Saturday, 19 May 2018

[Cerita Pendek] Tiga Permintaan


Aku bersikukuh, berputar-putar di dalam Pasar Loak. Pengab tak kuhiraukan, sedang keringat terus bercucuran membasahi pakaian. Mataku tajam melirik kesana-kemari, bertanya pada semua penjual yang kutemui. Kebanyakan dari mereka yang mendengar barang yang kucari, mengerutkan kening, sebagian lainnya tak menggubris. Aneh memang. Barang yang kucari bukan barang yang umum, tapi juga tidak langka. Meski begitu, sulit sekali menemukannya.

“Maaf, Pak? Ada teko yang berbentuk seperti ini?” Aku mengangangkat kertas lecek dan kotor yang seharian ini berada di genggaman. Menemaniku menjelajahi pasar-pasar di kota ini.


Yang ditanya mengangkat wajah. Memperhatikan gambarku saksama. Aku meneguk ludah, menghadiahi tenggorokan kering yang tak mampu kusuapi air. Beberapa orang terlihat mendekat, menilik barang di lapak ini. Deru mesin sepeda motor dan mobil yang menggerus pendengaran, coba kuacuhkan. Tujuanku satu, menemukan teko yang mirip atau sejenis itu.

“Hmm,” Penjual yang memiliki kumis lebat dan berwarna putih itu menggumam. Biasanya penjual lain akan langsung menggeleng, tapi kuharap kali ini tidak. Ini lapak terakhir di pasar kelima yang kudatangi, sedangkan senja sudah bertakhta.

“Bagaimana, Pak?” tanyaku, harap-harap cemas.

Pikiranku berkelana pada gadis kecil yang merupakan putri semata wayangku. Harapanku timbul kembali acap kali membayangkan senyum lugunya, sekaligus luruh dalam satu waktu yang sama mengingat keadaannya saat ini. Penjual itu masih tidak berkutik, seperti menimang-nimang sesuatu.

“Maafkan saya sebelumnya, apakah Bapak menjual benda seperti itu?” Aku bertanya ragu. Penjual itu menoleh, “tapi sekalipun ada, saya tidak punya cukup banyak uang untuk membelinya, di kantong saya hanya ada dua puluh ribu, biarlah saya pikirkan nanti harus pulang dengan apa.”

“Dua puluh ribu?” Penjual itu mengerutkan kening, reaksi yang sudah kutebak.

“Anak saya sakit, Pak,” Penjual itu terlihat meluruskan kakinya yang sempat ditekuk, melirik sebentar pada pelanggan yang datang melihat-lihat lapaknya, dan kembali menatapku, “saya tidak tahu sampai kapan—“ tenggorokanku yang sudah kering, tercekat. Aku menghentikan kalimat, sebelum air mata mengambil alih kedipanku.

Setelah menetralkan kembali perasaan, aku menceritakan pada penjual itu mengenai Lana, putri kecilku yang telah ditinggal mati ibunya, istriku. Ketika istriku melahirkan Lana, ia terkena Komplikasi Perinatal akibat pendarahan yang hebat, gizi yang rendah, dan hal-hal lain yang sudah tak kuingat lagi. Hanya itu yang sempat termaktub di telinga ketika dokter menceritakan diagnosanya padaku. Setelah itu, telingaku berdenging dan aku hanya bisa menangis, menciumi pipi bayi kecil yang dilahirkannya.

Kuceritakan pula mengenai Lana yang kubesarkan dengan gaji sebagai buruh serabutan yang pas-pasan, Lana yang saat ini masih berusia enam tahun dan dua minggu lalu terserang penyakit yang mirip Malaria, hingga dokter menvonisnya terkena penyakit Ebola. Kutangkupkan kedua telapak tangan pada muka.

“Saya tidak tahu lagi harus bagaimana, apakah saya terlalu buruk dalam menjaga mereka? Dua orang yang sangat saya cintai itu, sampai-sampai mereka mengalami nasib seperti itu,” Kulepaskan semua kalimat yang mengganjal dalam hati akhir-akhir ini. Aku juga tidak mengerti alasan mengatakan semua itu pada penjual yang bahkan baru pertama kali kutemui.

“Takdir itu sudah ada yang ngatur, Le[1], kamu sudah berusaha. Ya... Bapak juga tidak tahu bagaimana, tapi Bapak tahu itu bukan kesalahanmu.” Penjual yang kira-kira berusia setengah abad itu berbicara sambil merapikan dagangannya yang sedikit berantakan karena pelanggan yang baru saja melihat-lihat tanpa membeli.

Lampu-lampu penerang jalan mulai menyala dan lapak-lapak di pasar ini mulai terlihat ditutup oleh para pemiliknya. Aku masih merenungi perkataan Bapak itu sambil sesekali mengalihkan pandang ke jalanan untuk mengusir air mata yang akan tumpah. Bapak itu terlihat merogoh ke dalam tas lusuhnya, detik berikutnya, ia sudah mengeluarkan sebuah teko dari dalamnya.

“Sudah, ambil ini, tidak perlu bayar, gunakan saja uangmu untuk biaya rumah sakit anakmu itu.” Aku menatap teko yang disodorkan oleh Bapak itu dengan sangsi. Aku tidak ingin mendapatkannya dengan cuma-cuma karena pasti Bapak itu juga membutuhkan uang untuk diri dan mungkin juga keluarganya. “Biarkan aku bersedekah hari ini, Le,” pintanya kemudian.
***

Kupandangi wajah Lana yang terlelap. Masker yang kupakai sedikit mengganggu pernapasan, tapi terpaksa kupakai karena Ebola merupakan jenis penyakit yang mudah menular melalui kontak langsung. Teko berwarna kuning kecoklatan, sudah tergenggam di tangan yang juga diselimuti sarung pelindung. Benda yang sangat diinginkan Lana sejak kuceritakan padanya tentang Aladdin, tokoh dari cerita seribu satu malam. Teringat kembali saat mata Lana berbinar, menginginkan teko yang sama seperti dalam cerita, dan berharap bahwa jin yang dapat mengabulkan tiga permohonan itu benar-benar ada.

Sejak kejadian istriku, Laras, yang mengalami Komplikasi Perinatal dan berujung pada kematiannya, aku sangat membenci rumah sakit, tapi sekarang justru harus kusyukuri karena di sinilah Lana dirawat untuk mempertahankan hidupnya.  
***

“Gosok tekonya, nanti akan keluar jin!” Perintahku pada Lana, ia tertawa.

“Benarkah, Yah?” Lana buru-buru menggosok teko itu. Aku mengeluarkan suara seperti mesin dan meloncat, berpura-pura baru keluar dari dalam teko. Lana tergelak.

“Memenuhi panggilanmu, Nona. Ucapkan tiga permintaan Anda dan saya siap mengabulkannya,” ucapku sambil membungkukkan badan.

Lana tertawa lagi, “Benarkah Ayah akan mengabulkan tiga permintaanku?”

“Tentu, Nona,”

Lana bersorak, detik berikutnya ia sibuk memikirkan permohonan pertamanya. Aku memandangnya dengan mata kabur, berkaca-kaca. Lana, gadis sekecil ini, buah hatiku ini, mengapa harus mengalami semua ini? Puluhan suntikan menancap ke tubuhnya, alat-alat asing, dan segala pelindung agar penyakitnya tak menular. Aku tidak tahu sesakit apa, tapi ulu hatiku nyeri tiap kali melihat tubuh kecilnya ditusuk jarum-jarum itu. Hatiku remuk tiap kali mendengar tangisnya, mengusap air matanya. Seandainya, aku lebih bisa menjaganya, hingga ia tidak perlu mengalami semua ini, harusnya dia berlarian di luar bersama teman sebayanya. Seharusnya.

“Ayah, permohonan pertama, aku ingin terbang dengan karpet terbang seperti Aladdin dan Yasmin!” serunya. Aku menimang-nimang sejenak.

“Siap, laksanakan, Nona,” Kubuka lipatan selimut di ranjang, kubaringkan Lana di atas selimut yang kulipat sedikit lebar. Kupegang erat bagian atas dan bawah selimut dan kuangkat perlahan agar infus Lana tidak terlepas. Lana tergelak. Kuayunkan lagi ke atas dan ke bawah dengan hati-hati, menjaganya agar tidak terjatuh.

Lana menatapku dengan tawa yang selalu kurindukan. Tanpa sadar, air mataku menetes tanpa sanggup terbendung lagi. Tepat di pipinya.

“Ayah? Kenapa Ayah menangis?” Kuturunkan Lana pelan-pelan, lalu kuusap air mataku dengan lengan baju. “Ayah, maafin Lana, apa Ayah capek? Tangan Ayah ada yang sakit? Lana berat, ya?” Lana terus menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan lugunya. Membuat air mataku semakin tak terbendung.

Tidak, Lana malah semakin ringan, ucapku dalam hati. Ya Allah, adakah sakitnya untukku saja? Biar deritanya untukku, biar rasa lelahnya untukku, biar seluruh durjanya untukku seorang, jangan dia.

“Ayah—“ Lana terbatuk. Darah keluar dari mulutnya.

“Lana?!” Buru-buru kuambil beberapa helai tisu sekaligus untuk menampung darahnya. “Suster! Suster!”
***

“Sebelumnya, aku minta maaf, Nang, sampai saat ini belum ada obat untuk penyakit Ebola. Kami hanya bisa mengusahakan agar Lana bisa bertahan beberapa hari—“

“Faris!” Aku menggebrak meja. Dokter muda itu tersentak. Kutatap nanar mata Faris, teman lama yang juga sekaligus dokter yang merawat Lana, hingga akhirnya aku sadar akan perbuatanku. “Maafkan aku...” Aku kembali duduk, mengumpat diri yang sempat tak terkendali hingga membentak orang yang justru berusaha menyelamatkan Lana. Faris dengan ikhlas mengorbankan uang dan jasanya demi Lana dan aku justru membentaknya. Bodohnya aku.

“Tenangkan dirimu dulu, Nang, maafkan aku karena hanya ini yang bisa kuperbuat untuk Lana,” Aku menggeleng pelan, tentu ini semua bukan kesalahannya dan ia tak perlu minta maaf.

“Be-berapa hari...?” Tubuhku melemas tepat setelah terdengar dia menjawab empat hari.
***

“Lana, apa permintaanmu yang kedua?” Kulempar tanya tepat setelah Lana terbangun. Aku tidak ingin membuang-buang waktu, biar kupenuhi semua inginnya sebisaku. Dan aku berharap, ia tak menyadari mataku yang sembab karena menangis dalam sujud panjang.

“Ayah gak sakit? Kalau Lana minta lagi, Ayah gak akan nangis lagi, kan?” Lana meraih jemariku yang dibungkus pelindung, menggenggam dengan jemari kecilnya. Aku menggeleng.

“Tidak akan.”

“Baiklah, yang kedua, aku ingin Ayah...” Lana menggantungkan kalimatnya, “maafin Lana. Lana sering nakal, buat Ayah kesal, maafin Lana. Lana janji Lana gak akan nakal lagi, Lana sudah berdoa sama Allah biar Ayah gak sedih lagi, biar Lana bisa terus sama Ayah.”

Aku memeluk Lana. Erat. Air mata tumpah lagi, tapi tak kubiarkan dia tahu.

“Ayah mau kan maafin Lana?”

Aku mengangguk. Tanpa suara. Ada nyeri. Ada rasa sakit yang entah bagaimana merajai batinku. Sakit sekali. Aku mengusap rambut panjang Lana sambil terus menyembunyikan tangisan. Aku juga berharap begitu, untuk bisa terus bersamamu, Lana, lirihku dalam batin. Pondasiku terkoyak sudah, padahal baru saja kutumpahkan air mata bersama segala doa pada Tuhan, kini tumpah lagi karena gadis kecilku ini. Ia begitu polos. Begitu kecil untuk merasakan semua rasa sakitnya. Seandainya saja Tuhan juga memberiku permintaan, bukan tiga, cukup satu, biar kuminta segala derita Lana untukku saja agar dia bisa tertawa tanpa mengkhawatirkan apapun, bersenang-senang tanpa merasakan lara apapun. Seandainya, Tuhan. Hanya satu permintaan saja dan aku takkan meminta apapun lagi selamanya.
***

Sudah berselang empat hari sejak diagnosa Faris. Aku menunggu dalam gamang. Berharap bahwa akan ada satu keajaiban untukku, untuk Lana. Satu keajaiban yang kuminta di setiap sujud, dalam doa yang kurapal setiap detik. Dalam senyap dan malam, tak kuizinkan diri terlelap tanpa berdzikir, tanpa meminta pada-Nya segala hal yang mampu kuminta dari-Nya.

Lana terbatuk, ia mengeluarkan darah lagi dari mulutnya, aku gagu, hanya mampu dengan kalut memanggil Faris dan menenangkan Lana. Hal terbaik yang bisa kulakukan untuknya selain berdoa untuk kesembuhannya. Ia masuk ke dalam fase kritis, Faris dan perawat lainnya berusaha menolong Lana dengan segala peralatan yang asing di pengetahuanku. Yang kutahu hanya berdoa, berharap waktu empat hari itu bertambah, berharap masih ada banyak waktu untukku membahagiakan Lana. Berharap dan terus berharap tanpa lelah.

Hingga Faris menoleh padaku yang berdiri kaku dengan lidah kelu. Bibirku terkatup rapat dengan jemari yang saling bersilangan. Lana membuka matanya, sayu, seakan ada ribuan saraf yang memaksanya tertutup. Aku mendekat. Bola mata Lana bergerak ke arahku.

“A... yah?”

“Ya, Lana, Ayah di sini, Lana harus kuat, Lana bisa melewati semua ini, kan?”

“Yang... ke... tiga...,” Dadaku terasa nyeri.

“Ya, Lana, apa permintaanmu yang ketiga?” Butir bening menetes dari mata Lana, buru-buru kuseka, “Jangan tergesa-gesa, Lana, Lana bisa minta saat sudah sembuh,” Kugenggam jemrinya, matanya semakin sayu, hampir menutup, bulir bening mendobrak keluar dari mataku.

“Jangan... me... nangis... lagi.” Kemudian suara nyaring terdengar seiring dengan mata Lana yang mengatup. Rapat. Seolah enggan untuk terbuka kembali, menyisakan sesak di dada dan tangisan yang tak terbendung. Sulit, permintaannya sangat sulit kukabulkan. ***
Yogyakarta, 17 Mei 2016

Saking lamanya, aku sampai lupa bahwa aku pernah menulis cerita seperti ini. Hmm, kalau dibaca ulang kok nyesek sendiri ya. wkwk. 





[1] Bahasa Jawa: panggilan untuk anak laki-laki

No comments:

Post a Comment

Postingan Terbaru

2+5=7

Bel, mungkin di hari ini tepat 25 tahun lalu, langit sedang cerah, hujan batal turun, dan awan enggan bergumul. Sebab, hari itu ada suara ta...

Postingan Populer