Saturday 19 May 2018

[Cerita Pendek] Kertas-Kertas Daffodil


Till death do us part,” gadis itu mengatakannya dengan fasih, seakan ia telah mengucapkannya setiap hari. “Ibu yang memberitahuku setiap waktu.” Lanjutnya. Aku tertegun menatap mata teh itu, ada kemarahan dan keputusasaan yang menelurkan butir bening dari sana.

“Siapa namamu?” hanya itu yang sempat melewati tenggorokanku. Terucap tanpa permisi, bingung tanggapi tangisnya.


Ia sesenggukan, ragu-ragu ia menjawab, “Gloriosa,” kata-katanya tersendat, “panggil saja Riosa.” Ia mengulurkan tangan. Seperti orang bodoh, kujabat tangannya. Aku berusaha untuk terlihat biasa, tapi suaraku malah terdengar mencicit.

“Aku Vino.”
***

Aku mengantungi rasa lelah setelah pulang kuliah seaat sebelum aku melihatnya lagi. Gloriosa. Aku mengeja namanya yang lekat di ingatan. Segala letih buyar seketika saat melihatnya bersimpuh di dekat sebuah makam. Makam ibunya. Seminggu ini ia selalu berada di sana, diam, menatap nisan dan menggenggam tanah makam, lalu mulai menangis. Selalu seperti itu.

Aku tertegun ketika kudapati kaki memandu tanpa komando, mendekatinya. Riosa mendongak, menyangsikan kedatanganku. Jelas terlihat derita yang sama masih melekat pada netranya.

“Aku membawakan Daffodil.” Ia sodorkan secarik kertas yang penuh warna kuning dan oranye padaku. Diam. Kami berkecimpung dalam hening yang mendadak menggenang.

Aku menarik napas dalam. “Kau tahu makna Bunga Daffodil?” Kuambil kertas itu dari tangannya. Riosa mengerutkan kening, menggeleng. “Bunga ini bermakna ‘Matahari akan terus bersinar selama aku bersamamu’”

Riosa tak bergeming. Air mata yang tak sempat kering, kembali membasahi pipinya. “Itu bunga kesukaan ibuku.”

Aku tahu akhirnya akan begini, ia hampir selalu menangis saat aku melihatnya. Aku tidak mengerti, tapi tak coba kutanyakan. Aku merasa akan lebih baik jika aku diam. Aku takut, kesedihan dan keputusasaan yang kini menggerogotinya, suatu saat akan menjadi sebuah kebencian. Yang paling kutakutkan adalah jika kebencian itu pada dirinya sendiri.

Kutatap nisan putih di hadapanku, tertanggal seminggu yang lalu. Pun, tanah yang masih berwarna merah dengan taburan bunga di atasnya, jelas menyiratkan bahwa makam ini masih baru. Gloriosa. Aku menerka-nerka alasan ibunya memberikan nama itu pada gadis yang kini tersedu di sampingku.

“Vin, kau tahu mengapa penyesalan selalu datang terlambat?” Ia menatapku. Kualihkan pandangan dari jala yang ia tebar di matanya.

“Jika penyesalan datang di awal, manusia hanya akan melompat di tempat yang sama,” jawabku sekenanya. “Mungkin manusia akan membuat kemajuan, ibaratkan kemajuan itu sebagai lompatan, tapi manusia tidak akan pernah berubah, tetap melompat di tempat yang sama, melakukan kesalahan yang sama, dan statis.”  Aku mengembalikan kertas bergambar Daffodil padanya.

“Kau benar.” Ucapnya setelah beberapa saat. “Aku selalu menyesal—hingga saat ini—karena selalu membangkang perintah ibu, tak mematuhi nasihatnya, dan hampir selalu berlaku kasar—walaupun tidak sering.” Ia tersenyum kecil, menatap nisan ibunya, “penyesalan yang klasik, kan?”

Aku tetap diam, memberi ruang untuk mengungkapkan semua isi hatinya. Tangannya meremas tanah makam itu.

“Aku sudah melakukan semuanya!” tiba-tiba ia berteriak, membuatku sempat tersentak.  “Aku sudah melakukan apapun yang ibu inginkan, yang dulu selalu kubantah dan tak kuhiraukan, dan kau tahu apa? Ibu tak pernah kembali, katakan padaku alasannya!” Riosa meraih bajuku. Menggenggamnya erat sambil tersedu.

Dadaku sesak melihat ini semua. Aku tak perlu mengatakan apa-apa karena aku tahu ia sebaya denganku, tak membutuhkan jawaban seperti anak TK yang baru kehilangan orang tua dan terus bertanya, ‘Mengapa ibu tidak bangun?’

“Sungguh,” ia berkata di sela isak tangisnya, “sungguh akan kulakukan apapun agar ibu bisa mengomeliku lagi. Aku tidak akan pernah marah, tidak akan... tolong katakan pada Tuhan aku takkan marah jika ibu mengomeliku lagi, tolong...,”
***

Aku menyibakkan tirai, mencoba mengintip Gloriosa dari jendela kamar. Baru kali ini seumur hidupku, aku tak merasa menyesal memiliki jendela kamar yang tepat menghadap ke arah pemakaman. Biasanya aku akan mengumpat, apalagi jika terdapat makam baru. Namun, kini aku bersyukur karena dengan ini aku bisa mengawasi Gloriosa.

Aku menebak-nebak apa yang dipikirkannya saat ini setelah kemarin ia menangis tersedu dengan bajuku sebagai sasarannya. Aku harus menjelaskan susah payah ketika ibu meminta konfirmasi tentang kejadian itu.

Jadi, apakah aku harus keluar? Menemuinya? Bagaimana reaksinya? Apa ia masih akan menganggapku ada, mengingat seminggu ini aku mendadak menjadi tempat curhat baginya? Ah, entahlah.

Kuputuskan untuk turun dari ranjang dan bergegas menemui Gloriosa. Aku ingin mengatakan hal yang sejak kemarin mengganjal tenggorokan.

“Ibu berbohong, bukankah Daffodil berarti ‘Matahari akan terus bersinar selama aku bersamamu’? Matahari masih bersinar, tapi ibu sudah tidak bersamaku. Ibu pembohong, kan?” ia berkata sesaat setelah aku berdiri di sampingnya, tanpa menoleh padaku. Lagi-lagi aku hanya bisa tertegun. Aku tidak mengerti, pertanyaannya selalu bisa membuatku mati kutu.

“Kau menyukai Bunga Daffodil?” tanyaku akhirnya. Ia tak bergeming. “Kau mungkin tidak begitu mengenal soal bunga, tapi mungkin ibumu seperti halnya aku, sangat menyukai bunga—meskipun aku laki-laki. Kalimat itu tak berlaku untukmu, tapi pada ibumu... mungkin bagi ibumu, matahari selalu bersinar sejak kau hadir di kehidupannya.”

“Itu tidak benar, aku selalu mengecewakannya,”

“Apa kau mengerti perasaan ibumu? Ibu takkan pernah membenci anaknya apapun yang terjadi karena kau adalah darah dagingnya,”

“Jangan mengguruiku, ibu benar mengenai ‘till death do us part’,”

“Ah, itu omong kosong. Cinta ibu mana yang terputus hanya karena kematian? Cinta ibu itu sejati,” diam-diam aku mengumpat diriku sendiri, perkataan konyol apa yang baru saja kuucapkan? Riosa terdiam, ia masih menatap lekat nisan ibunya. “Biar kukatakan satu hal padamu,... Bunga Gloriosa adalah wujud keanggunan dan kesempurnaan, bentuk kelopak serta warnanya yang merah membuatnya terlihat mahal dan elegan, terlebih lagi Gloriosa itu istimewa... karena Gloriosa juga mempunyai racun, sepersepuluh akarnya dapat membunuh satu orang dewasa,”

Bahu Riosa terangkat, ia menoleh, menatapku dengan arti yang tak mampu kuterjemahkan. Rambutnya yang dikuncir kuda bergoyang pelan mengikuti gerakan kepala. Aku tahu ada kelegaan di matanya. Riosa menatap nisan ibunya lagi, lalu berdiri.

“Terima kasih,” hanya itu yang ia katakan sebelum akhirnya pergi, menyisakan sebaris rasa kehilangan yang baru kusadari.
***

Esoknya tak kutemukan Riosa dimanapun. Aku menunggunya, entah untuk apa.  Aku hanya menemukan sebuah kertas Daffodil di atas makam ibunya. Hanya itu. Memang tidak mungkin jika ia membawakan Bunga Daffodil yang asli karena bunga itu hanya tumbuh di daerah subtropis.

Seminggu, dua minggu, Riosa tak pernah datang lagi. Yang kutemukan hanya kertas-kertas bergambar Bunga Daffodil yang semakin hari semakin menumpuk di makam ibunya. Sempat kertas-kertas itu hendak dibuang oleh petugas kebersihan, tapi aku mencegahnya. Kuambil lembar-lembar kertas itu dan kusimpan, masih tak tahu untuk apa.

Aku benar-benar baru menyadari bahwa hari-hariku mulai berubah ketika aku mulai berbicara dengannya. Mengenai ibu dan semua penyesalannya. Diam-diam ternyata aku menyimpan rindu pada kisah-kisah tentang ibunya. Membuatku selalu menuruti kata-kata ibuku mulai detik itu, aku hanya tak ingin mengalami hal yang sama dengannya. Menyesal, kemudian terus menangis di depan makam ibu.

Ah, aku lupa mengatakan sesuatu padanya. Aku mulai menyetujui ucapanku sendiri, cinta sejati takkan pernah hilang hanya karena kematian, cinta sejati itu abadi. Itu yang kupercaya kini. Kematian memang akan memisahkan, tapi kematian juga akan mempertemukan: roh dengan roh serta roh dengan Tuhannya.

Minggu ketiga, baru kuterima sebuah surat yang ditujukan padaku. Surat yang bergambar Bunga Daffodil, cepat-cepat kubuka amplop itu, kutemukan sebuah kertas bergambar Bunga Daffodil di dalamnya. Dari Gloriosa. Ada apa? Buru-buru kubaca goresan tinta yang tertera di belakang kertas Daffodil itu.

Aku terduduk, senyum tersungging di bibir, tapi hatiku mengkhianati. Entah mengapa, aku merasa ada yang hancur di sana. Di dalam hati. Meluluhkan segala harap yang pelan-pelan tumbuh dan dipaksa layu. Ah, ternyata aku jatuh cinta padanya dan sebelum kusadari, cinta itu telah bertepuk sebelah tangan.

Vino, terima kasih untuk semuanya. Kata-katamu menyadarkanku akan sosok ibu. Kau benar, ibu takkan pernah hilang walau jasadnya telah jauh terkubur, kini aku tinggal bersama kenangan tentang ibu. Satu permohonan terakhir dari ibu yang belum sempat kupenuhi, sekarang akan kujalani. Demi ibu dan segala harapannya. Semoga ibu bahagia di surga.
PS : Datanglah ke pesta pernikahanku, telah kuselipkan undangannya bersama surat ini.
***



Hmm, kali ini cerpen ini hanya bisa menduduki posisi "kontributor" atau peserta terpilih saja yang karyanya dibukukukan. Masih, cerpen ini merupakan hasil lomba di facebook yang diselenggarakan oleh sebuah penerbit indie, tapi aku tidak bisa mengingat namanya hehe. Yang jelas, lombanya diselenggarakan di sekitar tahun 2015 kalau aku tidak salah ingat. hehe. semuanya serba kalau tidak salah.

No comments:

Post a Comment

Postingan Terbaru

2+5=7

Bel, mungkin di hari ini tepat 25 tahun lalu, langit sedang cerah, hujan batal turun, dan awan enggan bergumul. Sebab, hari itu ada suara ta...

Postingan Populer