Bahasa merupakan alat
komunikasi yang kita gunakan sehari-hari untuk berhubungan sosial dengan orang
lain. Dengan bahasa, seseorang bisa
melampaui batasan paling krusial dalam memahami sekelompok masyarakat, selain budayanya.
Dilansir dari Portalsatu.com pada sebuah artikel berjudul “Terpetakan! Jumlah Bahasa di Seluruh Dunia, Di mana Posisi Indonesia?”
yang diterbitkan pada 2016 lalu, saat ini terdapat kurang lebih 7000 bahasa
yang digunakan oleh sekitar 7 milyar manusia di dunia. Asia dan Afrika tercatat
menjadi rumah bagi sebagian besar keragaman linguistik tersebut.
Menurut penelitian,
Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan bahasa terbanyak di
dunia, yaitu 742 bahasa. Jika ditilik berdasarkan jumlah penuturnya, bahasa
daerah di Indonesia yang paling banyak digunakan adalah bahasa Jawa. Tidak
mengherankan apabila Pulau Jawa sebagai pemegang rekor pulau dengan jumlah
penduduk terpadat di Indonesia ini menjadi rumah terbesar bagi bahasa Jawa.
Beberapa waktu lalu di
kelas Project Work, salah satu mata
kuliah pilihan di program studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada, saya dan beberapa mahasiswa sempat resah ketika
mencoba menuangkan kekhawatiran kami perihal penurunan penggunaan bahasa Jawa,
khususnya Krama Inggil[1],
ke dalam bentuk komik. Dalam komik yang kami beri judul “Manganesia” tersebut, kami sempat menyentil soal beberapa bahasa
daerah di Indonesia yang terancam punah. Kepala Badan Bahasa Kemendikbud,
Dadang Suhendar, dalam Republika.co.id, “19
Bahasa Daerah Terancam Punah”, mengatakan bahwa bahasa yang terancam punah
tersebut berasal dari Maluku, Papua, Sulawesi, Sumatra, NTT, dan Gorontalo.
Berawal dari berita tidak
sedap mengenai kepunahan bahasa, kami, tiga orang mahasiswa Sastra Jepang,
memiliki ide untuk membuat sebuah komik yang bisa mengenalkan kebudayaan
Indonesia, khususnya pada orang Jepang. Tentunya komik tersebut dibuat dalam
bahasa Jepang agar informasi yang kami himpun dapat tersampaikan dengan baik.
Selain keresahan akan kepunahan bahasa di daerah luar Jawa, kami juga merasakan
adanya degradasi penuturan bahasa Jawa di kota kami masing-masing.
Di kota kelahiran saya,
Malang, saya merasa penggunaan bahasa Jawa tidak lagi sekental seharusnya.
Anak-anak menggunakan bahasa Ngoko ketika
berbicara dengan orang tuanya. Bahkan, tak jarang saya temui anak-anak yang
sama sekali tidak bisa menggunakan bahasa Jawa tingkat Ngoko sekalipun. Hal ini tentu menjadi hal yang sangat
mengkhawatirkan, mengingat anak-anak tersebut nantinya akan menjadi pengampu
amanah untuk melestarikan bahasa Jawa. Namun, saya seolah ditampar dan dilempar
kembali ke dasar pemikiran naif saya mengenai penggunaan bahasa Jawa yang kian
hari kian surut.
Di Desa Bawang, Tempuran,
Magelang, daerah tempat saya sedang melakukan kegiatan KKN (Kuliah Kerja
Nyata), sebagai salah satu mata kuliah wajib UGM, bahasa Jawa masih terasa
sangat kental. Bahkan, anak-anak kecil yang masih berumur di bawah lima tahun,
sudah dibiasakan untuk berbicara menggunakan bahasa Jawa tingkat Krama Inggil. Hal ini tentu tak luput
dari peranan baik orang tua dalam mendidik anak-anaknya.
Di desa ini, sebagian
besar orang tua yang berumur di atas 40 tahun, sebagian besar justru masih
kesulitan ketika kami mencoba berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
Indonesia. Terpaksa, komunikasi kemudian kami—yang dibesarkan dalam balutan Ngoko atau bahasa Indonesia—lakukan
dengan menggunakan Krama Inggil yang
terbata-bata dan bercampur aduk dengan Ngoko
dan bahasa Indonesia.
Dalam kesehariannya, orang
tua di desa Bawang selalu membiasakan anak-anaknya untuk mengguanakan Krama Inggil. Orang tua yang seharusnya
menggunakan Ngoko kepada anaknya,
justru tetap menggunakan Krama Inggil
sekalipun sedang berbicara dengan anaknya. Tentunya, ini adalah kabar yang
sangat baik bagi saya yang beberapa waktu lalu terjangkit virus kekhawatiran
terhadap kepunahan bahasa Jawa nantinya apabila para penduduk di Jawa sudah mulai
menganaktirikan bahasa daerah ini. Tidak ada yang bisa menjamin bahasa Jawa
tidak akan bernasib sama dengan bahasa-bahasa daerah di pulau lainnya yang
telah punah.
Tidak hanya di lingkungan
keluarga, anak-anak ternyata juga dibiasakan menggunakan Krama Inggil di sekolah. Di SD Bawang, satu-satunya SD yang ada di
Desa Bawang dan merupakan sekolah sebagian besar anak-anak di desa, guru-guru
juga terlihat berkomunikasi menggunakan Krama
Inggil pada anak-anak. Satu lagi kabar bahagia yang saya temukan dalam
perjalanan penuh pengalaman bertajuk KKN ini.
Saya pikir, desa
merupakan tempat paling nyaman bagi “pertumbuhan” bahasa Jawa. Berbeda dengan
kota, bahasa Jawa menetap lebih lama di rumah-rumah para penuturnya dan
diwariskan dengan “lebih baik”. Saya sendiri sebagai anak yang dibesarkan dalam
lingkup kota, merasa tidak bisa menggunakan Krama
Inggil lebih baik ketimbang anak-anak di desa yang berumur lebih muda. Hal
ini memang dapat dikatakan “bergantung pada kebiasaan”. Saya yang terbiasa Ngoko dan berbahasa Indonesia di
lingkungan kota, tentu berbeda posisi dan situasi dengan anak-anak di desa yang
memang dididik dengan mempertahankan Krama
Inggil dalam penuturannya. Meskipun begitu, sepertinya tidaklah bijak
apabila perkara ini selesai hanya karena perbedaan lingkungan.
Di kota pun, apabila para
penuturnya memang memiliki kesadaran untuk terus memberikan tempat paling nyaman
bagi bahasa Jawa agar terus bertahan, tidak ada cara yang tidak mungkin
dilakukan. Salah satunya dengan “mewariskan” Krama Inggil kepada anak-anak seperti yang dilakukan oleh
kebanyakan masyarakat desa. Selama budaya di desa-desa di seluruh Pulau Jawa,
khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur masih sekental ini, selama anak-anak masih
terus dididik untuk melafalkan bahasa Jawa dengan tingkatan paling halus, saya
rasa bahasa Jawa bisa “tidur” lebih
nyenyak dalam “momongan” orang-orang desa, setidaknya untuk saat ini dan
beberapa dekade ke depan.
Daftar
Pustaka:
Aminah, Andi Nur. 2018. “19 Bahasa Daerah
Terancam Punah”. https://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/02/21/p4hio8384-19-bahasa-daerah-terancam-punah
diakses pada 19 Juli 2018 pukul 21:25 WIB.
Republika. 2016. “Terpetakan! Jumlah
Bahasa di Seluruh Dunia, Di mana Posisi Indonesia?”.
Portalsatu.com/read/budaya/-5960 diakses pada 19 Juli 2018 pukul 21:28 WIB.
[1] Tingakatan dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki tiga jenis
tingkatan bahasa, yaitu Ngoko,
tingkatan bahasa paling rendah dan biasa digunakan untuk berkomunikasi dengan
orang yang seumuran atau digunakan oleh orang dewasa kepada orang yang lebih
muda, Krama Madya, sebagai tingkatan
bahasa yang lebih halus dari Ngoko,
dan Krama Inggil, tingkatan paling
halus dalam bahasa Jawa. Krama Inggil
biasa digunakan oleh orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua.
No comments:
Post a Comment