Bukankah rerumpun rindu
telah tumbuh terlalu lebat malam ini dan malam-malam sebelum penantian?
Bukankah ilalang waktu
sudah memasung begitu tinggi di pekarangan kenangan?
Rindu masih menjadi hal
yang tak pernah tertinggal dan tak pernah mau ketinggalan menyertai setiap
langkah. Ketika hari-hari menjelang KKN merangkak semakin dekat dan sangat
merisaukan, hanya kepasrahan demi memenuhi mata kuliah wajib sebagai syarat
kelulusanlah yang senantiasa berhasil menenangkan diri. Hanya seminggu usai
merayakan hari Idul Fitri, kaki melangkah ke tempat plotting KKN dengan berat. Agaknya, konsep mengabdikan diri pada
masyarakat belumlah tertanam terlalu dalam di hati sebagian besar kami.
Ah, membayangkan diri
yang separuh asosial ini melebur bersama mahasiswa-mahasiswi se-kampus yang
bahkan belum pernah ditemui, sangatlah menjengkelkan. Mengimajinasikan program
kerja yang bisa dilakukan di desa, bersosialisasi dengan banyak warga demi
sebuah “citra baik kampus” pun menjadi beban tambahan di hari keberangkatan.
Namun, rupanya pepatah memang selalu benar; kita tidak akan pernah tahu sebelum
mencoba.
Aku tak pernah ingin
lupa. Hari pertama, mungkin adalah duka. Hari kedua, mungkin adalah luka. Hari
ketiga, mungkin adalah lelah. Hari keempat, mungkin adalah jengah. Hari kelima,
mungkin adalah pasrah. Hari keenam, mungkin adalah tabah. Hari ketujuh, mungkin
adalah kita. Kita, orang-orang yang baru dipertemukan di kelompok unit yang
asing. Kita, mahasiswa-mahasiswi yang masih berusaha sekuat tenaga menunjukkan
seberapa bermanfaatnya ilmu ini untuk rakyat bangsa sendiri. Waktu berlalu
tanpa peduli rasa, datang tanpa pernah menunda, serta tawa tak juga bisa
terlewat begitu saja.
Seringkali kami berujung
pada kegelisahan: mau diapakan desa ini? Apa yang bisa kami perbuat untuk desa
ini? Apakah kami akan benar-benar bisa sedikit saja membantu pembangunan desa? Apakah
kami bisa? Jawabannya, baru dapat kami temukan beberapa hari kemudian. Ya, kami
bisa!
Kami memang berjalan
bukan dengan keyakinan, melainkan keraguan yang terus beranak pinak. Ya, kami
takut, kami malu ketika tutur bahasa kami belum bisa sebaik yang kami atau
penduduk desa harapkan. Ya, kami takut, kami malu ketika perilaku kami ada yang
tidak berkenan di hati para penduduk desa. Mungkin, harapan mereka begitu besar
akan kedatangan kami. Mungkin, harapan mereka tumbuh terlalu tinggi untuk kami
karena beberapa belas tahun yang lalu, mahasiswa yang memakai almamater sama
dengan kami, berhasil menemukan dan membangun sumber air untuk warga. Betapa
hebatnya!
Beban apa yang tengah
kami bawa saat ini? Berharap kesuksesan kami bisa mnegikuti jejak para pendahulu
yang telah “menyelamatkan” Desa Bawang, Kecamatan Tempuran, Magelang ini dengan
jerih payah dan perjuangan. Bisa apa kami? Jangan-jangan kami malah merusak
citra baik yang selama ini sudah mendiami benak sebagian besar penduduk desa
dengan kedatangan kami? Jangan-jangan …
Apa yang kami harapkan?
Ya, tentu kami berharap kami bisa melakukan lebih! Kami berharap, kami mampu
memberikan yang terbaik, mengusahakan yang sebenar-benarnya perjuangan, tapi
mungkin kenyataan tidak seindah pemikiran naif kami.
Penduduk desa selalu
mengeluhkan kurangnya ketersediaan air bersih, mengeluhkan pula tanaman-tanaman
yang seringkali tidak laku dipasaran, dan sebagainya. Kami carikan bersama
solusinya. Kami buatkan prototype “Penangkap
Embun” di Dusun Bulusari agar nantinya apabila alat tersebut telah berhasil,
selanjutnya warga dapat membuat benda serupa untuk membantu mengatasi kesulitan
air di Desa Bawang.
Kami bantu mengelola pos
kamling Dusun Pujan yang terbengkalai dengan memperbaiki, membersihkan,
mengecat ulang, serta menambahkan rak buku beserta isinya agar anak-anak Desa
Bawang memiliki minat dan ketertarikan lebih terhadap ilmu, sehingga memiliki
kemauan untuk melanjutkan studi. Yang warga desa keluhkan, kebanyakan warga
mereka belum sepenuhnya sadar akan pentingnya pendidikan. Semoga taman baca
hasil “menyulap” pos kamling terbengkalai tersebut bisa bermanfaat bagi warga
desa terkait keluhannya selama ini.
Kami undang pula
pembicara untuk seminar keilmuan bertajuk “Pengelolaan Limbah Sampah serta Cara
Memanfaatkannya untuk Mendulang Rupiah” oleh Dinas Lingkungan Hidup Magelang.
Tidak lupa juga kami berikan arahan pada warga desa terkait cara pemasaran
hasil olahan produk yang dihasilkan di tanah Desa Bawang agar nantinya warga
dapat memanfaatkan teknologi demi mengais pundi-pundi rupiah.
Tiga program tersebut
merupakan contoh dari pengusahaan kami, KKN-PPM UGM 2018 Unit Desa Bawang, agar
bisa turut membantu warga hengkang dari balutan tingkat ekonomi yang tergolong
sangat rendah. Mungkin, kami masih belum bisa menemukan sumber air lain demi
memenuhi kebutuhan para warga. Mungkin, kami belumlah cukup membantu warga
untuk menggiatkan potensi wisata Desa Bawang. Namun, semua yang telah kami
lakukan dan laksanakan sebagai program-program kami adalah murni bentuk pengabdian.
Terlalu banyak kekurangan
kami apabila ditanyakan. Tentu. Sangat kurang malah. Meskipun begitu, dalam
jangka waktu satu setengah bulan yang berharga bagi benih-benih pengalaman kami
dalam bermasyarakat, jujur terlalu banyak yang kami dapatkan. Kami belajar
beramah-tamah dan selalu mengembangkan senyuman pada siapapun yang kami temui.
Bahkan, hal-hal kecil seperti berjabat tangan ternyata merupakan hal yang sangat
krusial dalam hidup bermasyakarat. Kami juga belajar menerima dan menyuguhi
tamu dengan makanan dan minuman terbaik yang kami miliki. Kami belajar sangat
banyak.
Satu hal yang tidak
pernah terhapus kala mengingat Desa Bawang adalah dengung rebananya yang
menggaung dari toa masjid. Begitu syahdu dan menggugah nurani. Suasana minim
penerangan di sepanjang jalan naik dan berkelok yang kami temui di tengah
belantara, begitu meninabobokan kenangan. Suara sapaan warga desa, lengkung
senyum mereka saat melihat kami, sungguh takkan mungkin kami lupakan seumur
hidup.
Apabila kami mengeluh
rindu keluarga ketika berada di sana, kami kembali mengutuk diri ketika telah
berada di rumah, tapi hati kami masih tersangkut di rumah-rumah warga. Ada
rindu yang selalu menyusupi pandangan ketika melihat sederetan pohon di pinggir
jalan, mengingatkan kembali pada deretan pepohonan di Desa Bawang. Ada rindu
yang terselip di antara suara adzan, ketika kemudian ingatan melanglang buana
di pekarangan pondokan.
Ada. Ada rindu yang
terbakar ketika tawa anggota keluarga, menggemakan memori kami yang menangis
dan tertawa dalam perjuangan bernama KKN-PPM UGM 2018. Ada. Ada rindu yang
tertinggal di tanah KKN.***
Malang, 18 Agustus 2018
No comments:
Post a Comment