi masih sibuk mencari penumpang, kini sudah terisi penuh dan mulai bergerak meninggalkan terminal. Aku melihat kondektur tadi menggait pegangan pintu sambil mengusap dahi dengan handuk kecilnya. Bus itu, adakah salah satu dari mereka akan membawa Ninisku turun?

“Kalau Zahra ...,” Dicky meneruskan. “Dia sepertinya gadis baik, dia berhijab dan dia selalu menjadi tempat curhatku tentang Rini. Hingga akhirnya, kami sama-sama tahu bahwa kami saling suka. Aku tidak tahu apakah ini hanya perasaan sesaat. Aku emmang hanya mengenalnya lewat media sosial, tapi bagiku dia segalanya. Bahkan, melebihi Rini.”

Aku terbatuk lagi. Berdeham berkali-kali. Aku seperti sedang tertangkap basah. Bedanya, aku tak memiliki sosok “Rini” sepertinya. Ninis adalah satu-satunya.

            Awan tiba-tiba bergerak mendung. Aku baru sadar bahwa dari tadi aku belum menanggapi ceritanya. Sebagai lealki dewasa berumur 30 tahun, reaksi apa yang harus kuberikan?

“Kalau Anda? Sedang menunggu siapa?”

Uh! Akhirnya aku kena juga. Ini pertanyaan yang ingin kuhindari. Bagaimana aku menjawabnya? Apakah aku harus berterus terang bahwa aku adalah laki-laki asing yang kebetulan memiliki cerita yang hampir mirip dengannya? Lelaki asing yang selama tujuh tahun terakhir tidak berhubungan dengan seorang wanita pun, lalu kemudian duduk di terminal ini untuk menunggu pacar dunia maya? Lelaki dewasa mana yang akan melakukannya?

 “Emm ...”

“Anda tidak perlu menjawabnya jika tidak ingin. Aku rasa dia privasi, kan?” Dia mengedipkan matanya padaku. Aku tersenyum kikuk. “Oiya, nama Anda siapa? Aku Dicky, kalau Anda sudah mendengar tadi.” Dicky mengulurkan tangannya dan langsung kuraih dengan tangan kanan.

“Aku Erfan,” jawabku singkat.

Suara guntur langsung menggelegar. Aku memandang langit yang sangat kusam. Berkali-kali kulirik telepon genggam, berharap ada pesan masuk dari Ninis. Dan benar saja, ada pesan masuk darinya lewat media sosial.

Hai, Erfan! Kau masih menungguku, kan? Tunggu, ya! Aku akan sampai sekitar satu jam lagi.’

Begitulah isi pesan yang ia kirimkan. Aku tersenyum. Jantungku berdebar, tidak sabar melihatnya. Kuusap lembut layar ponsel sentuhku. Mengusap wajahnya yang terpampang manis dalam foto profilnya. Wajah yang selalu kurindukan sebelum tidur. Wajah yang selalu ingin kutemui.

 “Zahra begitu perhatian padaku.” Aku menoleh dan langsung memasukkan telepon genggamku ke dalam saku. Hujan perlahan turun dan memenuhi hidungku dengan aroma tanah yang basah. “Dia peduli dengan segala cerita dan sakit hatiku atas perlakuan Rini. Dia selalu menanyakan apakah aku sudah makan atau belum, apakah pendidikanku lancar di sekolah atau tidak, dia melakukan semuanya untukku. Untuk membalas semuanya, aku pun mengirimkan hadiah-hadiah sebagai kejutan sekaligus untuk menyampaikan rasa terima kasihku padanya.”

Aku mengangguk lagi. Oke, untuk beberapa jam ke depan aku akan dipenuhi dengan cerita-ceritanya tentang Zahra. Aku terpekur. Merenungi kembali masa-masa perkenalanku dengan Ninis. Awalnya, kami tidak pernah saling menyapa, kami hanya saling melempar “suka” saat masing-masing dari kami membuat status di media sosial. “Suka” itu kemudian berkembang menjadi keberanian untuk saling melempar komentar. Setelah bergulat dengan perasaan nyaman yang berkembang setiap kali bercanda dengannya lewat kolom komentar, jemariku kemudian dengan lancang memanduku memencet tombol pesan untuknya.

Berhari-hari aku kecanduan untuk berkirim pesan dengannya, bahkan aku sampai mengabaikan tugas kantorku hanya karena tidak berselra bekerja jika ia belum membalas pesan dariku. Aku juga tidak tahu alasan aku bersikap seperti itu. Hubungan kami kemudian berkembang dengan manis. Kami saling bertukar foto dan juga informasi mengenai keluarga masing-masing. Dari situ aku tahu bahwa dia adalah seorang wanita yang tengah menempuh pendidikan S1 di sebuah universitas negeri di Lamongan.

Dia adalah wanita yang cerdas. Ketika bercakap dengannya, aku bisa dengan jelas merasa bahwa aku tidak bisa meremehkannya. Pengetahuan dan caranya memberi saran pada masalah-masalah yang kuceritakan padanya, menyihirku. Aku tak sadarkan diri dalam buaian kata-katanya selama berhari-hari setelahnya. Hingga saat ini, sihirnya masih menempel kuat dalam kepala. Sihir yang memabukkan.

“Ketika Rini asyik berhubungan dengan lelaki itu, aku pun tidak ingin membiarkannya merasa dibutuhkan dengan membalasnya. Akhirnya, aku dan Zahra memutuskan untuk berpacaran, walaupun dia tahu aku masih memiliki hubungan dengan Rini, tapi ia tak pernah mempermasalahkannya.” Dicky merapatkan jaketnya ketika angin bertiup semakin kuat ke arah kami. Aku menggosok-gosokkan kedua tangan untuk menghangatkan badan.

Aku menatap Dicky dengan bahu terangkat. “Setelah mendengar ceritamu, mengapa kau dan Rini tidak putus saja? Sepertinya kalian saling mengkhianati. Tidak ada artinya lagi kalian mempertahankan hubungan kalian dan bersandiwara satu sama lain seolah-olah kalian adalah sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta,” ucapku akhirnya. Aku sedikit menggulung celana kain hitam yang kupakai hingga ke lutut. Bisa kurasakan bulu kakiku berdiri karena kedinginan. Air hujan sedikit membuat celanaku basah.

Aku mendengar embusan napas Dicky yang sedang tersenyum. “Ya, Anda benar. Tapi kami memutuskan—walaupun tanpa kesepakatan—bahwa kami akan menjalani ini. Kami tahu kami sudah tidak saling menyukai, tapi kami tidak bisa berpisah satu sama lain. Mungkin karena kami sudah terbiasa bersama.”

“Ya, kalau kalian sudah sama-sama tahu ...,” kata-kataku menggantung dan kubiarkan begitu saja. Aku tahu Dicky sudah mengerti apa yang coba kusampaikan padanya.

“Tapi, berbeda dengan Rini, aku berniat untuk melanjutkan hubunganku dengan Zahra ke jenjang yang lebih serius. Ya, setelah aku lulus SMA dan setelah Zahra lulus kuliah-“

“Tunggu-tunggu,” aku mengerutkan kening. “Zahra tadi, sudah kuliah dan kau ...?”

Dicky tertawa pelan. “Sudah kubilang hubungan kami aneh. Bagaimana lagi jika hati sudah berkata bahwa aku merasa nyaman dengannya. Sekalipun dia lebih tua dariku, itu tak mengurungkan niatku untuk menikahinya.”

Aku tersedak dalam diam. Anak SMA sepertinya sudah memikirkan soal menikah. Ketika dulu aku seumuran dengannya yang kupikirkan adalah cara mendapatkan pekerjaan. Apakah zaman sudah berubah sedrastis ini? Aku bahkan tidak yakin dia sudah memikirkan pekerjaan yang akan dilakoninya ketika lulus nanti. Mau diberi makan apa keluarganya kalau dia jadi menikah?

“Eh ... kurasa itu terlalu jauh, kau tahu ... itu ... seperti uang ... atau ....” Aku mencoba mencari kata-kata yang pas untuk menyampaikan maksud ucapanku, tapi tidak berhasil.

“Yah, untuk pekerjaan, mungkin aku akan bekerja jadi kondektur atau-”

“Harusya harapanmu lebih tinggi dari itu, kan? Maksudku, kau masih SMA, masa depanmu masih panjang. Harusnya kau bermimpi menjadi presiden atau ... astronot ... atau yah, kau tahu, guru setidaknya?” Dicky tertawa lagi. Kali ini aku tidak tahu apa yang sedang ditertawakannya.

“Kurasa berat juga mau menjadi seorang suami.”

Kami diam beberapa saat. Aku tidak tahu alasannya diam, tapi aku emmang tidak tahu bagaimana harus meneruskan percakapan aneh kami. Kami dua orang yang tidak saling mengenal, kebetulan bertemu di terminal dan sedang menunggu seseorang. Aku menunggu Ninis dan dia menunggu Zahra. Ah, mengapa kami seperti laki-laki bodoh yang mengharapkan dan menunggu cinta dari perkenalan di media sosial?

“Dia belum datang? Sudah satu jam kau di sini menunggu bersamaku. Jam berapa dia datang?” tanyaku akhirnya untuk memecah keheningan di antara kami.

Dicky melihat jam tangannya. “Jam empat.” Aku mengangguk. Dan kebetulan kami menunggu gadis yang sama-sama datang pukul empat sore? Aku akan mencoba peruntungan yang lain, barangkali aku dan dia memiliki golongan darah yang sama atau semacamnya.

“Dia berasal darimana? Si Zahra itu?”

Dicky seperti mencoba mengingat. “Dari Lamongan,” jawabnya singkat. Oke, mungkin Zahra dan Ninis berada dalam bis yang sama?

Aku menggosok-gosokkan tanganku. Tak juga ingin memberitahukan padnaya bahwa wanita yang kutunggu mungkin berada dalam bus yang sama dengan Zahranya. Kami menunggu dalam diam dan dingin hingga tiga puluh menit berikutnya. Aku mulai berdiri, menatap bus-bus yang datang dengan tulisan “LAMONGAN-MALANG”. Aku berharap Ninis berada dalam salah satu bus itu. Aku merogoh ponsel. Sudah pukul empat tepat.

Mengapa Ninis belum juga menghubungiku? Dicky ikut berdiri, dia melakukan hal yang sama denganku: menengok dan mencari-cari.

“Apa Zahra sudah ketemu?” Dicky menggeleng sebagai jawabannya sedangkan matanya tak pernah lepas dari kerumunan orang-orang yang baru keluar dari dalam bus. Aku mengangguk mengerti.

Kucoba menelepon Ninis, tapi nomor teleponnya tidak aktif. Kemana dia? Apakah terjadi sesuatu padanya? Tidak-tidak, aku tidak boleh berpikiran seperti itu. Aku yakin dia baik-baik saja dan mungkin saja dia sedang dalam perjalanan ke sini dan telepon genggamnya mati karena baterainya habis. Ya, ya, mungkin saja itu terjadi.

Setengah lima. Aku mulai gusar. Ninis belum juga kelihatan dan dia juga tak meneleponku. Bajuku sudah basah kuyub diguyur hujan karena mencoba menerobos untuk mencari sosoknya.

“Belum ketemu?” Dicky ganti bertanya padaku dan aku menggeleng sebagai jawabannya.

“Kau?” Dicky juga menggeleng. Kami duduk di tempat semula dengan perasaan gusar yang tak bisa lagi disembunyikan.

Dua jam berlalu dan hari telah beranjak malam. Aku masih belum menemukan Ninis dan Dicky juga belum menemukan Zahranya. Apakah bus yang kebetulan mengangkut Ninis dan Zahra mengalami kecelakaan? Tidak, jika itu terjadi pasti berita di televisi sudah ramai memberitakannya. Aku menggigit bibir. Rasa gugupku sudah hilang dan berganti dengan rasa cemas.

Sudah empat jam. Ninis belum muncul juga. Dicky masih sibuk menerobos kerumunan sambil menggenggam telepon genggamnya. Mungkin mencoba mencari wajah yang cocok dengan foto di telepon genggamnya. Aku menurunkan kembali celana yang tadi kulipat. Hujan telah berhenti. Begitu juga dengan harapan yang perlahan menguap dari hatiku. Meskipun begitu, aku tidak ingin begitu saja menyerah untuk menemukan Ninis. Aku percaya dia ada di sini, mungkin sudah sampai dan menungguku. Mungkin dia sedang mencoba mencari colokan listrik untuk baterai telepon genggamnya yang habis. Ya, mungkin saja itu terjadi.

Aku berdiri di samping Dicky yang tak dapat lagi menyembunyikan matanya yang berembun. Ia sudah ingin menangis. Aku tidak tega melihatnya seperti itu.

“Coba lihat fotonya, akan kubantu carikan,” putusku. Aku tak bisa membiarkannya menangis setelah ini. Dicky menoleh ke arahku dengan mata yang sedikit cerah. Dia menyerahkan ponsel dengan foto seorang perempuan yang terpampang jelas di sana.

Aku tercekat. Napasku memburu tiba-tiba dan kepalaku mendadak pening. Berulangkali kucoba mengucek mataku, tapi foto di telepon genggam itu tak berubah. Mungkin akan salah pencet foto profil orang. Aku mencoba menggeser foto foto dalam galeri itu dan menjadi semakin lemas.

Aku mempererat genggamanku dengan perasaan yang seperti hancur. Bahkan, aku bisa mendengar dengan jelas suara kepingan pecahannya.

“Pak? Anda tidak apa-apa?” Dicky mencoba mengguncangkan bahuku. Tapi aku tetap tak bergeming. Mataku lekat menatap sosok itu.

“Dik ...”

“Ya?” sahutnya cepat.

“Ayo pulang,” kataku dan tanpa basa-basi lagi menariknya menjauh dari bus-bus dan para penumpangnya yang berdesakan. Dicky mengerutkan kening tidak mengerti, tapi dia hanya diam dan menuruti langkahku. Dia seolah telah kehilangan harapannya. Aku tidak tega mengatakan padanya untuk saat ini, mungkin nanti jika kepingan dalam hatiku pun telah utuh kembali. Ya, nanti. Tidak tahu kapan pastinya itu terjadi.

Kakiku lemas, tapi masih terus berjalan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang lagi. Ya, mungkin aku tidak ingin menoleh pada harapan yang sia-sia. Tentang kesalahan dan hal bodoh yang telah kulakukan. Menyia-nyiakan hormon bahagiaku untuk sebuah kepalsuan. Seharusnya aku sudah cukup dewasa untuk ini, bahwa cintaku—dan cinta Dicky—mungkin hanya sebatas dunia maya. Zahra atau Ninis, mungkin keduanya dari awal memang tak pernah ada. Kami berdua, dua orang asing yang kebetulan bertemu, menunggu satu perempuan yang berhasil membodohi kami dengan cinta yang palsu.
***

Dasai! Yah, aku tidak pandai memberi judul hehe. Waktu itu sepertinya aku terburu-buru memberi judul hingga hasil akhirnya sudah nampak terlihat buruknya. Bukan hanya judul, sepertinya aku juga mengerjakan cerpen ini asal-asalan. Kali ini agak lebih baru, cerpen ini sepertinya kutulis pada tahun 2016-an di Yogyakarta. Iya, kota Gudeg itu <3
Mungkin saking penginnya aku ikut lomba dengan DL mepet. Biasa, DL-ers macam aku ini suka langsung asal ketik aja yang penting jadi hehe tanpa mempertimbangkan kualitas. Eits, tidak dalam semua hal tapi ya!

Semoga kalian menikmati cerpen-cerpenku ya ^^

No comments:

Post a Comment

Postingan Terbaru

2+5=7

Bel, mungkin di hari ini tepat 25 tahun lalu, langit sedang cerah, hujan batal turun, dan awan enggan bergumul. Sebab, hari itu ada suara ta...

Postingan Populer