Aku tertegun. Menatap
lekat benda yang kini singgah dalam genggaman. Sebuah telepon genggam. Bukan,
ini bukan zaman purba yang asing pada handphone,
atau daerah tak mengenal teknologi seperti Suku Baduy. Saat ini, tepat
mengoleskan angka tahun 2020, teknologi bukan lagi hal yang asing, tapi handphone yang lebarnya pas digenggam
remaja berusia 16 tahun sepertiku ini bahkan baru direncanakan untuk dibuat.
Aku mengedarkan pandang.
Hanya ada laut, lain tidak. Suara debur ombak yang menghantam karang sibuk
menyusup ke telinga. Aku terperanjat ketika handphone
itu berbunyi, gelagapan kutatap layar handphone.
‘Kau mengenalku?’ kalimat itu tertera dalam pesan di dalam handphone. Aku tercekat.
Jujur, aku merasa takut. Handphone seperti ini belum diedarkan,
tapi kabar yang lalu-lalang di internet mengatakan model ini akan dibuat. Salah satu temanku dengan
kondisi ekonomi lebih baik, menunjukkan model itu dari handphone-nya minggu lalu. Lalu, bagaimana bisa handphone canggih ini berada di tanganku
saat ini? Aku meneguk ludah.
‘Aku dari masa depan.’ Sebuah pesan kembali menyentak hening.
Kukerutkan kening tak mengerti. Orang iseng mana yang melakukan hal seperti ini?
Kutebar kembali
pandangan, kosong. Meski gelap, mataku masih bisa menangkap apabila ada hal
yang mencurigakan, mungkin karena terbiasa beraktivitas di malam hari. Ayahku
dan nelayan lainnya baru saja pergi berlayar, tapi hari masih petang, fajar
baru saja menjahit benang putihnya di langit.
Handphone
itu berbunyi lagi. Membuat dadaku berdebar karena takut, berpikiran yang
tidak-tidak. Walau dengan tangan gemetar, tetap kucoba menarik layar ke bawah
untuk melihat pesan yang baru masuk. ‘Namaku
Jingga, aku adalah dirimu di masa depan.’
***
Sudah seminggu sejak aku
menemukan handphone misterius ini.
Aku selalu berusaha menyembunyikannya dari ibu dan ayah. Apa yang akan mereka
katakan jika mereka tahu aku mempunyai benda seperti ini? Ibu dan ayah bukanlah
nelayan kaya. Hanya nelayan biasa yang hidup pas-pasan dari menangkap ikan. Tanpa
sadar, entah mengapa aku mulai berusaha untuk percaya. Seperti imajinasi, handphone datang dari masa depan dan aku
sendiri yang mengirimkannya.
‘Kau tahu? Ibu selama ini menyembunyikan sesuatu darimu.’ Pesan di handphone itu kembali mengisi luangku.
Aku menatap layar handphone dengan bingung. Bertanya-tanya
tentang rahasia yang disembunyikan ibu dariku.
“Jingga? Cepat bangun,
bantu ibu membersihkan ikan!” suara ibu memecahkan lamunan. Cepat-cepat
kurapikan selimut yang sedari tadi menutupi tubuh dan handphone itu.
Tepat sebelum aku
beranjak ke depan rumah, handphone
itu berbunyi lagi. ‘Jika saat ini kau
dibangunkan ibu untuk mencuci ikan, kau akan lihat darah mengalir dari hidung
ibu setelahnya.’
***
Aku termenung, setelah
kudesak, ibu akhirnya mau mengaku bahwa sebenarnya ia mengidap Leukimia.
Penyakit asing yang baru saja berjabat dengan pendengaran. Penyakit apa itu?
Aku hanya menunggu pesan dari Jingga di masa depan. Apa yang harus kulakukan?
Penyakit apa itu? Apakah itu berbahaya? Aku sama sekali tidak mengerti.
Aku menunggu, terus
menunggu Jingga masa depan. Baru-baru ini kuketahui bahwa handphone itu datang dari masa depan dengan mesin waktu yang tak
bisa memindahkan barang yang lebih berat dari handphone. Aku baru paham, mengapa bukan Jingga sendiri yang datang
dari masa depan, menyelamatkan ibu. Ia tak mampu, ia hanya bisa mengubah takdir
masa lalu sedikit demi sedikit.
‘Bawakan ibu bunga Edelweiss kesukaannya.’ Satu pesan itu
menggetarkan hatiku. ‘Dulu aku tak peduli
yang terjadi pada ibu karena aku tidak tahu seperti apa itu Leukimia. Kini aku
menyesal karena dulu tak sempat membahagiakannya walau sejengkal senyum di
bibir.’ Pesan yang lain memenuhi netra dan mengerubungi memori.
Kugenggam erat handphone di tangan. Di mana aku bisa
mencarikan ibu sebuah Edelweiss? Di Gunung yang jauhnya berkilo-kilo meter dari
kotaku? Berhari-hari bayangan mengenai Bunga Edelweiss memenuhi pikiran,
bentuknya pun tak pernah kuraba walau dalam pandang. Menerka seperti apa wujud
bunga itu.
‘Sebelum kau menyesal.’ Pesan terakhir di hari itu berhasil membuat
tubuhku bergerak. Mengirimkan secercah ide yang datang perlahan, aku hampir
lupa jika aku mempunyai handphone ini.
***
“Ibu...,” panggilku saat
ibu sedang menanak nasi di atas tungku. Pasir di dalam rumah berhasil
menggigiti kakiku yang terasa dingin. Baru kali ini aku berniat membuat ibu
tersenyum.
Ibu menoleh, “Ada apa,
Jingga?” Ibu menatap mataku lekat. Aku menunduk gugup.
Cukup lama aku bergulat
dengan perasaan. Terus bertanya-tanya, apakah yang kulakukan ini benar? Akankah
ini semua berarti bagi ibu?
“Ini, a-aku...” Aku
menyodorkan selembar kertas bergambar Bunga Edelweiss, “a-aku tak bisa membawa
Bunga Edelweiss yang asli, jadi,” aku terkejut ketika ibu tiba-tiba memelukku
dengan bahu gemetar. Tidak ada yang lain, hanya tangis ibu dan kebingungan yang
menyelimutiku.
Aku masih tak sadar pada
yang baru saja kulakukan. Ibu masih menangis, sesenggukan dalam pelukan.
Membayangkan pelukan ini akan segera berakhir, membuat dada terasa sesak. Kapan
ibu akan pergi? Aku terus terbayang masalah ini, tak pernah raib dari ingat.
Ibu melepas tubuhku, memandang dengan seulas senyum di wajah.
“Terima kasih, Jingga...
terima kasih untuk kado terindah yang ibu terima setelah kamu,” ibu mengelus
rambutku lembut.
Aku memang tak mengerti
apakah semua ini berharga bagi ibu atau tidak, tepatnya tak ingin mengerti.
Melihat senyum ibu saat ini, aku tak pernah menyesali apapun. Walau hanya satu
senyum, akan kutumbuhkan satu-persatu senyum itu, agar nantinya tak ada yang
kusesali di masa depan.
Aku sedikit terkejut ketika kurasakan handphone yang sedari tadi kugenggam di
tangan kiri, menghilang.
***
Malang, 08 Mei 2015
Masih merupakan cerpen pilihan dalam sebuah lomba cerpen. Wah, kalau dipikir-pikir lagi dulu aku sangat produktif menghasilkan karya. Hanya saja, sekarang minatku sedikit menurun karena ya itu alasan klise, yaitu kesibukan. Sekarang aku lebih sering membuat review di instagram ketimbang membuat cerpen atau puisi. Bisa banget menjenguk akun instagramku di @ra.juwita ya! *Lho kok promosi?*
Cerpen ini juga dibukukan tapi aku lupa oleh penerbit indie mana dan apa judul bukunya. Yah, terkadang terlalu banyak lomba yang diikuti jadi abai terkait hal-hal yang seharusnya penting seperti ini.
No comments:
Post a Comment