“Till death do us part,” gadis itu mengatakannya dengan fasih,
seakan ia telah mengucapkannya setiap hari. “Ibu yang memberitahuku setiap
waktu.” Lanjutnya. Aku tertegun menatap mata teh itu, ada kemarahan dan
keputusasaan yang menelurkan butir bening dari sana.
“Siapa namamu?” hanya itu
yang sempat melewati tenggorokanku. Terucap tanpa permisi, bingung tanggapi
tangisnya.
Ia sesenggukan, ragu-ragu
ia menjawab, “Gloriosa,” kata-katanya tersendat, “panggil saja Riosa.” Ia
mengulurkan tangan. Seperti orang bodoh, kujabat tangannya. Aku berusaha untuk
terlihat biasa, tapi suaraku malah terdengar mencicit.
“Aku Vino.”
***
Aku mengantungi rasa
lelah setelah pulang kuliah seaat sebelum aku melihatnya lagi. Gloriosa. Aku
mengeja namanya yang lekat di ingatan. Segala letih buyar seketika saat
melihatnya bersimpuh di dekat sebuah makam. Makam ibunya. Seminggu ini ia
selalu berada di sana, diam, menatap nisan dan menggenggam tanah makam, lalu
mulai menangis. Selalu seperti itu.
Aku tertegun ketika
kudapati kaki memandu tanpa komando, mendekatinya. Riosa mendongak,
menyangsikan kedatanganku. Jelas terlihat derita yang sama masih melekat pada
netranya.
“Aku membawakan
Daffodil.” Ia sodorkan secarik kertas yang penuh warna kuning dan oranye
padaku. Diam. Kami berkecimpung dalam hening yang mendadak menggenang.
Aku menarik napas dalam.
“Kau tahu makna Bunga Daffodil?” Kuambil kertas itu dari tangannya. Riosa
mengerutkan kening, menggeleng. “Bunga ini bermakna ‘Matahari akan terus
bersinar selama aku bersamamu’”
Riosa tak bergeming. Air
mata yang tak sempat kering, kembali membasahi pipinya. “Itu bunga kesukaan
ibuku.”
Aku tahu akhirnya akan
begini, ia hampir selalu menangis saat aku melihatnya. Aku tidak mengerti, tapi
tak coba kutanyakan. Aku merasa akan lebih baik jika aku diam. Aku takut,
kesedihan dan keputusasaan yang kini menggerogotinya, suatu saat akan menjadi
sebuah kebencian. Yang paling kutakutkan adalah jika kebencian itu pada dirinya
sendiri.
Kutatap nisan putih di
hadapanku, tertanggal seminggu yang lalu. Pun, tanah yang masih berwarna merah
dengan taburan bunga di atasnya, jelas menyiratkan bahwa makam ini masih baru.
Gloriosa. Aku menerka-nerka alasan ibunya memberikan nama itu pada gadis yang kini
tersedu di sampingku.
“Vin, kau tahu mengapa
penyesalan selalu datang terlambat?” Ia menatapku. Kualihkan pandangan dari
jala yang ia tebar di matanya.
“Jika penyesalan datang
di awal, manusia hanya akan melompat di tempat yang sama,” jawabku sekenanya.
“Mungkin manusia akan membuat kemajuan, ibaratkan kemajuan itu sebagai
lompatan, tapi manusia tidak akan pernah berubah, tetap melompat di tempat yang
sama, melakukan kesalahan yang sama, dan statis.” Aku mengembalikan kertas bergambar Daffodil
padanya.
“Kau benar.” Ucapnya
setelah beberapa saat. “Aku selalu menyesal—hingga saat ini—karena selalu
membangkang perintah ibu, tak mematuhi nasihatnya, dan hampir selalu berlaku
kasar—walaupun tidak sering.” Ia tersenyum kecil, menatap nisan ibunya,
“penyesalan yang klasik, kan?”
Aku tetap diam, memberi
ruang untuk mengungkapkan semua isi hatinya. Tangannya meremas tanah makam itu.
“Aku sudah melakukan
semuanya!” tiba-tiba ia berteriak, membuatku sempat tersentak. “Aku sudah melakukan apapun yang ibu
inginkan, yang dulu selalu kubantah dan tak kuhiraukan, dan kau tahu apa? Ibu
tak pernah kembali, katakan padaku alasannya!” Riosa meraih bajuku.
Menggenggamnya erat sambil tersedu.
Dadaku sesak melihat ini
semua. Aku tak perlu mengatakan apa-apa karena aku tahu ia sebaya denganku, tak
membutuhkan jawaban seperti anak TK yang baru kehilangan orang tua dan terus
bertanya, ‘Mengapa ibu tidak bangun?’
“Sungguh,” ia berkata di
sela isak tangisnya, “sungguh akan kulakukan apapun agar ibu bisa mengomeliku
lagi. Aku tidak akan pernah marah, tidak akan... tolong katakan pada Tuhan aku
takkan marah jika ibu mengomeliku lagi, tolong...,”
***
Aku menyibakkan tirai,
mencoba mengintip Gloriosa dari jendela kamar. Baru kali ini seumur hidupku,
aku tak merasa menyesal memiliki jendela kamar yang tepat menghadap ke arah
pemakaman. Biasanya aku akan mengumpat, apalagi jika terdapat makam baru.
Namun, kini aku bersyukur karena dengan ini aku bisa mengawasi Gloriosa.
Aku menebak-nebak apa
yang dipikirkannya saat ini setelah kemarin ia menangis tersedu dengan bajuku
sebagai sasarannya. Aku harus menjelaskan susah payah ketika ibu meminta
konfirmasi tentang kejadian itu.
Jadi, apakah aku harus
keluar? Menemuinya? Bagaimana reaksinya? Apa ia masih akan menganggapku ada, mengingat
seminggu ini aku mendadak menjadi tempat curhat baginya? Ah, entahlah.
Kuputuskan untuk turun
dari ranjang dan bergegas menemui Gloriosa. Aku ingin mengatakan hal yang sejak
kemarin mengganjal tenggorokan.
“Ibu berbohong, bukankah
Daffodil berarti ‘Matahari akan terus bersinar selama aku bersamamu’? Matahari
masih bersinar, tapi ibu sudah tidak bersamaku. Ibu pembohong, kan?” ia berkata
sesaat setelah aku berdiri di sampingnya, tanpa menoleh padaku. Lagi-lagi aku
hanya bisa tertegun. Aku tidak mengerti, pertanyaannya selalu bisa membuatku
mati kutu.
“Kau menyukai Bunga
Daffodil?” tanyaku akhirnya. Ia tak bergeming. “Kau mungkin tidak begitu
mengenal soal bunga, tapi mungkin ibumu seperti halnya aku, sangat menyukai
bunga—meskipun aku laki-laki. Kalimat itu tak berlaku untukmu, tapi pada ibumu...
mungkin bagi ibumu, matahari selalu bersinar sejak kau hadir di kehidupannya.”
“Itu tidak benar, aku
selalu mengecewakannya,”
“Apa kau mengerti
perasaan ibumu? Ibu takkan pernah membenci anaknya apapun yang terjadi karena kau
adalah darah dagingnya,”
“Jangan mengguruiku, ibu
benar mengenai ‘till death do us part’,”
“Ah, itu omong kosong.
Cinta ibu mana yang terputus hanya karena kematian? Cinta ibu itu sejati,” diam-diam
aku mengumpat diriku sendiri, perkataan konyol apa yang baru saja kuucapkan? Riosa
terdiam, ia masih menatap lekat nisan ibunya. “Biar kukatakan satu hal
padamu,... Bunga Gloriosa adalah wujud keanggunan dan kesempurnaan, bentuk
kelopak serta warnanya yang merah membuatnya terlihat mahal dan elegan,
terlebih lagi Gloriosa itu istimewa... karena Gloriosa juga mempunyai racun,
sepersepuluh akarnya dapat membunuh satu orang dewasa,”
Bahu Riosa terangkat, ia
menoleh, menatapku dengan arti yang tak mampu kuterjemahkan. Rambutnya yang
dikuncir kuda bergoyang pelan mengikuti gerakan kepala. Aku tahu ada kelegaan
di matanya. Riosa menatap nisan ibunya lagi, lalu berdiri.
“Terima kasih,” hanya itu
yang ia katakan sebelum akhirnya pergi, menyisakan sebaris rasa kehilangan yang
baru kusadari.
***
Esoknya tak kutemukan
Riosa dimanapun. Aku menunggunya, entah untuk apa. Aku hanya menemukan sebuah kertas Daffodil di
atas makam ibunya. Hanya itu. Memang tidak mungkin jika ia membawakan Bunga
Daffodil yang asli karena bunga itu hanya tumbuh di daerah subtropis.
Seminggu, dua minggu,
Riosa tak pernah datang lagi. Yang kutemukan hanya kertas-kertas bergambar
Bunga Daffodil yang semakin hari semakin menumpuk di makam ibunya. Sempat
kertas-kertas itu hendak dibuang oleh petugas kebersihan, tapi aku mencegahnya.
Kuambil lembar-lembar kertas itu dan kusimpan, masih tak tahu untuk apa.
Aku benar-benar baru
menyadari bahwa hari-hariku mulai berubah ketika aku mulai berbicara dengannya.
Mengenai ibu dan semua penyesalannya. Diam-diam ternyata aku menyimpan rindu
pada kisah-kisah tentang ibunya. Membuatku selalu menuruti kata-kata ibuku
mulai detik itu, aku hanya tak ingin mengalami hal yang sama dengannya.
Menyesal, kemudian terus menangis di depan makam ibu.
Ah, aku lupa mengatakan
sesuatu padanya. Aku mulai menyetujui ucapanku sendiri, cinta sejati takkan
pernah hilang hanya karena kematian, cinta sejati itu abadi. Itu yang kupercaya
kini. Kematian memang akan memisahkan, tapi kematian juga akan mempertemukan:
roh dengan roh serta roh dengan Tuhannya.
Minggu ketiga, baru
kuterima sebuah surat yang ditujukan padaku. Surat yang bergambar Bunga
Daffodil, cepat-cepat kubuka amplop itu, kutemukan sebuah kertas bergambar
Bunga Daffodil di dalamnya. Dari Gloriosa. Ada apa? Buru-buru kubaca goresan tinta
yang tertera di belakang kertas Daffodil itu.
Aku terduduk, senyum
tersungging di bibir, tapi hatiku mengkhianati. Entah mengapa, aku merasa ada
yang hancur di sana. Di dalam hati. Meluluhkan segala harap yang pelan-pelan
tumbuh dan dipaksa layu. Ah, ternyata aku jatuh cinta padanya dan sebelum
kusadari, cinta itu telah bertepuk sebelah tangan.
‘Vino, terima kasih untuk semuanya. Kata-katamu menyadarkanku akan sosok
ibu. Kau benar, ibu takkan pernah hilang walau jasadnya telah jauh terkubur,
kini aku tinggal bersama kenangan tentang ibu. Satu permohonan terakhir dari
ibu yang belum sempat kupenuhi, sekarang akan kujalani. Demi ibu dan segala
harapannya. Semoga ibu bahagia di surga.
PS
: Datanglah ke pesta pernikahanku, telah kuselipkan undangannya bersama surat
ini.’
***
Hmm, kali ini cerpen ini hanya bisa menduduki posisi "kontributor" atau peserta terpilih saja yang karyanya dibukukukan. Masih, cerpen ini merupakan hasil lomba di facebook yang diselenggarakan oleh sebuah penerbit indie, tapi aku tidak bisa mengingat namanya hehe. Yang jelas, lombanya diselenggarakan di sekitar tahun 2015 kalau aku tidak salah ingat. hehe. semuanya serba kalau tidak salah.
No comments:
Post a Comment