Saturday 19 May 2018

[Cerita Pendek] Pengagum Rahasia


            “Terima kasih.” Ia tersenyum untuk pertama kalinya padaku. Aku tercenung sesaat. Melewatkan sentuhan yang tak sempat bersapa karena ia langsung mengambil ID Card-nya dari tanganku, turun dari bus, dan melenggang hilang dari netra.

Aku berusaha memungut sisa-sisa bayangan, namun ia telah menghilang di balik pintu kantornya. Bus bergerak kembali, menanggalkan segala harapan untuk bisa lebih banyak mengecap wajahnya hanya dari mata.

***

Lagi. Aku menyandarkan punggung pada tiang halte. Menunggu bus dan dia, tentu saja. Aku lupa sejak kapan aku selalu menolak diantar jemput lagi oleh teman laki-lakiku. Padahal sudah jelas aku tak perlu berdesakan dan berdiri di dalam bus yang selalu bisa membuatku mual. Hanya karena dia, aku rela melakukan ini. Aku tak pernah menyadari bahwa aku sebegini bodoh.

“Bus Trans Jogja 3A! 3A!” Penjaga halte meneriakkannya dengan lantang. Ini adalah bus yang selalu ditumpanginya untuk pergi ke kantor. Aku sibuk mengais sosoknya dari kerumunan yang mulai berkumpul di depan pintu halte. Dia tidak ada.

Segera kuurungkan niat untuk beranjak dari tempat duduk. Membiarkan orang-orang berlalu-lalang, hingga akhirnya bus itu hilang dari pandangan. Selalu seperti ini, menunggunya dan berharap menaiki bus yang sama hingga aku cukup puas hanya dengan meneguknya dari jauh.

Bukannya aku pengangguran. Umurku masih sembilan belas tahun dan seorang mahasiswi sebuah universitas negeri di Jogjakarta. Sudah kukatakan, aku cukup bodoh untuk melakukan hal konyol ini. Aku tak bisa apa-apa karena cinta berhasil membuat kegilaan ini terjadi. Sebelumnya, aku tak pernah percaya pada cinta pandangan pertama, tapi kini kurasa. Hanya sekali bertemu dengannya ketika tak sengaja aku menjatuhkan dompet di sebuah minimarket dekat halte ini.

Aku yang saat itu masih diantar jemput teman laki-lakiku, tak menyadarinya. Bahkan aku sangat terkejut ketika ia melewatkan jam kantornya hanya untuk mencariku di dalam kampus dengan berbekalkan kartu mahasiswa di dalam dompet.

“Ini… milik Anda? Saya menemukannya di dekat minimarket dekat halte Sendowo, saya berusaha memanggil Anda, tapi sepertinya Anda tidak dengar.” Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Penampilannya sederhana, berkemeja biru dan celana kain hitam dengan dasi coklat terikat rapi di kerah. Tidak ada yang istimewa selain wajahnya yang memikat hatiku.

Aku tercengang bukan hanya karena ia menawan, tapi karena perilakunya berhasil membuat jantungku kebat-kebit.

Sejak saat itu, pada pertemuan itu. Aku jatuh cinta pada matanya yang selalu memancar tulus meski senyum tak tersungging di wajah. Dan aku mengagumi ketidakwarasannya. Mencari kesana-kemari hanya untuk mengembalikan dompet orang yang bahkan tak dikenalnya. Aku juga jatuh cinta pada ketidakwarasan itu, ketidakwarasan yang membuat kegilaan lain menyeruak dalam dada.

 Tidak masalah meski aku hanya menjadi pengagum rahasianya. Ah, aku tertawa geli menyebut diriku sendiri demikian.

Tepat beberapa saat sebelum bus selanjutnya datang, ia muncul. Aku berhasil menjaringnya lewat ekor mata. Dengan menenteng tas hitam, mengenakan kemeja putih, dasi dan celana hitam. Ah, debar jantungku tak terkontrol.

Aku berdiri, masih memandangnya. Kami bertukar pandang selama beberapa detik, kemudian saling mengalihkan pandangan.

“Anda… yang menjatuhkan dompet itu, kan?” Ia mengatakannya setelah kami berhasil masuk ke dalam bus.

Aku tersentak, Sama sekali tak menyangka ia akan mengajakku bicara. Aku gagu. Ingin kujawab pertanyaan itu, tapi tak mampu. Kemana hilangnya pita suara? Di saat-saat seperti ini mengapa segala huruf yang sembilan belas tahun terekam, mendadak menjadi hal yang langka di otakku?  Kami berpandangan sebentar, ia seperti menunggu jawabanku. Namun, aku malah  menyelami matanya yang berwarna teh. Terjebak dalam keheningan yang nyaman. Aku tak keberatan berlama-lama seperti ini. Apakah menjadi pengagum rahasia memang seindah ini bisa bersinggung pandang dengan sang pujaan meski di dalam bus yang pengap?

Akhirnya, tak ada kata yang berhasil keluar sampai ia turun dari bus. Sebelum turun, ia sempat melemparkan pandangan padaku lagi walau sesaat. Aku tak mampu menerjemahkan arti pandangan itu. Ia masuk ke dalam kantor yang bertuliskan “Saikou Design”.

Napasku memburu, seakan daritadi tertahan dalam paru-paru. Lutut mendadak terasa lemas. Aku mengumpat dalam hati, apakah barusan aku terlihat seperti orang bodoh di depannya? Kenapa tadi aku tak dapat menjawab pertanyaan sesederhana itu? Mengapa tak satupun kata tertangkap walaupun sesederhana kata ‘iya’? Aku mendengus. Padahal itu adalah kesempatan bagus untuk bisa mengenalnya.
***

            Sudah sekitar tiga bulan aku naik Bus Trans Jogja hanya untuk bisa berangkat bersamanya. Sekarang tak hanya melihat, aku telah mengetahui nama dan alamat rumahnya. Teman-temanku memang bisa diandalkan untuk urusan-urusan seperti ini. Namanya Bimo, terdengar sederhana memang, namun tak sesederhana tindakan-tindakannya. Rumahnya tak jauh dari halte ini, hanya berjarak seratus meter dari sini. Belum waktunya untukku sampai mengunjungi rumahnya seperti penguntit. Belum.

Ah, itu dia datang. Kali ini pasti, aku akan membayar kebodohanku beberapa waktu lalu yang mengabaikannya. Suasana halte terlihat sepi, entah sengaja memberiku kesempatan untuk bisa menikmati kebersamaan dengannya, atau pertanda bahwa Tuhan memberkati usahaku? Aku terkikik dalam hati.

Ia mengambil tempat duduk tak jauh dariku. Berjarak dua kursi. Seperti biasa, kemeja abu-abu, dasi putih, dan celana hitam. Oh, tidak. Kemeja itu terlihat pas sekali dengannya. Jantungku kembali berdebar seperti biasa acap kali ia berada di dekatku.

Em, maaf… perkenalkan saya Ara. Maafkan saya, beberapa waktu lalu Anda bertanya apakah saya yang menjatuhkan dompet waktu itu…” Aku mengulurkan tangan. “Senang bertemu Anda lagi.” Ia terlihat terkejut. Beberapa detik kemudian, ia menyambut uluran tanganku.

“Ah, iya. Saya Bimo.” Ia tersenyum untuk kedua kali. Kutahan diri sebisa mungkin untuk tidak berteriak kegirangan.

“Terima kasih waktu itu sudah mau menyempatkan waktu mengembalikan dompet saya.” Kugeser tempat duduk sedikit mendekat padanya, tanpa sengaja, ia juga melakukan hal yang sama. Kami sama-sama terkejut ketika badan kami hampir bersinggungan, aku menahan napas. Ia tidak jadi berpindah dan kembali ke kursinya, aku duduk bergeser karena telah telanjur. Kini kami hanya berjarak satu kursi.

“Tidak masalah, saya rasa banyak benda berharga di dalam dompet Anda dan saya pikir harus segera mengembalikannya. Apalagi Anda seorang mahasiswi,”

Aku tersenyum lega. Bisa berbincang-bincang dengannya seperti ini benar-benar membuatku senang. Tak peduli apa status kami, aku mahasiswa dan ia pekerja kantoran yang sekitar delapan tahun lebih tua dariku. Apapun itu, aku tak ingin memedulikannya. Hanya memandangnya dari jauh, melihatnya baik-baik saja setiap hari, bahkan sekarang bisa berbincang dengannya, apalagi yang bisa kuminta pada Tuhan? Ini yang terbaik dalam hidupku.

Kami kembali diselubungi kesunyian. Hatiku benar-benar gembira. Aku menyukainya. Benar-benar menyukai dengan segala kegilaan hubungan yang sebagian besar dibungkus dengan diam. Aku menikmatinya.
***

Aku tak bisa menahan langkah kaki untuk pergi ke rumahnya. Bukan untuk menjadi penguntit, tapi juga tak ada niatan bertamu. Hanya menatapnya. Ah, aku benar-benar gila. Kaki membawaku pada sebuah rumah bercat hijau dengan pekarangan rumput yang terawat. Menyejukkan pandangan. Tipe rumah seperti ini memang ideal untuk orang seperti Bimo.

Aku menahan napas ketika kulihat Bimo keluar dari pintu rumahnya. Buru-buru aku sembunyi di balik pohon tak jauh dari rumah itu. Cukup untuk memudahkanku melihatnya dengan jelas. Ia mengambil selang dan menyiramkan air ke tanaman di sekitar rumahnya. Ia masih terlihat menawan tanpa kemeja dan celana kain. Ia hanya mengenakan polo berwarna hijau dan celana putih selutut.

Bimo menoleh, seperti ada seseorang yang memanggilnya. Aku mengerutkan kening, orangtuanya? Seorang wanita keluar dari dalam rumah. Perempuan cantik dengan rambut bergelombang tergerai hingga punggung. Aku tercekat. Bimo mematikan arus air selang, seakan buru-buru menuju wanita yang terlihat ramah itu. Ia mencium perut wanita itu yang terlihat membuncit. Ia hamil.

Aku seperti bisa mendengar bunyi pecahan dan serpihan yang datang dari hati. Itu istrinya?

Aku masih berdiri mematung di balik pohon. Menyaksikan kemesraan Bimo dan istrinya. Bodohnya aku, mencintai lelaki yang telah berkeluarga, malah istrinya tengah mengandung. Tanpa sadar, air mataku menetes. Pelan, tapi terasa sangat sakit di dalam hati. Padahal, mataku yang menangis, mengapa tetesannya seakan sampai ke lubuk hati?

Seharusnya aku memastikan dulu sebelum jatuh cinta padanya. Ah, bagaimana mungkin aku memastikan segalanya jika aku mencintainya bahkan pada pandangan pertama? Di kali pertama aku bertemu dengannya? Di kali pertama aku berbicara dengannya? Dan aku bersikeras baik-baik saja menjadi pengagum rahasianya meski tak kusesali keputusanku untuk diam.

Tiga bulan yang indah mendadak terasa menyakitkan. Segala kekonyolanku tentangnya sirna sudah. Hatiku… mengapa terasa sesakit ini?

Bimo dan istrinya melangkah masuk ke dalam rumah. Sekali lagi, aku hanya mempu menatap punggungnya yang baru kusadari selalu kunikmati dalam netra.  Tanpa sadar, selama ini aku selalu puas hanya dengan memandang punggung itu, tanpa pernah berpikir bahwa menatap punggungnya berarti ia tak memandangku. Tak menyadari kehadiranku.

Setelah beberapa menit aku berdiri seperti orang dungu, kuputuskan beranjak pergi. Tak mungkin aku merusak rumah tangga seindah itu hanya demi cinta konyol meski bukan salahku jika aku mencintainya. Tuhan yang menuntunnya padaku. Masih, cintaku tak berarti memilikinya. Biar kurengkuh ia dalam doa dan berdiri di depannya lagi meski hanya sebagai pengagum rahasia.***
Jogjakarta, 11 Februari 2016

Uwaaa! Malunya! Haha. Sudah pernah kubilang kan kalau cerpen-cerpenku dulu sering banget bergenre romance yang menye-menye. Akhir-akhir ini sih tidak ya, aku lebih suka menulis opini. Mungkin karena kadar intelektualku bertambah ..... 1/1000 hehe.
Ya, di universitas aku mendapatkan banyak pengetahuan baru, teman baru, pemikiran dan sudut pandang baru, dan semua yang serba baru. Aku jadi sadar, cerita tidak melulu yang romance-romance! genre lain juga tak kalah seru!
Karena aku suka sekali dengan cerita detektif dan misteri, aku akhirnya lebih sering menulis cerita bergenre itu di wattpad. Yah, walaupun mogok juga sih karena males nulis. hehe. kebiasaan buruk. Bagi kalian yang ingin membaca ceritaku di wattpad boleh banget ya mampir ke @lampuajaib.
Kok namanya aneh? Gatau lah sesuai mood aja penamaannya. wkwk. 

No comments:

Post a Comment

Postingan Terbaru

2+5=7

Bel, mungkin di hari ini tepat 25 tahun lalu, langit sedang cerah, hujan batal turun, dan awan enggan bergumul. Sebab, hari itu ada suara ta...

Postingan Populer