Aku
bersikukuh, berputar-putar di dalam Pasar Loak. Pengab tak kuhiraukan, sedang
keringat terus bercucuran membasahi pakaian. Mataku tajam melirik
kesana-kemari, bertanya pada semua penjual yang kutemui. Kebanyakan dari mereka
yang mendengar barang yang kucari, mengerutkan kening, sebagian lainnya tak
menggubris. Aneh memang. Barang yang kucari bukan barang yang umum, tapi juga
tidak langka. Meski begitu, sulit sekali menemukannya.
“Maaf,
Pak? Ada teko yang berbentuk seperti ini?” Aku mengangangkat kertas lecek dan
kotor yang seharian ini berada di genggaman. Menemaniku menjelajahi pasar-pasar
di kota ini.
Yang
ditanya mengangkat wajah. Memperhatikan gambarku saksama. Aku meneguk ludah,
menghadiahi tenggorokan kering yang tak mampu kusuapi air. Beberapa orang
terlihat mendekat, menilik barang di lapak ini. Deru mesin sepeda motor dan
mobil yang menggerus pendengaran, coba kuacuhkan. Tujuanku satu, menemukan teko
yang mirip atau sejenis itu.
“Hmm,”
Penjual yang memiliki kumis lebat dan berwarna putih itu menggumam. Biasanya
penjual lain akan langsung menggeleng, tapi kuharap kali ini tidak. Ini lapak
terakhir di pasar kelima yang kudatangi, sedangkan senja sudah bertakhta.
“Bagaimana,
Pak?” tanyaku, harap-harap cemas.
Pikiranku
berkelana pada gadis kecil yang merupakan putri semata wayangku. Harapanku
timbul kembali acap kali membayangkan senyum lugunya, sekaligus luruh dalam
satu waktu yang sama mengingat keadaannya saat ini. Penjual itu masih tidak
berkutik, seperti menimang-nimang sesuatu.
“Maafkan
saya sebelumnya, apakah Bapak menjual benda seperti itu?” Aku bertanya ragu.
Penjual itu menoleh, “tapi sekalipun ada, saya tidak punya cukup banyak uang
untuk membelinya, di kantong saya hanya ada dua puluh ribu, biarlah saya
pikirkan nanti harus pulang dengan apa.”
“Dua
puluh ribu?” Penjual itu mengerutkan kening, reaksi yang sudah kutebak.
“Anak
saya sakit, Pak,” Penjual itu terlihat meluruskan kakinya yang sempat ditekuk,
melirik sebentar pada pelanggan yang datang melihat-lihat lapaknya, dan kembali
menatapku, “saya tidak tahu sampai kapan—“ tenggorokanku yang sudah kering,
tercekat. Aku menghentikan kalimat, sebelum air mata mengambil alih kedipanku.
Setelah
menetralkan kembali perasaan, aku menceritakan pada penjual itu mengenai Lana,
putri kecilku yang telah ditinggal mati ibunya, istriku. Ketika istriku
melahirkan Lana, ia terkena Komplikasi Perinatal akibat pendarahan yang hebat,
gizi yang rendah, dan hal-hal lain yang sudah tak kuingat lagi. Hanya itu yang
sempat termaktub di telinga ketika dokter menceritakan diagnosanya padaku.
Setelah itu, telingaku berdenging dan aku hanya bisa menangis, menciumi pipi
bayi kecil yang dilahirkannya.
Kuceritakan
pula mengenai Lana yang kubesarkan dengan gaji sebagai buruh serabutan yang pas-pasan,
Lana yang saat ini masih berusia enam tahun dan dua minggu lalu terserang penyakit
yang mirip Malaria, hingga dokter menvonisnya terkena penyakit Ebola.
Kutangkupkan kedua telapak tangan pada muka.
“Saya
tidak tahu lagi harus bagaimana, apakah saya terlalu buruk dalam menjaga
mereka? Dua orang yang sangat saya cintai itu, sampai-sampai mereka mengalami
nasib seperti itu,” Kulepaskan semua kalimat yang mengganjal dalam hati
akhir-akhir ini. Aku juga tidak mengerti alasan mengatakan semua itu pada penjual
yang bahkan baru pertama kali kutemui.
“Takdir
itu sudah ada yang ngatur, Le[1],
kamu sudah berusaha. Ya... Bapak juga tidak tahu bagaimana, tapi Bapak tahu itu
bukan kesalahanmu.” Penjual yang kira-kira berusia setengah abad itu berbicara
sambil merapikan dagangannya yang sedikit berantakan karena pelanggan yang baru
saja melihat-lihat tanpa membeli.
Lampu-lampu
penerang jalan mulai menyala dan lapak-lapak di pasar ini mulai terlihat
ditutup oleh para pemiliknya. Aku masih merenungi perkataan Bapak itu sambil
sesekali mengalihkan pandang ke jalanan untuk mengusir air mata yang akan
tumpah. Bapak itu terlihat merogoh ke dalam tas lusuhnya, detik berikutnya, ia
sudah mengeluarkan sebuah teko dari dalamnya.
“Sudah,
ambil ini, tidak perlu bayar, gunakan saja uangmu untuk biaya rumah sakit
anakmu itu.” Aku menatap teko yang disodorkan oleh Bapak itu dengan sangsi. Aku
tidak ingin mendapatkannya dengan cuma-cuma karena pasti Bapak itu juga
membutuhkan uang untuk diri dan mungkin juga keluarganya. “Biarkan aku
bersedekah hari ini, Le,” pintanya
kemudian.
***
Kupandangi
wajah Lana yang terlelap. Masker yang kupakai sedikit mengganggu pernapasan,
tapi terpaksa kupakai karena Ebola merupakan jenis penyakit yang mudah menular
melalui kontak langsung. Teko berwarna kuning kecoklatan, sudah tergenggam di
tangan yang juga diselimuti sarung pelindung. Benda yang sangat diinginkan Lana
sejak kuceritakan padanya tentang Aladdin, tokoh dari cerita seribu satu malam.
Teringat kembali saat mata Lana berbinar, menginginkan teko yang sama seperti
dalam cerita, dan berharap bahwa jin yang dapat mengabulkan tiga permohonan itu
benar-benar ada.
Sejak
kejadian istriku, Laras, yang mengalami Komplikasi Perinatal dan berujung pada
kematiannya, aku sangat membenci rumah sakit, tapi sekarang justru harus
kusyukuri karena di sinilah Lana dirawat untuk mempertahankan hidupnya.
***
“Gosok
tekonya, nanti akan keluar jin!” Perintahku pada Lana, ia tertawa.
“Benarkah,
Yah?” Lana buru-buru menggosok teko itu. Aku mengeluarkan suara seperti mesin
dan meloncat, berpura-pura baru keluar dari dalam teko. Lana tergelak.
“Memenuhi
panggilanmu, Nona. Ucapkan tiga permintaan Anda dan saya siap mengabulkannya,”
ucapku sambil membungkukkan badan.
Lana
tertawa lagi, “Benarkah Ayah akan mengabulkan tiga permintaanku?”
“Tentu,
Nona,”
Lana
bersorak, detik berikutnya ia sibuk memikirkan permohonan pertamanya. Aku
memandangnya dengan mata kabur, berkaca-kaca. Lana, gadis sekecil ini, buah
hatiku ini, mengapa harus mengalami semua ini? Puluhan suntikan menancap ke
tubuhnya, alat-alat asing, dan segala pelindung agar penyakitnya tak menular.
Aku tidak tahu sesakit apa, tapi ulu hatiku nyeri tiap kali melihat tubuh
kecilnya ditusuk jarum-jarum itu. Hatiku remuk tiap kali mendengar tangisnya,
mengusap air matanya. Seandainya, aku lebih bisa menjaganya, hingga ia tidak
perlu mengalami semua ini, harusnya dia berlarian di luar bersama teman
sebayanya. Seharusnya.
“Ayah,
permohonan pertama, aku ingin terbang dengan karpet terbang seperti Aladdin dan
Yasmin!” serunya. Aku menimang-nimang sejenak.
“Siap,
laksanakan, Nona,” Kubuka lipatan selimut di ranjang, kubaringkan Lana di atas
selimut yang kulipat sedikit lebar. Kupegang erat bagian atas dan bawah selimut
dan kuangkat perlahan agar infus Lana tidak terlepas. Lana tergelak. Kuayunkan
lagi ke atas dan ke bawah dengan hati-hati, menjaganya agar tidak terjatuh.
Lana
menatapku dengan tawa yang selalu kurindukan. Tanpa sadar, air mataku menetes
tanpa sanggup terbendung lagi. Tepat di pipinya.
“Ayah?
Kenapa Ayah menangis?” Kuturunkan Lana pelan-pelan, lalu kuusap air mataku
dengan lengan baju. “Ayah, maafin
Lana, apa Ayah capek? Tangan Ayah ada yang sakit? Lana berat, ya?” Lana terus
menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan lugunya. Membuat air mataku semakin
tak terbendung.
Tidak, Lana malah semakin ringan, ucapku dalam hati. Ya
Allah, adakah sakitnya untukku saja? Biar deritanya untukku, biar rasa lelahnya
untukku, biar seluruh durjanya untukku seorang, jangan dia.
“Ayah—“
Lana terbatuk. Darah keluar dari mulutnya.
“Lana?!”
Buru-buru kuambil beberapa helai tisu sekaligus untuk menampung darahnya. “Suster!
Suster!”
***
“Sebelumnya,
aku minta maaf, Nang, sampai saat ini belum ada obat untuk penyakit Ebola. Kami
hanya bisa mengusahakan agar Lana bisa bertahan beberapa hari—“
“Faris!”
Aku menggebrak meja. Dokter muda itu tersentak. Kutatap nanar mata Faris, teman
lama yang juga sekaligus dokter yang merawat Lana, hingga akhirnya aku sadar
akan perbuatanku. “Maafkan aku...” Aku kembali duduk, mengumpat diri yang
sempat tak terkendali hingga membentak orang yang justru berusaha menyelamatkan
Lana. Faris dengan ikhlas mengorbankan uang dan jasanya demi Lana dan aku
justru membentaknya. Bodohnya aku.
“Tenangkan
dirimu dulu, Nang, maafkan aku karena hanya ini yang bisa kuperbuat untuk
Lana,” Aku menggeleng pelan, tentu ini semua bukan kesalahannya dan ia tak
perlu minta maaf.
“Be-berapa
hari...?” Tubuhku melemas tepat setelah terdengar dia menjawab empat hari.
***
“Lana,
apa permintaanmu yang kedua?” Kulempar tanya tepat setelah Lana terbangun. Aku
tidak ingin membuang-buang waktu, biar kupenuhi semua inginnya sebisaku. Dan
aku berharap, ia tak menyadari mataku yang sembab karena menangis dalam sujud
panjang.
“Ayah
gak sakit? Kalau Lana minta lagi,
Ayah gak akan nangis lagi, kan?” Lana meraih jemariku yang
dibungkus pelindung, menggenggam dengan jemari kecilnya. Aku menggeleng.
“Tidak
akan.”
“Baiklah,
yang kedua, aku ingin Ayah...” Lana menggantungkan kalimatnya, “maafin Lana. Lana sering nakal, buat
Ayah kesal, maafin Lana. Lana janji
Lana gak akan nakal lagi, Lana sudah
berdoa sama Allah biar Ayah gak sedih
lagi, biar Lana bisa terus sama Ayah.”
Aku
memeluk Lana. Erat. Air mata tumpah lagi, tapi tak kubiarkan dia tahu.
“Ayah
mau kan maafin Lana?”
Aku
mengangguk. Tanpa suara. Ada nyeri. Ada rasa sakit yang entah bagaimana merajai
batinku. Sakit sekali. Aku mengusap rambut panjang Lana sambil terus
menyembunyikan tangisan. Aku juga
berharap begitu, untuk bisa terus bersamamu, Lana, lirihku dalam batin.
Pondasiku terkoyak sudah, padahal baru saja kutumpahkan air mata bersama segala
doa pada Tuhan, kini tumpah lagi karena gadis kecilku ini. Ia begitu polos.
Begitu kecil untuk merasakan semua rasa sakitnya. Seandainya saja Tuhan juga
memberiku permintaan, bukan tiga, cukup satu, biar kuminta segala derita Lana
untukku saja agar dia bisa tertawa tanpa mengkhawatirkan apapun,
bersenang-senang tanpa merasakan lara apapun. Seandainya, Tuhan. Hanya satu
permintaan saja dan aku takkan meminta apapun lagi selamanya.
***
Sudah
berselang empat hari sejak diagnosa Faris. Aku menunggu dalam gamang. Berharap
bahwa akan ada satu keajaiban untukku, untuk Lana. Satu keajaiban yang kuminta di setiap sujud, dalam doa yang kurapal setiap detik. Dalam senyap dan malam,
tak kuizinkan diri terlelap tanpa berdzikir, tanpa meminta pada-Nya segala hal
yang mampu kuminta
dari-Nya.
Lana
terbatuk, ia mengeluarkan darah lagi dari mulutnya, aku gagu, hanya mampu dengan kalut memanggil Faris dan menenangkan Lana.
Hal terbaik yang bisa kulakukan untuknya selain berdoa untuk kesembuhannya. Ia
masuk ke dalam fase kritis, Faris dan perawat lainnya berusaha menolong Lana
dengan segala peralatan yang asing di pengetahuanku. Yang kutahu hanya berdoa,
berharap waktu empat hari itu bertambah, berharap masih ada banyak waktu
untukku membahagiakan Lana. Berharap dan terus berharap tanpa lelah.
Hingga
Faris menoleh padaku yang berdiri kaku dengan lidah kelu. Bibirku terkatup
rapat dengan jemari yang saling bersilangan. Lana membuka matanya, sayu, seakan
ada ribuan saraf yang memaksanya tertutup. Aku mendekat. Bola mata Lana
bergerak ke arahku.
“A...
yah?”
“Ya,
Lana, Ayah di sini, Lana harus kuat, Lana bisa melewati semua ini, kan?”
“Yang...
ke... tiga...,” Dadaku terasa nyeri.
“Ya,
Lana, apa permintaanmu yang ketiga?” Butir bening menetes dari mata Lana,
buru-buru kuseka, “Jangan tergesa-gesa, Lana, Lana bisa minta saat sudah
sembuh,” Kugenggam jemrinya, matanya semakin sayu, hampir menutup, bulir bening
mendobrak keluar dari mataku.
“Jangan...
me... nangis... lagi.” Kemudian suara nyaring terdengar seiring dengan mata Lana yang mengatup.
Rapat. Seolah enggan untuk terbuka kembali, menyisakan sesak di dada dan
tangisan yang tak terbendung. Sulit, permintaannya sangat sulit kukabulkan. ***
Yogyakarta,
17 Mei 2016
Saking lamanya, aku sampai lupa bahwa aku pernah menulis cerita seperti ini. Hmm, kalau dibaca ulang kok nyesek sendiri ya. wkwk.
No comments:
Post a Comment