Saturday 19 May 2018
[Prosa Pendek] Berharap
[Puisi] Kepadamu (Lagi)
Ratna Juwita
Sejujur hujan yang menetes di pelataran pipi
Dan padamu, rinduku jatuh lagi
dengan suara hempasan paling lebam
Karena tiap kutilik bayang, yang kutemu hanya ketiadaanmu
[Puisi] Aroma Kematian dalam Hujan
Aku hidup dengan harapan bisa merengkuh hujan
Satu per satu menikmati bulirnya dalam pengasingan
Orang bilang, reminisensi menggedor pulang
di tiap-tiap butir bening yang turun menggelinjang
[Puisi] Rasa yang Haram
Ratna Juwita
Parasmu maih begitu tempias
Dalam kenangan menggenang bias
Sepertinya telah usai batin
berseteru peluh
Dengan segala harap pun gairah
memburu rengkuh
[Cerita Pendek] Permainan Dunia Maya
Pada
satu kepercayaan yang kudapat entah darimana, aku duduk. Setengah gelisah.
Memutar otak sekeras mungkin untuk membuat banyak rencana. Setelah aku bertemu
dengannya, apa yang harus kukatakan? Topik apa yang pas untuk memulai
percakapan antara aku dan dia? Kemana kami harus pergi setelah ini? Kebun
Binatang? Ah, itu mungkin terlalu norak mengingat hewan-hewan di sana sama
sekali tidak senang ditonton. Entah perlakuan seperti apa yang mereka terima
dari petugas kebun binatang. Duh, mengapa aku jadi memikirkan hal ini?
Pantai?
Aku rasa itu tempat paling romantis yang bisa terpikirkan oleh sepasang
kekasih. Eh? Kekasih? Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Aku tidak percaya
mengatakan hal sejenis “sepasang kekasih” dengan orang yang bahkan belum pernah
kutemui sebelumnya. Meskipun begitu, dia telah setuju untuk menjalin hubungan
denganku, jika kini aku menganggapnya adalah kekasihku boleh kan?
[Cerita Pendek] Tiga Permintaan
Aku
bersikukuh, berputar-putar di dalam Pasar Loak. Pengab tak kuhiraukan, sedang
keringat terus bercucuran membasahi pakaian. Mataku tajam melirik
kesana-kemari, bertanya pada semua penjual yang kutemui. Kebanyakan dari mereka
yang mendengar barang yang kucari, mengerutkan kening, sebagian lainnya tak
menggubris. Aneh memang. Barang yang kucari bukan barang yang umum, tapi juga
tidak langka. Meski begitu, sulit sekali menemukannya.
“Maaf,
Pak? Ada teko yang berbentuk seperti ini?” Aku mengangangkat kertas lecek dan
kotor yang seharian ini berada di genggaman. Menemaniku menjelajahi pasar-pasar
di kota ini.
[Cerita Pendek] Tak Bersyarat
Baru
kali ini aku merasa menunggunya membuat dadaku terasa sesak, paru-paru
tersumbat, dan dimanapun aku berpijak dunia seakan sepi dari oksigen. Kepalaku
pusing, bahkan hanya membayangkan mengatakan hal itu padanya. Aku ingin lari,
membawanya pergi, tapi kutahu aku tak mampu.
Kuhempaskan
diri di atas ayunan, mengayun gelisah. Dua ayunan ini yang selalu mewarnai
candaku dan tawanya. Kira, gadis bermata arang, aku mencintainya. Aku lupa
sejak kapan kami saling memendam cinta, yang kusadari aku sudah jatuh cinta
padanya. Aku tak ingin mengungkit bagaimana aku bisa mencintainya, aku hanya
ingin katakan aku sangat mencintainya.
[Cerita Pendek] Tokyo Magnitude
Jepang, 11 Maret 2011
Aku mengumpat adikku dalam hati. Mendengus kesal. Ia benar-benar menyebalkan, selalu meminta mengantarnya ke sana ke mari, padahal ia tahu ibu dan ayah yang sibuk bekerja takkan pernah mungkin bisa mengantarkannya, pada akhirnya selalu aku. Aku berdiri di tepian sungai Sumida, mengetik semua emosi yang bertikai dalam batin, ke dalam handphone.
“Kemana Yuki?” Aku
menggeram, menghentakkan kaki. Lama sekali ia masuk ke Akasaka, pusat
perbelanjaan di Kota Tokyo, untuk membeli sebuah kado ulang tahun ibu. Selama
lima belas tahun hidupku, tak terbesit sedikit pun memberi ibu sebuah kado.
[Cerita Pendek] Reinkarnasi
Reinkarnasi?
Bisakah sebuah cerita dongeng seperti reinkarnasi dipercaya? Bahwa setiap orang
akan dilahirkan kembali dalam wujud yang berbeda setelah kematiannya? Bisakah?
“Radit,…
jika, hanya jika… kau dihidupkan kembali, kau ingin menjadi seperti apa?” Erza
menatapku dengan mata berbinar, seulas senyum berebut memenuhi bibirnya. Deg.
Senyum yang biasanya selalu berhasil memorak-porandakan perasaanku itu,
mendadak membuat kalut.
“Maksudmu?”
Kulemparkan kembali sebuah tanya. Ia tergelak, entah karena ekspresiku yang
mungkin terlihat bodoh atau justru memakiku dalam tawa.
[Cerita Pendek] Doa Terakhir Seekor Capung
“Delapan bulan,” kata Rina suatu hari di depan rumah. Ia
mengelus perutnya yang sudah membuncit. Aku tersenyum, bersyukur sampai saat
ini dia baik-baik saja.
Dalam setiap getaran, aku berdzikir pada-Nya untuk Rina.
Tak menggubris panjang waktu yang kulalui untuk mendoakannya. Aku merasa
berhutang budi pada wanita manis berkerudung itu, hutang seumur hidup. Hutang
yang bagaimanapun juga harus kutangkup dengan umur yang tak panjang. Berdoa
dalam setiap getar, meninggalkan lelap, merinci tasbih pada-Nya, dan
menyelipkan nama Rina. Tak pernah luput.
[Cerita Pendek] Pengagum Rahasia
“Terima
kasih.” Ia tersenyum untuk pertama kalinya padaku. Aku tercenung sesaat.
Melewatkan sentuhan yang tak sempat bersapa karena ia langsung mengambil ID Card-nya dari tanganku, turun dari
bus, dan melenggang hilang dari netra.
Aku berusaha memungut sisa-sisa bayangan, namun ia telah
menghilang di balik pintu kantornya. Bus bergerak kembali, menanggalkan segala
harapan untuk bisa lebih banyak mengecap wajahnya hanya dari mata.
[Cerita Pendek] Bias Cahaya Phoenix
Srak!
Aku tertegun. Baru saja aku melihat sesuatu melintas
dengan cepat dari pantulan kaca. Sinar matahari berhasil membiaskan pandangan,
tak mengizinkanku menelaahnya baik-baik.
Kucoba mengais sisa-sisa pergerakannya, tapi nihil.
Burung? Aku menyangsikannya. Benda itu jauh lebih besar dari seekor burung. Aku
mencoba menyerah terhadap segala dugaan, tapi netra tak bisa lepas dari posisi
lenyapnya. Ketika tersadar, kutemukan diri mematung di depan sebuah ruangan di
ujung lorong, ruangan terakhir untuk menemukan ‘burung’ itu.
“Murid pindahan?”
[Cerita Pendek] Bagian dari Keajaiban
Aku tenggelam dalam sebuah lukisan yang menakjubkan
bagiku. Sebuah lukisan sederhana yang hanya terdiri dari tiga warna: biru,
hitam, dan putih.
Ada suatu perasaan yang tak dapat kuabaikan. Lukisan itu
menggambarkan seorang penyelam yang berada di dalam lingkaran ikan-ikan yang
berenang mengelilinginya. Sudut pandang lukisannya di ambil dari bawah, hanya
menyisakan siluet ikan-ikan, penyelam, serta seberkas cahaya matahari. Aku
merasa seperti benar-benar berada di bawah mereka, menyaksikannya dalam
keluguan antara keinginan menerobos kerumunan ikan atau menggapai cahaya surya.
Seolah dalam keterbatasan pandangan itu, aku masih ingin melihat lebih banyak.
[Cerita Pendek] Angkasa di Telaga Sarangan
Biar
kugeluti naskah-naskah rindu
Rindu
yang buntu
“Rindu yang buntu?”
Bahu
Canisa terangkat, kaget. Cepat-cepat ditutupnya buku catatan kecil yang selalu
dibawa kemanapun ia menjejakkan langkah. Canisa melirik Adit sekilas. Adit
tergelak, ia tahu Canisa paling tidak suka jika buku catatannya dibaca oleh
siapapun, apalagi dirinya yang baru mengenal Canisa tiga bulan belakangan.
Adit
mengulurkan satu botol minuman dingin pada Canisa yang sedang duduk menikmati Telaga
Sarangan. Sengaja ia menyerahkannya dalam posisi berdiri, iseng agar Canisa
mendongak ke atas—ke arahnya—meskipun ia sendiri tahu Canisa takkan pernah
mendongak. Canisa berdiri setelah sebelumnya mengembuskan napas kesal atas
keisengan Adit.
[Cerita Pendek] Handphone dari Masa Depan
Aku tertegun. Menatap
lekat benda yang kini singgah dalam genggaman. Sebuah telepon genggam. Bukan,
ini bukan zaman purba yang asing pada handphone,
atau daerah tak mengenal teknologi seperti Suku Baduy. Saat ini, tepat
mengoleskan angka tahun 2020, teknologi bukan lagi hal yang asing, tapi handphone yang lebarnya pas digenggam
remaja berusia 16 tahun sepertiku ini bahkan baru direncanakan untuk dibuat.
Aku mengedarkan pandang.
Hanya ada laut, lain tidak. Suara debur ombak yang menghantam karang sibuk
menyusup ke telinga. Aku terperanjat ketika handphone
itu berbunyi, gelagapan kutatap layar handphone.
[Cerita Pendek] Kertas-Kertas Daffodil
“Till death do us part,” gadis itu mengatakannya dengan fasih,
seakan ia telah mengucapkannya setiap hari. “Ibu yang memberitahuku setiap
waktu.” Lanjutnya. Aku tertegun menatap mata teh itu, ada kemarahan dan
keputusasaan yang menelurkan butir bening dari sana.
“Siapa namamu?” hanya itu
yang sempat melewati tenggorokanku. Terucap tanpa permisi, bingung tanggapi
tangisnya.
[Cerita Pendek] Selekas Gerimis Setiba Hujan
“Minggir, Anak cacat! Kursi rodamu
menghalangi jalan!”
Aku terkesiap. Bukan karena ia menyeruku
dengan panggilan ‘anak cacat’, tapi karena rintik gerimis sempat membawa
bayangku mengawang. Kutepikan kursi rodaku sedikit, tak acuh ketika gerimis
hujan menyemai basah pada seragam putih abu-abuku. Arya melengos begitu mata
kami sempat bertautan, ia melangkah cepat diikuti dua sahabat kental yang
selalu mengikutinya kemana saja.
[Cerita Pendek] Jalan Surgaku
“Siapa
namamu?” Akhirnya aku berhasil mengatakan satu kalimat itu padanya, setelah
sekian lama kupendam dan menyiksaku dengan terus berkutat dalam benak. Satu
kalimat tanya, sederhana sebenarnya, tapi begitu mengusik bermalam-malam sejak
kami menjadi Regu Perwira dari kampus untuk membagikan zakat dan makanan sahur
ke pelosok kota.
Aku
menanti dengan dungu, ia tak juga membalas pertanyaanku. Ia terus sibuk mendata
beberapa zakat untuk disalurkan ke desa selanjutnya. Lalu lalang orang di
sekeliling semakin membuatku terlihat bodoh karena berdiri di tengah jalan. Hening.
Tetap tak ada jawaban.
Friday 18 May 2018
[Cerita Pendek Bahasa Jepang] (日本語で) - 悲しみをやさしさに
ラトナ・ジュウィタ
「あなたが若い女の人と不倫していることを知っている!あなたを信じていたなんて私のバカ!」
彼女は叫んで、周りにあるものを彼に投げた。
「ちょっと待ってよ!僕が悪かった、ごめん!」
彼は飛んできたいろいろなものを避けようとした。
「嘘ばかり付いてる!もう、信じたくない!別れたほうがいい!」
Subscribe to:
Posts (Atom)
Postingan Terbaru
2+5=7
Bel, mungkin di hari ini tepat 25 tahun lalu, langit sedang cerah, hujan batal turun, dan awan enggan bergumul. Sebab, hari itu ada suara ta...
Postingan Populer
-
Aku masih berada dalam historia karena memenangkan giveaway yang diadakan oleh akun Instagram @bukune, platform komik digital @ciayoc...
-
Pernahkah kalian mendengar soal salah satu cara meredakan kemarahan yaitu dengan menatap bunga selama 10 detik? Kalau kalian mara...
-
[Pemandangan di Desa Bawang, Tempuran, Magelang] Foto: Roy Marthen Bukankah rerumpun rindu telah tumbuh terlalu lebat malam ini dan ...
-
Aku pernah cerita nggak sih kalau Surabaya itu tempat yang asing banget buat aku walaupun deket sama Malang? Padahal jaraknya cuma satu se...
-
Halo, Fauna … eh … Fayna ☹ Duh, that was our first introduction but I ruined it with the typo! Masih ingat nggak...
-
Pada awal Desember 2018 lalu, aku menginap di Hotel Le Meridien. Hotel ini terl...
-
“ Till death do us part ,” gadis itu mengatakannya dengan fasih, seakan ia telah mengucapkannya setiap hari. “Ibu yang memberitahuku ...