“Terima
kasih.” Ia tersenyum untuk pertama kalinya padaku. Aku tercenung sesaat.
Melewatkan sentuhan yang tak sempat bersapa karena ia langsung mengambil ID Card-nya dari tanganku, turun dari
bus, dan melenggang hilang dari netra.
Aku berusaha memungut sisa-sisa bayangan, namun ia telah
menghilang di balik pintu kantornya. Bus bergerak kembali, menanggalkan segala
harapan untuk bisa lebih banyak mengecap wajahnya hanya dari mata.
***
Lagi. Aku menyandarkan punggung pada tiang halte. Menunggu
bus dan dia, tentu saja. Aku lupa sejak kapan aku selalu menolak diantar jemput
lagi oleh teman laki-lakiku. Padahal sudah jelas aku tak perlu berdesakan dan
berdiri di dalam bus yang selalu bisa membuatku mual. Hanya karena dia, aku rela
melakukan ini. Aku tak pernah menyadari bahwa aku sebegini bodoh.
“Bus Trans Jogja 3A! 3A!” Penjaga halte meneriakkannya
dengan lantang. Ini adalah bus yang selalu ditumpanginya untuk pergi ke kantor.
Aku sibuk mengais sosoknya dari kerumunan yang mulai berkumpul di depan pintu
halte. Dia tidak ada.
Segera kuurungkan niat untuk beranjak dari tempat duduk.
Membiarkan orang-orang berlalu-lalang, hingga akhirnya bus itu hilang dari
pandangan. Selalu seperti ini, menunggunya dan berharap menaiki bus yang sama hingga
aku cukup puas hanya dengan meneguknya dari jauh.
Bukannya aku pengangguran. Umurku masih sembilan belas
tahun dan seorang mahasiswi sebuah universitas negeri di Jogjakarta. Sudah
kukatakan, aku cukup bodoh untuk melakukan hal konyol ini. Aku tak bisa apa-apa
karena cinta berhasil membuat kegilaan ini terjadi. Sebelumnya, aku tak pernah
percaya pada cinta pandangan pertama, tapi kini kurasa. Hanya sekali bertemu
dengannya ketika tak sengaja aku menjatuhkan dompet di sebuah minimarket dekat
halte ini.
Aku yang saat itu masih diantar jemput teman laki-lakiku,
tak menyadarinya. Bahkan aku sangat terkejut ketika ia melewatkan jam kantornya
hanya untuk mencariku di dalam kampus dengan berbekalkan kartu mahasiswa di
dalam dompet.
“Ini…
milik Anda? Saya menemukannya di dekat minimarket dekat halte Sendowo, saya
berusaha memanggil Anda, tapi sepertinya Anda tidak dengar.” Ia menggaruk
kepalanya yang tidak gatal. Penampilannya sederhana, berkemeja biru dan celana
kain hitam dengan dasi coklat terikat rapi di kerah. Tidak ada yang istimewa
selain wajahnya yang memikat hatiku.
Aku tercengang bukan hanya karena ia menawan, tapi karena
perilakunya berhasil membuat jantungku kebat-kebit.
Sejak saat itu, pada pertemuan itu. Aku jatuh cinta pada
matanya yang selalu memancar tulus meski senyum tak tersungging di wajah. Dan
aku mengagumi ketidakwarasannya. Mencari kesana-kemari hanya untuk
mengembalikan dompet orang yang bahkan tak dikenalnya. Aku juga jatuh cinta
pada ketidakwarasan itu, ketidakwarasan yang membuat kegilaan lain menyeruak
dalam dada.
Tidak masalah
meski aku hanya menjadi pengagum rahasianya. Ah, aku tertawa geli menyebut
diriku sendiri demikian.
Tepat beberapa saat sebelum bus selanjutnya datang, ia
muncul. Aku berhasil menjaringnya lewat ekor mata. Dengan menenteng tas hitam,
mengenakan kemeja putih, dasi dan celana hitam. Ah, debar jantungku tak
terkontrol.
Aku berdiri, masih memandangnya. Kami bertukar pandang
selama beberapa detik, kemudian saling mengalihkan pandangan.
“Anda… yang menjatuhkan dompet itu, kan?” Ia
mengatakannya setelah kami berhasil masuk ke dalam bus.
Aku tersentak, Sama sekali tak menyangka ia akan
mengajakku bicara. Aku gagu. Ingin kujawab pertanyaan itu, tapi tak mampu.
Kemana hilangnya pita suara? Di saat-saat seperti ini mengapa segala huruf yang
sembilan belas tahun terekam, mendadak menjadi hal yang langka di otakku? Kami berpandangan sebentar, ia seperti
menunggu jawabanku. Namun, aku malah
menyelami matanya yang berwarna teh. Terjebak dalam keheningan yang
nyaman. Aku tak keberatan berlama-lama seperti ini. Apakah menjadi pengagum
rahasia memang seindah ini bisa bersinggung pandang dengan sang pujaan meski di
dalam bus yang pengap?
Akhirnya, tak ada kata yang berhasil keluar sampai ia
turun dari bus. Sebelum turun, ia sempat melemparkan pandangan padaku lagi
walau sesaat. Aku tak mampu menerjemahkan arti pandangan itu. Ia masuk ke dalam
kantor yang bertuliskan “Saikou Design”.
Napasku memburu, seakan daritadi tertahan dalam
paru-paru. Lutut mendadak terasa lemas. Aku mengumpat dalam hati, apakah
barusan aku terlihat seperti orang bodoh di depannya? Kenapa tadi aku tak dapat
menjawab pertanyaan sesederhana itu? Mengapa tak satupun kata tertangkap
walaupun sesederhana kata ‘iya’? Aku mendengus. Padahal itu adalah kesempatan
bagus untuk bisa mengenalnya.
***
Sudah
sekitar tiga bulan aku naik Bus Trans Jogja hanya untuk bisa berangkat
bersamanya. Sekarang tak hanya melihat, aku telah mengetahui nama dan alamat
rumahnya. Teman-temanku memang bisa diandalkan untuk urusan-urusan seperti ini.
Namanya Bimo, terdengar sederhana memang, namun tak sesederhana
tindakan-tindakannya. Rumahnya tak jauh dari halte ini, hanya berjarak seratus
meter dari sini. Belum waktunya untukku sampai mengunjungi rumahnya seperti
penguntit. Belum.
Ah, itu dia datang. Kali ini pasti, aku akan membayar
kebodohanku beberapa waktu lalu yang mengabaikannya. Suasana halte terlihat
sepi, entah sengaja memberiku kesempatan untuk bisa menikmati kebersamaan dengannya,
atau pertanda bahwa Tuhan memberkati usahaku? Aku terkikik dalam hati.
Ia mengambil tempat duduk tak jauh dariku. Berjarak dua
kursi. Seperti biasa, kemeja abu-abu, dasi putih, dan celana hitam. Oh, tidak.
Kemeja itu terlihat pas sekali dengannya. Jantungku kembali berdebar seperti
biasa acap kali ia berada di dekatku.
“Em, maaf…
perkenalkan saya Ara. Maafkan saya, beberapa waktu lalu Anda bertanya apakah
saya yang menjatuhkan dompet waktu itu…” Aku mengulurkan tangan. “Senang
bertemu Anda lagi.” Ia terlihat terkejut. Beberapa detik kemudian, ia menyambut
uluran tanganku.
“Ah, iya. Saya Bimo.” Ia tersenyum untuk kedua kali. Kutahan
diri sebisa mungkin untuk tidak berteriak kegirangan.
“Terima kasih waktu itu sudah mau menyempatkan waktu
mengembalikan dompet saya.” Kugeser tempat duduk sedikit mendekat padanya,
tanpa sengaja, ia juga melakukan hal yang sama. Kami sama-sama terkejut ketika
badan kami hampir bersinggungan, aku menahan napas. Ia tidak jadi berpindah dan
kembali ke kursinya, aku duduk bergeser karena telah telanjur. Kini kami hanya
berjarak satu kursi.
“Tidak masalah, saya rasa banyak benda berharga di dalam dompet
Anda dan saya pikir harus segera mengembalikannya. Apalagi Anda seorang
mahasiswi,”
Aku tersenyum lega. Bisa berbincang-bincang dengannya
seperti ini benar-benar membuatku senang. Tak peduli apa status kami, aku
mahasiswa dan ia pekerja kantoran yang sekitar delapan tahun lebih tua dariku.
Apapun itu, aku tak ingin memedulikannya. Hanya memandangnya dari jauh,
melihatnya baik-baik saja setiap hari, bahkan sekarang bisa berbincang
dengannya, apalagi yang bisa kuminta pada Tuhan? Ini yang terbaik dalam hidupku.
Kami kembali diselubungi kesunyian. Hatiku benar-benar
gembira. Aku menyukainya. Benar-benar menyukai dengan segala kegilaan hubungan
yang sebagian besar dibungkus dengan diam. Aku menikmatinya.
***
Aku tak bisa menahan langkah kaki untuk pergi ke rumahnya.
Bukan untuk menjadi penguntit, tapi juga tak ada niatan bertamu. Hanya
menatapnya. Ah, aku benar-benar gila. Kaki membawaku pada sebuah rumah bercat
hijau dengan pekarangan rumput yang terawat. Menyejukkan pandangan. Tipe rumah
seperti ini memang ideal untuk orang seperti Bimo.
Aku menahan napas ketika kulihat Bimo keluar dari pintu
rumahnya. Buru-buru aku sembunyi di balik pohon tak jauh dari rumah itu. Cukup
untuk memudahkanku melihatnya dengan jelas. Ia mengambil selang dan menyiramkan
air ke tanaman di sekitar rumahnya. Ia masih terlihat menawan tanpa kemeja dan
celana kain. Ia hanya mengenakan polo berwarna hijau dan celana putih selutut.
Bimo menoleh, seperti ada seseorang yang memanggilnya.
Aku mengerutkan kening, orangtuanya? Seorang wanita keluar dari dalam rumah.
Perempuan cantik dengan rambut bergelombang tergerai hingga punggung. Aku
tercekat. Bimo mematikan arus air selang, seakan buru-buru menuju wanita yang
terlihat ramah itu. Ia mencium perut wanita itu yang terlihat membuncit. Ia hamil.
Aku seperti bisa mendengar bunyi pecahan dan serpihan
yang datang dari hati. Itu istrinya?
Aku masih berdiri mematung di balik pohon. Menyaksikan
kemesraan Bimo dan istrinya. Bodohnya aku, mencintai lelaki yang telah
berkeluarga, malah istrinya tengah mengandung. Tanpa sadar, air mataku menetes.
Pelan, tapi terasa sangat sakit di dalam hati. Padahal, mataku yang menangis,
mengapa tetesannya seakan sampai ke lubuk hati?
Seharusnya aku memastikan dulu sebelum jatuh cinta
padanya. Ah, bagaimana mungkin aku memastikan segalanya jika aku mencintainya
bahkan pada pandangan pertama? Di kali pertama aku bertemu dengannya? Di kali
pertama aku berbicara dengannya? Dan aku bersikeras baik-baik saja menjadi
pengagum rahasianya meski tak kusesali keputusanku untuk diam.
Tiga bulan yang indah mendadak terasa menyakitkan. Segala
kekonyolanku tentangnya sirna sudah. Hatiku… mengapa terasa sesakit ini?
Bimo dan istrinya melangkah masuk ke dalam rumah. Sekali
lagi, aku hanya mempu menatap punggungnya yang baru kusadari selalu kunikmati
dalam netra. Tanpa sadar, selama ini aku
selalu puas hanya dengan memandang punggung itu, tanpa pernah berpikir bahwa
menatap punggungnya berarti ia tak memandangku. Tak menyadari kehadiranku.
Setelah
beberapa menit aku berdiri seperti orang dungu, kuputuskan beranjak pergi. Tak
mungkin aku merusak rumah tangga seindah itu hanya demi cinta konyol meski bukan
salahku jika aku mencintainya. Tuhan yang menuntunnya padaku. Masih, cintaku
tak berarti memilikinya. Biar kurengkuh ia dalam doa dan berdiri di depannya
lagi meski hanya sebagai pengagum rahasia.***
Jogjakarta,
11 Februari 2016
Uwaaa! Malunya! Haha. Sudah pernah kubilang kan kalau cerpen-cerpenku dulu sering banget bergenre romance yang menye-menye. Akhir-akhir ini sih tidak ya, aku lebih suka menulis opini. Mungkin karena kadar intelektualku bertambah ..... 1/1000 hehe.
Ya, di universitas aku mendapatkan banyak pengetahuan baru, teman baru, pemikiran dan sudut pandang baru, dan semua yang serba baru. Aku jadi sadar, cerita tidak melulu yang romance-romance! genre lain juga tak kalah seru!
Karena aku suka sekali dengan cerita detektif dan misteri, aku akhirnya lebih sering menulis cerita bergenre itu di wattpad. Yah, walaupun mogok juga sih karena males nulis. hehe. kebiasaan buruk. Bagi kalian yang ingin membaca ceritaku di wattpad boleh banget ya mampir ke @lampuajaib.
Kok namanya aneh? Gatau lah sesuai mood aja penamaannya. wkwk.
No comments:
Post a Comment