Wednesday, 1 August 2018

[Esai] Bahasa Jawa dalam Momongan Masyarakat Desa



Bahasa merupakan alat komunikasi yang kita gunakan sehari-hari untuk berhubungan sosial dengan orang lain.  Dengan bahasa, seseorang bisa melampaui batasan paling krusial dalam memahami sekelompok masyarakat, selain budayanya. Dilansir dari Portalsatu.com pada sebuah artikel berjudul “Terpetakan! Jumlah Bahasa di Seluruh Dunia, Di mana Posisi Indonesia?” yang diterbitkan pada 2016 lalu, saat ini terdapat kurang lebih 7000 bahasa yang digunakan oleh sekitar 7 milyar manusia di dunia. Asia dan Afrika tercatat menjadi rumah bagi sebagian besar keragaman linguistik tersebut.


Menurut penelitian, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan bahasa terbanyak di dunia, yaitu 742 bahasa. Jika ditilik berdasarkan jumlah penuturnya, bahasa daerah di Indonesia yang paling banyak digunakan adalah bahasa Jawa. Tidak mengherankan apabila Pulau Jawa sebagai pemegang rekor pulau dengan jumlah penduduk terpadat di Indonesia ini menjadi rumah terbesar bagi bahasa Jawa.



Beberapa waktu lalu di kelas Project Work, salah satu mata kuliah pilihan di program studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, saya dan beberapa mahasiswa sempat resah ketika mencoba menuangkan kekhawatiran kami perihal penurunan penggunaan bahasa Jawa, khususnya Krama Inggil[1], ke dalam bentuk komik. Dalam komik yang kami beri judul “Manganesia” tersebut, kami sempat menyentil soal beberapa bahasa daerah di Indonesia yang terancam punah. Kepala Badan Bahasa Kemendikbud, Dadang Suhendar, dalam Republika.co.id, “19 Bahasa Daerah Terancam Punah”, mengatakan bahwa bahasa yang terancam punah tersebut berasal dari Maluku, Papua, Sulawesi, Sumatra, NTT, dan Gorontalo.


Berawal dari berita tidak sedap mengenai kepunahan bahasa, kami, tiga orang mahasiswa Sastra Jepang, memiliki ide untuk membuat sebuah komik yang bisa mengenalkan kebudayaan Indonesia, khususnya pada orang Jepang. Tentunya komik tersebut dibuat dalam bahasa Jepang agar informasi yang kami himpun dapat tersampaikan dengan baik. Selain keresahan akan kepunahan bahasa di daerah luar Jawa, kami juga merasakan adanya degradasi penuturan bahasa Jawa di kota kami masing-masing.


Di kota kelahiran saya, Malang, saya merasa penggunaan bahasa Jawa tidak lagi sekental seharusnya. Anak-anak menggunakan bahasa Ngoko ketika berbicara dengan orang tuanya. Bahkan, tak jarang saya temui anak-anak yang sama sekali tidak bisa menggunakan bahasa Jawa tingkat Ngoko sekalipun. Hal ini tentu menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan, mengingat anak-anak tersebut nantinya akan menjadi pengampu amanah untuk melestarikan bahasa Jawa. Namun, saya seolah ditampar dan dilempar kembali ke dasar pemikiran naif saya mengenai penggunaan bahasa Jawa yang kian hari kian surut.


Di Desa Bawang, Tempuran, Magelang, daerah tempat saya sedang melakukan kegiatan KKN (Kuliah Kerja Nyata), sebagai salah satu mata kuliah wajib UGM, bahasa Jawa masih terasa sangat kental. Bahkan, anak-anak kecil yang masih berumur di bawah lima tahun, sudah dibiasakan untuk berbicara menggunakan bahasa Jawa tingkat Krama Inggil. Hal ini tentu tak luput dari peranan baik orang tua dalam mendidik anak-anaknya.


Di desa ini, sebagian besar orang tua yang berumur di atas 40 tahun, sebagian besar justru masih kesulitan ketika kami mencoba berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Terpaksa, komunikasi kemudian kami—yang dibesarkan dalam balutan Ngoko atau bahasa Indonesia—lakukan dengan menggunakan Krama Inggil yang terbata-bata dan bercampur aduk dengan Ngoko dan bahasa Indonesia.


Dalam kesehariannya, orang tua di desa Bawang selalu membiasakan anak-anaknya untuk mengguanakan Krama Inggil. Orang tua yang seharusnya menggunakan Ngoko kepada anaknya, justru tetap menggunakan Krama Inggil sekalipun sedang berbicara dengan anaknya. Tentunya, ini adalah kabar yang sangat baik bagi saya yang beberapa waktu lalu terjangkit virus kekhawatiran terhadap kepunahan bahasa Jawa nantinya apabila para penduduk di Jawa sudah mulai menganaktirikan bahasa daerah ini. Tidak ada yang bisa menjamin bahasa Jawa tidak akan bernasib sama dengan bahasa-bahasa daerah di pulau lainnya yang telah punah.


Tidak hanya di lingkungan keluarga, anak-anak ternyata juga dibiasakan menggunakan Krama Inggil di sekolah. Di SD Bawang, satu-satunya SD yang ada di Desa Bawang dan merupakan sekolah sebagian besar anak-anak di desa, guru-guru juga terlihat berkomunikasi menggunakan Krama Inggil pada anak-anak. Satu lagi kabar bahagia yang saya temukan dalam perjalanan penuh pengalaman bertajuk KKN ini.


Saya pikir, desa merupakan tempat paling nyaman bagi “pertumbuhan” bahasa Jawa. Berbeda dengan kota, bahasa Jawa menetap lebih lama di rumah-rumah para penuturnya dan diwariskan dengan “lebih baik”. Saya sendiri sebagai anak yang dibesarkan dalam lingkup kota, merasa tidak bisa menggunakan Krama Inggil lebih baik ketimbang anak-anak di desa yang berumur lebih muda. Hal ini memang dapat dikatakan “bergantung pada kebiasaan”. Saya yang terbiasa Ngoko dan berbahasa Indonesia di lingkungan kota, tentu berbeda posisi dan situasi dengan anak-anak di desa yang memang dididik dengan mempertahankan Krama Inggil dalam penuturannya. Meskipun begitu, sepertinya tidaklah bijak apabila perkara ini selesai hanya karena perbedaan lingkungan.


Di kota pun, apabila para penuturnya memang memiliki kesadaran untuk terus memberikan tempat paling nyaman bagi bahasa Jawa agar terus bertahan, tidak ada cara yang tidak mungkin dilakukan. Salah satunya dengan “mewariskan” Krama Inggil kepada anak-anak seperti yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat desa. Selama budaya di desa-desa di seluruh Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur masih sekental ini, selama anak-anak masih terus dididik untuk melafalkan bahasa Jawa dengan tingkatan paling halus, saya rasa bahasa Jawa bisa “tidur” lebih  nyenyak dalam “momongan” orang-orang desa, setidaknya untuk saat ini dan beberapa dekade ke depan.





Daftar Pustaka:


Aminah, Andi Nur. 2018. “19 Bahasa Daerah Terancam Punah”. https://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/02/21/p4hio8384-19-bahasa-daerah-terancam-punah diakses pada 19 Juli 2018 pukul 21:25 WIB.


Republika. 2016. “Terpetakan! Jumlah Bahasa di Seluruh Dunia, Di mana Posisi Indonesia?”. Portalsatu.com/read/budaya/-5960 diakses pada 19 Juli 2018 pukul 21:28 WIB.



[1] Tingakatan dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki tiga jenis tingkatan bahasa, yaitu Ngoko, tingkatan bahasa paling rendah dan biasa digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang seumuran atau digunakan oleh orang dewasa kepada orang yang lebih muda, Krama Madya, sebagai tingkatan bahasa yang lebih halus dari Ngoko, dan Krama Inggil, tingkatan paling halus dalam bahasa Jawa. Krama Inggil biasa digunakan oleh orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua.

No comments:

Post a Comment

Postingan Terbaru

2+5=7

Bel, mungkin di hari ini tepat 25 tahun lalu, langit sedang cerah, hujan batal turun, dan awan enggan bergumul. Sebab, hari itu ada suara ta...

Postingan Populer