Saturday, 19 May 2018

[Cerita Pendek] Handphone dari Masa Depan


Aku tertegun. Menatap lekat benda yang kini singgah dalam genggaman. Sebuah telepon genggam. Bukan, ini bukan zaman purba yang asing pada handphone, atau daerah tak mengenal teknologi seperti Suku Baduy. Saat ini, tepat mengoleskan angka tahun 2020, teknologi bukan lagi hal yang asing, tapi handphone yang lebarnya pas digenggam remaja berusia 16 tahun sepertiku ini bahkan baru direncanakan untuk dibuat.

Aku mengedarkan pandang. Hanya ada laut, lain tidak. Suara debur ombak yang menghantam karang sibuk menyusup ke telinga. Aku terperanjat ketika handphone itu berbunyi, gelagapan kutatap layar handphone.


Kau mengenalku?’ kalimat itu tertera dalam pesan di dalam handphone. Aku tercekat.

Jujur, aku merasa takut. Handphone seperti ini belum diedarkan, tapi kabar yang lalu-lalang di internet mengatakan model ini akan dibuat. Salah satu temanku dengan kondisi ekonomi lebih baik, menunjukkan model itu dari handphone-nya minggu lalu. Lalu, bagaimana bisa handphone canggih ini berada di tanganku saat ini? Aku meneguk ludah.

Aku dari masa depan.’ Sebuah pesan kembali menyentak hening. Kukerutkan kening tak mengerti. Orang iseng mana yang melakukan hal seperti ini?

Kutebar kembali pandangan, kosong. Meski gelap, mataku masih bisa menangkap apabila ada hal yang mencurigakan, mungkin karena terbiasa beraktivitas di malam hari. Ayahku dan nelayan lainnya baru saja pergi berlayar, tapi hari masih petang, fajar baru saja menjahit benang putihnya di langit.

Handphone itu berbunyi lagi. Membuat dadaku berdebar karena takut, berpikiran yang tidak-tidak. Walau dengan tangan gemetar, tetap kucoba menarik layar ke bawah untuk melihat pesan yang baru masuk. ‘Namaku Jingga, aku adalah dirimu di masa depan.
***

Sudah seminggu sejak aku menemukan handphone misterius ini. Aku selalu berusaha menyembunyikannya dari ibu dan ayah. Apa yang akan mereka katakan jika mereka tahu aku mempunyai benda seperti ini? Ibu dan ayah bukanlah nelayan kaya. Hanya nelayan biasa yang hidup pas-pasan dari menangkap ikan. Tanpa sadar, entah mengapa aku mulai berusaha untuk percaya. Seperti imajinasi, handphone datang dari masa depan dan aku sendiri yang mengirimkannya.

Kau tahu? Ibu selama ini menyembunyikan sesuatu darimu.’ Pesan di handphone itu kembali mengisi luangku.

Aku menatap layar handphone dengan bingung. Bertanya-tanya tentang rahasia yang disembunyikan ibu dariku.

“Jingga? Cepat bangun, bantu ibu membersihkan ikan!” suara ibu memecahkan lamunan. Cepat-cepat kurapikan selimut yang sedari tadi menutupi tubuh dan handphone itu.

Tepat sebelum aku beranjak ke depan rumah, handphone itu berbunyi lagi. ‘Jika saat ini kau dibangunkan ibu untuk mencuci ikan, kau akan lihat darah mengalir dari hidung ibu setelahnya.
***

Aku termenung, setelah kudesak, ibu akhirnya mau mengaku bahwa sebenarnya ia mengidap Leukimia. Penyakit asing yang baru saja berjabat dengan pendengaran. Penyakit apa itu? Aku hanya menunggu pesan dari Jingga di masa depan. Apa yang harus kulakukan? Penyakit apa itu? Apakah itu berbahaya? Aku sama sekali tidak mengerti.

Aku menunggu, terus menunggu Jingga masa depan. Baru-baru ini kuketahui bahwa handphone itu datang dari masa depan dengan mesin waktu yang tak bisa memindahkan barang yang lebih berat dari handphone. Aku baru paham, mengapa bukan Jingga sendiri yang datang dari masa depan, menyelamatkan ibu. Ia tak mampu, ia hanya bisa mengubah takdir masa lalu sedikit demi sedikit.

Bawakan ibu bunga Edelweiss kesukaannya.’ Satu pesan itu menggetarkan hatiku. ‘Dulu aku tak peduli yang terjadi pada ibu karena aku tidak tahu seperti apa itu Leukimia. Kini aku menyesal karena dulu tak sempat membahagiakannya walau sejengkal senyum di bibir.’ Pesan yang lain memenuhi netra dan mengerubungi memori.

Kugenggam erat handphone di tangan. Di mana aku bisa mencarikan ibu sebuah Edelweiss? Di Gunung yang jauhnya berkilo-kilo meter dari kotaku? Berhari-hari bayangan mengenai Bunga Edelweiss memenuhi pikiran, bentuknya pun tak pernah kuraba walau dalam pandang. Menerka seperti apa wujud bunga itu.

Sebelum kau menyesal.’ Pesan terakhir di hari itu berhasil membuat tubuhku bergerak. Mengirimkan secercah ide yang datang perlahan, aku hampir lupa jika aku mempunyai handphone ini.
***

“Ibu...,” panggilku saat ibu sedang menanak nasi di atas tungku. Pasir di dalam rumah berhasil menggigiti kakiku yang terasa dingin. Baru kali ini aku berniat membuat ibu tersenyum.

Ibu menoleh, “Ada apa, Jingga?” Ibu menatap mataku lekat. Aku menunduk gugup.

Cukup lama aku bergulat dengan perasaan. Terus bertanya-tanya, apakah yang kulakukan ini benar? Akankah ini semua berarti bagi ibu?

“Ini, a-aku...” Aku menyodorkan selembar kertas bergambar Bunga Edelweiss, “a-aku tak bisa membawa Bunga Edelweiss yang asli, jadi,” aku terkejut ketika ibu tiba-tiba memelukku dengan bahu gemetar. Tidak ada yang lain, hanya tangis ibu dan kebingungan yang menyelimutiku.

Aku masih tak sadar pada yang baru saja kulakukan. Ibu masih menangis, sesenggukan dalam pelukan. Membayangkan pelukan ini akan segera berakhir, membuat dada terasa sesak. Kapan ibu akan pergi? Aku terus terbayang masalah ini, tak pernah raib dari ingat. Ibu melepas tubuhku, memandang dengan seulas senyum di wajah.

“Terima kasih, Jingga... terima kasih untuk kado terindah yang ibu terima setelah kamu,” ibu mengelus rambutku lembut.

Aku memang tak mengerti apakah semua ini berharga bagi ibu atau tidak, tepatnya tak ingin mengerti. Melihat senyum ibu saat ini, aku tak pernah menyesali apapun. Walau hanya satu senyum, akan kutumbuhkan satu-persatu senyum itu, agar nantinya tak ada yang kusesali di masa depan.

 Aku sedikit terkejut ketika kurasakan handphone yang sedari tadi kugenggam di tangan kiri, menghilang.
***


Malang, 08 Mei 2015

Masih merupakan cerpen pilihan dalam sebuah lomba cerpen. Wah, kalau dipikir-pikir lagi dulu aku sangat produktif menghasilkan karya. Hanya saja, sekarang minatku sedikit menurun karena ya itu alasan klise, yaitu kesibukan. Sekarang aku lebih sering membuat review di instagram ketimbang membuat cerpen atau puisi. Bisa banget menjenguk akun instagramku di @ra.juwita ya! *Lho kok promosi?*
Cerpen ini juga dibukukan tapi aku lupa oleh penerbit indie mana dan apa judul bukunya. Yah, terkadang terlalu banyak lomba yang diikuti jadi abai terkait hal-hal yang seharusnya penting seperti ini.

No comments:

Post a Comment

Postingan Terbaru

2+5=7

Bel, mungkin di hari ini tepat 25 tahun lalu, langit sedang cerah, hujan batal turun, dan awan enggan bergumul. Sebab, hari itu ada suara ta...

Postingan Populer